MAKALAH META KECERDASAN DALAM PSIKOLOGI SUFISTIK
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Psikologi Sufistik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, M. A

Disusun
Oleh:
NAMA : M. MAHMUD ABADI
NIM
: 104411056
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2012
META KECERDASAN DALAM PSIKOLOGI SUFISTIK
I.
PENDAHULUAN
Kecerdasan
adalah sebuah kekuatan yang bersifat non material dan bukan spiritual. Ia
sangat diperlukan oleh manusia dan sejumlah makhluk lainya guna dijadikan
sebagai alat bantu di dalam menjalani kehidupannya di alam dunia. Kecerdasan
itu dapat terbentuk melalui penyentuan, pemolesan sampai dengan perekayasaan
oleh sistem-sistem yang memang selaras untuk hal tersebut. Sebab, pada awalnya
kecerdasan memerlukan sebuah potensi yang tersembunyi; tersimpan pada sejumlah
unsure perangkat yang ada pada diri manusia. Salah satu yang memiliki kemampuan
untuk dapat melakukan pemberdayaan dan menjadikan bermanfaatnya kecerdasan yang
ada pada diri manusia adalah Al-Quran Al-Karim.
Sebagai
salah satu dari dua sumber rujukan yang dibutuhkan di dalam mengembangkan
tingkat kemampuan individu, Al-Quran dianggap-oleh sebagian orang-tidak emiliki
pengaruh apa pun untuk membentuk kecerdasan yang ada pada diri manusia. Memang
tidak banyak orang yang mampu melihat dan dapat menggunakan Al-Quran sebagai
kekuatan pemicu, penuntun, dan penjaminan kecerdasan yang ada pada diri
manusia.[1]
Oleh karena
itu di sini akan dibahas makalah tentang “Meta Kecerdasan dalam Psikologi
Sufistik” dalam matakuliah Psikologi Sufistik.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Hakikat Meta Kecerdasan
B.
Implikasi Meta Kecerdasan Bagi Prilaku Psikologis
III. PEMBAHASAN
A.
Hakikat Meta Kecerdasan
Setelah memetakan tiga paradigma
kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ), berikutnya akan coba dibahas konstruksi atau pola
relasi diantara ketiganya. Pola relasi ini mengandaikan terjadinya relasi
positif antara IQ, EQ dan SQ, meskipun tetap mengakui adanya diferensiasi.
Sadar atau tidak, potensi kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual itu ada dalam keseluruhan diri kita
sebagai manusia. Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis (matematika) dan
linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emotional mencangkup unsur
interpersonal dan intrapersonal. Sementara kecerdasan spiritual adalah
bagaimana mengkhayati dan mengabdikan diri –beribadah- kepada Khalik (Sang
Pencipta).[2]
Kita akan melihat bahwa antara kecerdasan
emosi (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan Intelektual (IQ) sangat
berkaitan erat satu dengan yang lain. Apabila kita berorientasi pada “Tauhid”,
maka hasilnya adalah EQ, IQ dan SQ yang terintegrasi, pada saat masalah datang
akar radar hati bereaksi menangkap signal. Karena berorientasi pada materialisme,
maka emosi yang di hasilkan adalah yang tidak terkendali, sehingga menghasilkan
sikap-sikap sebagai berikut: marah, sedih, kesal dan takut. Akibat emosi yang
tak terkendali, God Spot menjadi terbelunggu atau suara hati tidak memiliki
peluang untuk muncul. Bisikan suara hati
Ilahiyah yang bersifat mulia tidak lagi bisa didengar dan menjadi tidak
berfungsi, ini mengakibatkan Ia tak mampu berkolaborasi dengan piranti
kecerdasan yang lain. Karena suara hati tertutup, maka yang paling memegang
peranan adalah emosi. Emosional yang memberi perintah kepada sektor kecerdasan
intelektual IQ. IQ akan menghitung, tetapi berdasarkan dorongan kemarahan,
kekecewaan, kesedihan, iri hati, dan kedengkian. Bayangkanlah apa yang akan
terjadi kemudian![3]
Tingkatan IQ atau kecerdasan intelektual
atau kecerdasan otak seseorang umumnya tetap, sedangkan EQ (kecerdasan emosi)
dapat terus di tingkatkan. Hal ini didukung oleh pendapat seorang pakar EQ, Daniel
Goleman sebagai berikut: Dalam peningkatan inilah kecerdasan emosi sangat
berbeda dengan IQ, yang umumnya hamper tidak berubah selama kita hidup. Bila
kemampuan murni kognitif relative tidak berubah, maka sesungguhnya kecakapan
emosi dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli apakah orang tersebut tidak
peka, pemalu, pemarah. Kikuk, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun,
dengan motivasi dan usaha yang benar kita mampu mempelajari serta menguasai
kecakapan emosi tersebut. Tetapi bagaimana?[4]
Dalam perspektif neuroscience Ketiga
bentuk kecerdasan ini (IQ, EQ, dan SQ), mempunyai akar-akar neurobiologis di
otak manusia. Fakta menyatakan bahwa otak menyediakan komponen anatomisnya
untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ini artinya
secara kodrati, manusia telah disiapkan dengan tiga aspek tersebut. Kecerdasan emosional
ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus,
hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum
atau otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis
pada osilasi frekuensi gamma 40 Hertz yang bersumber pada integrasi
sensasi-sensasi menjadi persepsi obyek-obyek dalam pikiran manusia.
Dalam perspektif Islam, dikenal
istilah aql, qalb dan fuad sebagai pusat IQ , EQ dan SQ menunjukkan bahwa Islam
memberikan apresiasi yang sama terhadap ketiga sistem kecerdasan tersebut.
Hubungan ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi. Namun
kalau akan dibedakan, maka SQ merupakan "Prima Causa" dari IQ dan EQ.
SQ mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq, sementara IQ dan EQ
mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya. Tanpa
ketiganya bekerja proporsional, maka manusia tidak akan dapat menggapai
statusnya sebagai "Khalifah" di muka bumi. Oleh karena Islam
memberikan penekanan yang sama terhadap "hablun min Allāh" dan
"hablun min al-nās", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ
dan SQ merupakan substansi dari ajaran Islam. Penggabungan ketiga hal ini akan
menghasilkan manusia-manusia paripurna yang siap menghadapi hidup dan
menghasilkan efek kesuksesan atas apa yang dilakukannya.
IQ, EQ & SQ adalah perangkat
yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di
dalam diri kita, sehingga tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya.
Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya
dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. mengabaikan salah
satu dari ketiga bentuk kecerdasan berbasis neuroscience di atas adalah sesuatu
kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satu diantaranya merupakan
kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini untuk menjadi seorang
yang paripurna.
Penggabungan antara kecerdasan
spiritual dengan kecerdasan intelektual dalam berbagai hal akan melahirkan
“idealisme” dalam diri yang dalam konstektualnya lebih benyak membentuk
wilayah-wilayah individual (catra pribadi). Sedangkan penggabungan antara
ketiga kecerdasan tersebut yakni intelektual-spiritual dan emosional
memunculkan tipe-tipe kecerdasan baru hingga pencapaian kecerdasan dialektis.[5]
99Q (“99” Quotient) merupakan sebuah
istilah yang diilhami oleh 99 nama Allah yang mulia (al-asmaa’ al-husnaa).
99Q bisa disebut 99 Qalbu. Kerangka teoritik dalam menggagas 99Q ini adalah
bahwa dalam diri manusia ada 99 potensi kecerdasan dan kemampuan yang merupakan
manifestasi dari 99 nama Allah. Tetapi sangat disayangkan tidak banyak orang
yang mempergunakannya.[6]
Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Disebutkan, “
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya,” (HR Bukhari
dan Muslim). Hadits ini mengindikasikan bahwa dalam diri manusia ada potensi
Ilahiyah, karena ruh manusia-sebagaimana disebutkan Al-Quran-adalah bagian dari
“Ruh Tuhan” (QS Al-Hijr [15]: 29).[7]
B.
Implikasi Meta Kecerdasan Bagi Prilaku Psikologis
Sebuah implikasi yang di tujukan Al-Quran
dalam meta kecerdasan bagi prilaku psikologis untuk umat manusia adalah
rangsangan untuk melekukan hal-hal yang berkaitan dengan dapat terbentuknya
kecerdasan, yaitu:
a. Agar menjadi penuntut ilmu.
“Dituturunkan dari Tuhan Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni
Al-Qur’an dalam bahasa Arab untuk kaum yang menuntut ilmu,”(QS Fushshilat [41]:2-3)
b. Agar menggunakan akal.
“Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab
(Al-Quran) yang nyata. Sesungguhnya Kami enurunkan kepadanya Al-Quran berbahasa
Arab, agar kamu semua menggunakan akal,”(QS Yusuf [12]:1-2).
c. Untuk ditafakuri.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka menafakuri,” (QS Al-Nahl [16]: 44).
d. Meraih kedudukan Hamba Allah Swt, yang
disucikan.
“Seandainya pada sisi kami ada sebuah
kitab dari para pendahulu, bener-benar kami akan menjadi hamba Allah yang
disucikan,” (QS Al-Shaffat [37]: 168-169).[8]
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas kami
dapat menyimpulkan bahwa Meta Kecerdasan dalam Psikologi Sufistik yaitu Meta kecerdasan adalah konsep kecerdasan dengan perspektif majemuk.
Kecerdasan tidak hanya ditakar dari kecerdasan intelektualnya IQ) saja, tetapi
bahwa manusia ternyata juga memiliki potensi kecerdasan lain yang bahkan lebih
penting yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual (IQ) adalah suatu kemampuan
mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Sedangkan Kecerdasan
emosi (EQ) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a. Adapun
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna
atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks
makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa
kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap
setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang
bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas.
IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam
satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconected) di dalam diri kita,
sehingga tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan tertinggi, karena ia bisa menjembatani dan lebih
memfungsikan dua kecerdasan lain yaitu IQ dan EQ secara lebih efektif. Hubungan
ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi. Namun jika hendak
dibedakan, maka SQ merupakan prima causa dari IQ dan EQ. Kecerdasan spiritual
mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq, sementara IQ dan EQ mengajarkan
interaksi manusia dengan dirinya dan alam sekitarnya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang membahas
tentang Meta Kecerdasan Dalam Psikologi Sufistik, dari
pemakalah menyarankan bahwa kita seharusnya mampu mengamalkan apa yang telah
dijelaskan pada ringkasan makalah di atas, dan semoga kita mampu menerapkan
atau mengimplikasikan di dalam kehidupan maupun perilaku psikologis kita. Dan demikian makalah
yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini kurang dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah
pengetahuan kita dan bermanfaat. Aamiin.....
DAFTAR PUSTAKA
Alim, meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan, http://alim-online.blogspot.com/2010/05/meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan.html, Selasa, 29 Mei 2012, 00.45
WIB.
Djarot
Sensa, Muhammad, Quranic Quotient, Jakarta: Hikmah, 2005.
Ginanjar
Agustian, Ary, Rahasia Sukses
Membangkitkan ESQ POWER, Jakarta: ARGA,
2003.
Ginanjar
Agustian, Ary, ESQ, THE ESQ WAY 165, 1 Ihsan 6 Rukun Iman 5 Rukun Islam, Jakarta:
ARGA, 2005.
Sulaiman
Al-Kumayi, 99Q, kecerdasan 99, Bandung: Hikmah, 2003.
[2]Alim, meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan, http://alim-online.blogspot.com/2010/05/meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan.html, Selasa,
29 Mei 2012, 00.45 WIB.
[4] Ary Ginanjar Agustian, ESQ, THE ESQ WAY 165, 1
Ihsan 6 Rukun Iman 5 Rukun Islam, Jakarta: ARGA, 2005. h. 280.
[5] Alim, meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan, http://alim-online.blogspot.com/2010/05/meta-kecerdasan-integrasi-kecerdasan.html, Selasa,
29 Mei 2012, 00.45 WIB.
0 comments:
Post a Comment