PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH (40-132H / 661-750M)
PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI
UMAYYAH (40-132H / 661-750M)
A. Pendahuluan
Setelah khalifah Ali bin Abi Thalib
tewas dibunuh oleh Abdur Rahman bin Muljam, penduduk Kufah yang mayoritas
pendukung Ahlul Bayt mengangkat Hasan bin Ali menjadi khalifah.
Sedangkan di pihak lain Muawiyah bin Abu Sufyan juga memproklamirkan diri
sebagai khalifah di kota Yerusalem[1][1].
Proses perpindahan periode kekuasaan
dari Ali bin Abi Thalib (khalifah rasyidin ke-4) kepada Daulah Bani
Umayyah ini dicatat sejarah sarat “makna” dan “intriks” sehingga patut
dicermati dan dikaji lebih mendalam. Tidak hanya itu, pergulatan politik yang
terjadi pada awal berdiri Daulah Bani Umayyah hingga perkembangan dan perubahan
sistem khilafah menjadi daulah sangat menarik untuk ditelaah.
Namun kita juga tidak dapat menutup
mata, meskipun terdapat berbagai persoalan yang terjadi waktu itu, Daulah Bani
Umayyah yang berkuasa lebih kurang selama 90 tahun (40-132H/661-750M), juga
telah memberikan kontribusi yang besar dalam membangun Peradaban Islam di
dunia. Banyak kemajuan yang telah tergores dalam peradaban Islam oleh Daulah
Bani Umayyah, di antaranya bidang Politik, Pemerintahan, Militer, Ekonomi
(perdagangan), Sosial Kemasyarakatan, Pendidikan (Iptek), Kesenian, Pemikiran,
Filsafat, serta Pemahaman Keagamaan.
Di samping sebagai tugas perkuliahan
Sejarah dan Peradaban Islam pada Program Pascasarjana, hal inilah yang membuat
pemakalah tertarik untuk membahas tentang Daulah Bani Umayyah. Mulai dari latar
belakang berdirinya, kemajuan peradaban yang dicapai hingga sebab-sebab
kemunduran dan keruntuhan Daulah Bani Umayyah akan pemakalah urai pada makalah
ini.
B.
Latar
Belakang Berdiri Daulah Bani Umayyah
1.
Daulah
Bani Umayyah
Berbeda dengan
sebelumnya dalam penamaan pemerintahan, Bani Umayyah tidak memakai kata
khalifah, melainkan memakai kata daulah. Secara bahasa memiliki arti
kerajaan atau dinasti[2][2].
Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan sistem pemerintahan, salah satu indikasinya
tampak dalam cara memilih pucuk kepemimpinan yaitu monarchi (dengan menunjuk
anaknya sebagai putera mahkota), sedangkan pada masa sebelumnya (khulafa
rasyidin) pemilihan pemimpin dilakukan dengan pemilihan secara umum dengan
melibatkan ahlul halli wal ‘aqd[3][3].
Bani Umayyah
artinya keturunan Umayyah. Umayyah adalah seorang pemuka Qurays pada zaman
Jahiliyah[4][4]. Nama lengkapnya Umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf[5][5]. Abd Syams adalah saudara dari Hasyim. Umayyah
segenerasi dengan Abdul Muthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW dan Ali
bin Abi Thalib[6][6].
Sebelum Islam
datang, keturunan Abd Syams dan Hasyim bukanlah dua kubu yang berlawanan.
Keduanya hidup berdampingan, masing-masing memiliki peran penting pada masa
Jahiiliyah. Sama-sama keturunan Qusay bin Kilab.
Ketika Nabi
Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, membawa risalah Tuhan, beliau mengajak
kaumnya untuk masuk Islam. Namun beliau mendapat perlawanan keras dari
keturunan Abd Syam. Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah (segenerasi dengan Nabi
Muhammad SAW) saat itu memangku posisi pimpinan, ikut mengadakan perlawanan
kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dari pihak mayoritas keluarga Hasyim
membela Nabi Muhammad SAW.
Perselisihan
ini terus terjadi hingga terjadi Fathu Makkah pada 8 Hijriyah. Di mana Nabi Muhammad
SAW memberikan “keististimewaan” kepada Abu Sufyan dengan terjaminnya keamanan
diri bagi penduduk yang berlindung di rumah Abu Sufyan. Maka redamlah
perselisihan yang ada pada kala itu.
Di zaman kekhalifahan Abu Bakar
Shiddiq, Yazid bin Abu Sufyan ikut serta dalam memberantas kaum murtadin dan ia
ditunjuk menjadi salah seorang pemimpin untuk invansi ke Syam. Kepemimpinan
Yazid di Syam terus berlanjut hingga zaman khalifah Umar bin Khattab. Setelah
Yazid meninggal, Umar menunjuk saudara Yazid yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan
sebagai gantinya. Dari sinilah Muawiyah memulai karir kepemimpinannya.
2.
Biografi
Muawiyah
Muawiyah bin Abu Sufyan lahir di Mekah
15 tahun sebelum hijrah. Ia masuk Islam ketika terjadi fathu makkah.
Saat itu ia baru berusia 23 tahun[7][7]. Ia juga menjadi
salah seorang periwayat hadis yang baik. Ia memiliki 4 orang istri.
Pada zaman Abu Bakar Shiddiq, ia ikut
menemani saudaranya Yazid dalam memimpin penumpasan terhadap kaum murtadin.
Pada zaman Umar bin Khattab, ia baru ditunjuk memimpin Damaskus (Suriah)
menggantikan Yazid yang meninggal dunia. Pada zaman Usman bin Affan, Muawiyah
memimpin daerah Syam.
3.
Proses
Terpilihnya Muawiyah dan Berdirinya Daulah
Ketika Ali bin
Abi Thalib terbunuh, masyarakat membai’at puteranya, Hasan bin Ali, menjadi
khalifah. Akan tetapi, pemerintahan Hasan bin Ali hanya bertahan beberapa bulan
saja. Melihat kondisi pada masa itu, Hasan memiliki keinginan untuk menyatukan
seluruh umat Islam. Hal ini membuat ia menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah
bin Abu Sufyan. Hasan bin Ali tidak menginginkan peperangan berkepanjangan yang
meminta banyak korban jiwa di kalangan umat Islam.
Peristiwa
penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan itu
terkenal dengan sebutan amul jama’ah (tahun penyatuan)[8][8]. Peristiwa itu terjadi pada tahun 41 H atau 661 M.
Sejak saat itu, secara resmi pemerintahan Islam disandang oleh Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Damaskus
(Suriah).
Bani Umayyah
memegang kekuasaan Islam selama sembilan puluh tahun dengan pusat pemerintahan
di Damaskus. Selama kurun waktu tersebut pemerintahan di pegang oleh empat
belas orang khalifah[9][9]. Khalifah-khalifah itu adalah sebagai berikut:
a) Muawiyah bin Abu Sufyan (Muawiyah I)
- (661M-680M)
b) Yazid bin Muawiyah (Yazid I) -
(680M-683M)
c) Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II) -
(683M-684M)
d) Marwan bin Hakam (Marwan I) -
(684M-685M)
e) Abd Malik bin Marwan - (685M-705M)
f) Walid bin Abd
Malik (Walid I) - (705M-715M)
g) Sulaiman bin Abd Malik - (715M-717M)
h) Umar bin Abdul Aziz (Umar II) -
(717M-720M)
i) Yazid bin Abd
Malik (Yazid II) - (720M-724M)
j) Hisyam bin Abd
Malik - (724M-743M)
k) Walid bin Yazid (Walid III) -
(743M-744M)
l) Yazid bin Walid
(Yazid III) - (744M)
m) Ibrahim bin Walid - (744M)
n)
Marwan bin Muhammad (Marwan II) - (744M-750M)
C. Kemajuan Peradaban
Islam Masa Daulah Bani Umayyah
1.
Politik
/ Pemerintahan / Militer
a)
Politik
Kondisi perpolitikan pada masa awal
Daulah Bani Umayyah cenderung stabil. Muawiyah dengan kemampuan politiknya
mampu meredam gejolak-gejolak yang terjadi. Hingga ia mengangkat anaknya Yazid
menjadi penggantinya, barulah terjadi pergolakan politik.
Di antara kebijakan politik yang
terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah adalah terjadinya pemisahan kekuasaan
antara kekuasaan agama (spritual power) dengan kekuasaan politik[10][10]. Amirul Mu’minin
hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang politik. Sedangkan urusan agama
diurus oleh para ulama.
b)
Pemerintahan
1)
Perubahan
Sistem Pemerintahan
Bentuk pemerintahan Muawiyah berubah
dari Theo-Demokrasi menjadi monarchi (kerajaan/dinasti) sejak ia mengangkat
anaknya Yazid sebagai Putera Mahkota. Kebijakan ini dipengaruhi oleh tradisi
yang terdapat di bekas wilayah kerajaan Bizantium.
2)
Sentralistik
Daulah Bani Umayyah menerapkan
konfederasi propinsi. Dalam menangani propinsi yang ada, Muawiyah menggabung
beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Setiap gubernur memilih Amir. Amir
bertanggung jawab lansung kepada khalifah.
3)
Administrasi
pemerintahan
Setidaknya ada empat diwan
(departemen) yang berdiri pada Daulah Bani Umayyah, yaitu:
(i)
Diwan
Rasail
Departemen ini mengurus surat-surat
negara kepada gubernur dan pegawai di berbagai wilayah
(ii) Diwan Kharraj
Departemen ini mengurus tentang
perpajakan. Dikepalai oleh Shahibul Kharraj yang bertanggung jawab
lansung kepada khalifah
(iii)Diwan Jund
Departemen ini mengurus tentang
ketentaraan negara. Ada juga yang menyebut dengan departemen perperangan.
(iv)Diwan Khatam
Departemen ini disebut juga departemen
pencatat. Setiap peraturan yang dikeluarkan disalin pada sebuah register
kemudian disegel dan dikirim ke berbagai wilayah.
4)
Lambang
Negara
Muawiyah menetapkan bendera merah
sebagai lambang negara di mana sebelumnya pada masa Khulafa Rasyidin
belum ada. Bendera merah ini menjadi ciri khas Daulah Bani Umayyah[11][11].
5)
Bahasa
Resmi Administrasi Pemerintahan
Pada pemerintahan Abd Malik, bahasa
Arab dijadikan bahasa resmi administrasi pemerintahan.
c)
Militer
1)
Undang-undang
Wajib Militer
Daulah Bani Umayyah memaksa orang untuk
masuk tentara dengan membuat undang-undang wajib militer (Nizham Tajnid
Ijbary). Mayoritas adalah berasal dari orang Arab.
2)
Futuhat/Ekspansi (Perluasan Daerah)
Perluasan ke Asia kecil dilakukan
Muawiyah dengan ekspansi ke imperium Bizantium dengan menaklukkan pulau Rhodes
dan Kreta pada tahun 54 H. Setelah 7 tahun, Yazid berhasil menaklukkan kota
Konstantinopel
Perluasan ke Asia Timur, Muawiyah
menaklukkan daerah Khurasan-Oxus dan Afganistan-Kabul pada tahun 674 M. Pada
zaman Abd Malik, daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Ferghana, Samarkand dan
sebagian india (Balukhistan, Sind, Punjab dan Multan). Perluasan ke Afrika
Utara, dikuasainya daerah Tripoli, Fazzan, Sudan, Mesir (670 M).
Perluasan ke barat pada zaman Walid
mampu menaklukkan Jazair dan Maroko (89 H). Tahun 92 H Thariq bin Ziyad sampai
di Giblaltar (Jabal Thariq). Tahun 95 H Spanyol dikuasai. Cordova terpilih
menjadi ibukota propinsi wilayah Islam di Spanyol.
2.
Ekonomi
dan Perdagangan
a)
Sumber
Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah
Sumber uang masuk pada zaman Daulah
Bani Umayyah sebagiannya diambil dari Dharaib yaitu kewajiban yang harus
dibayar oleh warga negara. Di samping itu, bagi daerah-daerah yang baru
ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak istimewa.
Namun, pada masa Umar bin Abdul Aziz,
pajak untuk non muslim dikurangi, sedangkan jizyah bagi muslim
dihentikan. Kebijakan ini mendorong non muslim memeluk agama Islam.
Adapun pengeluaran pemerintah dari uang
masuk tersebut adalah sebagai berikut:
1) Gaji pegawai, tentara
dan biaya tata usaha negara
2) Pembangunan pertanian
termasuk irigasi dan penggalian terusan
3) Ongkos bagi terpidana
dan tawanan perang
4) Perlengkapan perang
5) Hadiah bagi sastrawan
dan ulama
b)
Mata
Uang
Pada masa Abd Malik, mata uang kaum
muslimin dicetak secara teratur. Pembayaran diatur dengan menggunakan mata uang
ini. Meskipun pada Masa Umar bin Khattab sudah ada mata uang, namun belum
begitu teratur[12][12].
3.
Sosial
Kemasyarakatan
a)
Panti
Sosial Penyandang Cacat
Ketika Walid naik tahta, ia menyediakan
pelayannan khusus. Orang cacat diberi gaji. Orang buta diberikan penuntun.
Orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan bangunan khusus untuk
pengidap penyakit kusta agar mereka dirawat sesuai dengan persyaratan standar
kesehatan.
b)
Arab
dan Mawali
Masyarakat dunia Islam begitu luas
sedangkan orang-orang Arab merupakan unsur minoritas. Meskippun demikian,
mereka memegang peranan penting secara sosial. Muslim Arab menganggap bahwa
mereka lebih baik dan lebih pantas memegang kekuasaan dari muslim non Arab.
Muslim non Arab kala itu disebut Mawali.
Mulanya mawali adalah budak
tawanan perang yang dimerdekakan. Belakangan istilah mawali diperuntukan
bagi semua muslim non Arab[13][13].
4.
Pendidikan
Daulah Bani Umayyah tidak terlalu
memperhatikan bidang pendidikan, karena mereka fokus dalam bidang politik.
Meskipun demikian, Daulah Bani Umayyah memberikan andil bagi pengembangan
ilmu-ilmu agama Islam, sastra dan filsafat.
Daulah menyediakan tempat-tempat
pendidikan antara lain:
a)
Kuttab
Kuttab merupakan tempat anak-anak
belajar menulis dan membaca, menghafal Alquran serta belajar pokok-pokok ajaran
Islam
b)
Masjid
Pendidikan di masjid merupakan lanjutan
dari kuttab. Pendidikan di masjid terdiri dari dua tingkat. Pertama, tingkat
menengah diajar oleh guru yang biasa saja. Kedua, tingkat tinggi yang diajar
oleh ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealimannya.
c)
Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa
Arab (arabisasi buku) pada masa Marwan gencar dilakukan. Ia memerintahkan untuk
menerjemahkan buku-buku yang berbahasa Yunani, Siria, Sansekerta dan bahasa
lainnya ke dalam bahasa Arab.
d)
Baitul
Hikmah
Baitul hikmah merupakan gedung pusat
kajian dan perpustakaan. Perhatian serta pelestarian berbagai sarana dan
aktifitas di gedung ini terus menjadi perhatian dalam perjalanan Daulah Bani
Umayyah hingga masa Marwan.
5.
Kesenian
a)
Majelis
Sastra
Majelis sastra adalah tempat atau balai
pertemuan untuk membahas kesusasteraan dan juga tempat berdiskusi mengenai
urusan politik yang disiapkan dan dihiasi dengan hiasan yang indah. Majelis ini
hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
b)
Arsitektur
Dalam bidang seni arsitektur, para
khalifah mendukung perkembangannya, seperti pembuatan menara pada periode
Muawiyah, kubah ash-Shakhra pada periode Abd Malik. Kubah ini tercatat sebagai
contoh hasil karya arsitektur muslim yang termegah kala itu. Bangunan tersebut
merupakan masjid yang pertama sekali ditutup dengan kubah.
6.
Pemikiran
dan Filsafat
Alam pemikiran zaman Daulah Bani
Umayyah relatif berkembang pesat. Indikasinya adalah lahirnya Khawarij dan
Murjiah, Jabariyah dan Qadariyah, serta Mu’tazilah. Aliran pemikiran ini tumbuh
bak jamur di musim hujan.
Munculnya aliran-aliran ini patut
diapresiasi sebagai khazanah bagi spektrum dunia pemikiran Islam. Indahnya
keberagaman itu terasa apabila fokus pandangan kita kepada kelebihan aliran
masing-masing dan tidak saling merendahkan satu sama lain. Bagaimanapun juga,
para penganut aliran tersebut telah membuat sesuatu bagi peradaban Islam.
7.
Pemahaman
Keagamaan
Pemahaman keagamaan, khususnya di
bidang Fiqh, terdapat dua golongan yaitu Ahlu Ra’yi dan al-Hadis.
Ahlu Ra’yi mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau qiyas.
Sedangkan al-Hadis lebih berpegang kepada nash-nash, bahkan mereka tidak akan
memberikan fatwa jika tidak ada ayat Alquran dan Hadis yang menjelaskannya.
Pada priode ini juga lahir sejumlah mujtahid
fiqh. Di antaranya adalah lahirnya mazhab Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam
Malik bin Anas di Madinah.
Pada masa ini juga berkembang Ilmu
tafsir. Ilmu tafsir memiliki peran yang strategis. Di samping karena daerah
Islam semakin luas sampai di daerah luar Arab, juga karena semakin banyaknya
pemeluk agama Islam.
Perluasan dan non arab ini, secara
tidak lansung, dapat menyebabkan ‘tercemarnya’ bahasa Alquran. Karena tidak
semua orang yang mempelajari Alquran pure untuk kebaikan. Ada maksud
lain yang memboncengi mereka[14][14].
Selain Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis juga
mendapatkan perhatian yang khusus. Umar bin Abul Aziz menjadi tokoh utama
dibalik semuanya. Dengan memerintahkan kepada seluruh pemangku kepentingan
untuk menulis dan mengumpulkan hadis Nabi Muhammad SAW telah melahirkan metode
pendidikan alternative yaitu rihlah, di mana para ulama mencari hadis ke
berbagai tempat dan orang.
Pada daulah inilah kitab tentang ilmu
hadis disusun oleh para ulama muslim. Beberapa ulama yang terkenal pada masa
itu adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri,
Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), al-‘Auza’i
Abdurrahman bin Amr, dan Hasan Basri as-Sya’bi
D. Kemunduran dan
Keruntuhan Daulah Bani Umayyah
Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan
oleh Yazid bin Abd Malik (720-724M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abd Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat.
Kerusuhan terus
berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abd Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian
hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu
berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin
Abd Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena
gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abd Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang menjadi khalifah berikutnya
bukan hanya lemah dalam politik, tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin
memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah
digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bagian dari Bani Hasyim.
Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah,
melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di
sana.
Kematian Marwan
bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus)
yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah[15][15].
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada
kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui
garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih
menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di
kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Daulah
Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Ali. Kelompok Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun
secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan
(Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar
golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur
lainnya, merasa tidak puas karena status mawali, ditambah dengan keangkuhan
bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulah Bani
Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga
anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan.
5. Kelemahan pemerintahan pusat dalam
mengendalikan dan mengontrol wilayah yang amat luas.
6. Penyebab langsung tergulingnya
kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori
oleh keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, serta dukungan dari kaum mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
E.
Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Selama lebih kurang 90 tahun Daulah
Bani Umayyah berkuasa tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Diawali dengan
proses pemindahan kekuasaan. Mulai dari ketidaksukaan terhadap Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah, peristiwa tahkim, hingga Ali terbunuh, amul
jama’ah yang dilakukan Hasan bin Ali.
Dilanjutkan dengan selama berkuasa 90
tahun. Sistem pemerintahan yang monarchi, diskriminasi terhadap mawali,
pemerintahan ‘tangan besi’, serta kemajuan-kemajuan yang telah diraih. Berakhir
dengan runtuhnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah dengan kematian Marwan bin
Muhammad. Mengisyaratkan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini.
Apresiasi kita terhadap raihan yang
baik oleh para pendahulu adalah hal yang utama. Kita tidak perlu mencerca
keburukannya, malahan ini menjadi cambuk bagi kita untuk tidak melakukan
kesalahan yang sama seperti kesalahan mereka.
2.
Saran
Penulis paham bahwa menceritakan
kembali yang telah terjadi selama 90 tahun tentu bukan hal yang mudah.
Kedangkalan ilmu penulis menyebabkan studi makalah ini juga dangkal. Kritik dan
saran pembaca akan membuat studi Daulah Bani Umayyah ini akan menjadi mendalam.
Daftar Pustaka
Alkhudhary, Muhammad. Daulah
Umawiyah. 2000. Tharablus: Majlis Idarah Jamiah Mishriyah
Chair, Abd. Dkk. Ensklopedi Tematis Dunia Islam. 2003. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoseve
Chalil, Munawar. Empat Biografi Imam
Mazhab. 1989. Jakarta: Bulan Bintang
Harun, Maidir dan Firdaus. Sejarah
Peradaban Islam. 2001. Padang: IAIN IB Press
Ibrahim Husen, Ali. An-Nazham
al-Islamiyah. 1953. Kairo: Lajnah Ta’lif wa Tarjim wa Nasyr.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap. 1997. Surabaya: Puataka Progresif
Syalabi, Ahmad. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. 1971. Jakarta: Jaya Murni
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. 1993. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[2][2] A.W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Puataka Progresif, 1997), h.434
[5][5] Abd Chair,
Dkk, Ensklopedi Tematis Dunia Islam.
(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoseve, 2003) h. 67
[10][10] Ali
Ibrahim Husen, An-Nazham al-Islamiyah, (Kairo: Lajnah Ta’lif wa Tarjim
wa Nasyr, 1953), h. 30-31.
#makalah#tulisan #sastra#peradaban#islam#ilmu#humaniusme#sejarahislam
0 comments:
Post a Comment