Our social:

Saturday, 5 March 2016

SEJARAH MASUKNYA TASAUF DI INDONESIA



FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2011
SEJARAH MASUKNYA TASAWUF KE INDONESIA
PENDAHULUAN
Tasawuf seiring kita temui dalam kazanah dunia Islam, dan melalui perkembanganya tasawuf kini telah masuk ke Indonesia, sejarah merupakan hal yang tidak dapat kita hapuskan. Ilmu tasawuf yang pada intinya sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Allah swt dan juga sebagai usaha untuk melacak cahaya dari kegelapan dunia ini, dengan system yang tersusun melalui latihan ruhaniah atau riadlotun nafs. .
Masauknya tasawuf ke Indonesia beriringan dengan masuknya Islam ke Indonesia, apabila kita mempelajari Islam pasti ilmu taswuf juga terpelajari, karena kedua hal ini tidak dapat terpisahkan. Sejarah merupakan hal yang sudah terlewat dan merupakan cermin kehidupan untuk masa mendatang, mengkaji masalah sejarah, mencari kebenaran tentang masalah sejarah tersebut karna begitu banyak lempengan-lempengan sejarah yang tidak tercatatkan dan masih banyak kerancauan diantara yang sudah tercatatkan. Karena hal ini lah kita perlu mengkaji ulang kebenaran sejarah tersebut.
RUMUSAN MASALAH
1.      Kapan Masuknya Tasawuf di Indonesia
2.       Bagaimana Masuknya Tasawuf di Indonesia
3.      Siapa Pembawa Masuknya Tasawuf di Indonesia
PEMBAHASAN
1.      Kapan, Bagaimana, dan Siapa Pembawa Masuknya Tasawuf di Indonesia
Tasawuf merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian Islam di Indonesia, Irak, Palestina, dan lain-lain. Sejak masuknya Islam ke Indonesia, unsur taswuf telah terwarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun, nuansa taswuf masih kelihatan menjadi bagian yang tidak terhapuskan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam dibidangnya dan juga melalui gerakan tarekat muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi syakh Abdullah Arif yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke 12 M. Ia adalah seorang pendatang kenusantara bersama para mubalig lainya yang diantaranya bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawasha Abdullah menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertamanya masuk Islam ke Nusantara, para sufi lah yang paling banyak jasanya, hampir yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Diamisme, Budhanisme, dan Hindunisme Karena tertarik pada ajaran tasawuf.
Sebagian pendapat Hawash di atas, A. H. Johans sebaga mana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi pengembara yang pertama melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Para sufi ini berhasil mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke 13 M, fakor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam keemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan peraktik keagamaan lokal.[2]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis dan cenderung sepekulatif seperti konsep ittihad (Abu Yazid Al-Bustami), hulul (Al- hallaj), dan wahdah al- wujud (ibnu ‘arabi). Dominasi tasawuf falsafi terlihat jelas pada kasus Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh Walisongo karena dipandang menganut paham taswuf yang sesat.
·         Tokoh-tokoh sufi Indonesia
a. Hamzah Fansuri (w. 1016 H/ 1607 M)  
b. Nuruddin Muhamad bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini (W. 1068       H/1658)  
c. Syekh Abdul Rauf As-Sinkili(1024-1105 H/1615-1930 M)  
d. Abd Shamad Al-Palimbani (W. 1203 H/1788 M)
e. Syekh Yusuf Al-Makasari (W. 1037-1111 H/1627-1699 M)
f. Nawawi Al-Bantani (1613-1897 M )
g. Hamka (1908-1981 M)
§  Hamzah Fansuri
Nama Hamzah Fansuri di nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua sejarahwan Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh Samsudin Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ittihad, mahabah dan lain-lain adalah seirama. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seoarang pujangga Islam yang sangat populer pada zamanya. Dan hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesastraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga keabad kini. Dalam buku-uku sejarah mengenai Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang. Dada Meurexa pernah mengatakan dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” sebagai berikut:
Memerhatikan Ulama-Ulama Islam bermunculan di zaman dahulu berasal dari Fansuri, misalnya Sekh Hamzah Fansuri, Syekh Adujl Murad, Syekh Burhanuddin (Murid Syekh Abdul Rauf Fansuri) semua asal Barus, Samsudin Pasai, adalah murid dari Hamzah Fansuri, ini memebuktikan, ternyata abad ke 16 M saja telah tergambarkan dengan jelas dimana sumber- sumber ulama besar itu berada yang masih masyhur sampai sekarang.[3]
§   Ar-Raini
Ar-Raini dilahirkan di Ranir, kota pelabuhan tua di pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhamad bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini. Tahun kelahiranya tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke 16 M. Ia mengikuti keluarganya dalam hal pendidikanya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir dan kemudian dilanjutkan ke Hadhramaut. Sewaktu masih di Negri asalnya ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang banyak mempengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid imam bin Abdullah bin Syban, seorang guru tarekhat rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gajarat, India.[4]
Menurut catatan azyumardi azra, Ar-Raini merupakan pembaharu di Aceh. Ia mulai melanacarkan pembaharuan Islamnya setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah membrantas aliran Wujudiah yang di anggap sebagai aliran sesat. Ar-Raini dikenal juga sebagai Syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa untuk menentang aliran Wujudiah ini bahkan, lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah kepada semacam perburuan terhadap orang-orang sesat.
§  Syekh Abdul Rauf As-Sinkili
Abdul Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama besar dan Ufti besar
kerajaan Aceh pada abad ke 17 [1606-1637 M]. Nama Lengkapnya Adalah Syekh Abdul Rauf bin Pansuri. Sejarah mencatat bahwa ia merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Makah dan Madinah itu. Ia sempat menerima ba’iat syathariah, di samping ilmu-ilmu yang lain, termasuk sekte dan bidang diruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan denganya.
Menurut Hasyimi, sebagai mana azumardi Azra, ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke -13 M, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah pelabuhan tua di pantai barat Sumatra. Pendidikan pertamanya dimulai dari ayahnya disimpang kanan Sinkili. Kepada ayahnya ia beljar ilmu-ilmu agama, Sejarah, bahasa Arab, Mantiq, Filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia. Pendidikanya kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah tinggi pada Syekh Samsuddin As-Sumatri. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Berdasarkan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili boleh memakai “khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengkajian secara Suluk. Ia telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula bahwa ia telah dilantik sebagai Khlifah Mursyid. Dalam orde tarekat Syathariah. Yang berarti pula, ia boleh memba’iat orang lain. telah di akui bahwa ia telah mempunyai silsilah yang bersamung dari gurunya hingga pada Nabi Muhamad.[5]
§  Abd Shamad Al-Palimbani
Riwayat hidup Al-Palimbani tidak banyak diketahui, karena tulisan- tulisan yang ada sekarang, ia hampir tidak memberikan keterangan tentang dirinya. Walau pun demikian, kehidupan Al-Palimbani tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, karena didalam tulisa-tulisanya, ia selalu mencantumkan tempat dan tanggal. Abd Shamad Al-Palimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke -18, kira-kira tiga atau empat tahun 1700 M dan meninggal tidak lama setelah tahun 1203 H/1788 M. ia adalah putra dari Yaman, seorang ulama sufi di sana, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di Kedah. Ketika berada di Palembang, abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita negri ini. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash- Shamad Al-Palimbani.[6]
Abd Ash-Shamad lama belajar di Makah dan Madinah dari ulama-ulama sufi, diantaranya Syekh Muhamad As-Samman. Menurut Yusuf Hlindi, sebagai mana di Kuttif Khatib Quzwain bahwa Al-Palimbani menuntut ilmu bersama-sama dengan Muhmad Arsyad Al-Banjari, Abd Hawab Bugis dari Sulawesi Selatan, dan Abd Rahman Masri dari Jakarta. Mereka menjadi “empat serangkai” yang sama-sama belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhamad As-Samman.[7]
§  Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H. atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M. yang berarti tidak berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar islam ke Sulawesi yaitu Datuk RI Bandang dan kawan- kawanya dari minang kabau. Dalam salahsatu karanganya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”,yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (ujung padang).[8] Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakan diri cinta akan pengetahuan keisalaman. Dalam tempo relative singkat, ia telah tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah lancar benar tentang Al-Quran dan mungkin termasuk seorang penghapal. Ia mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, seperti Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Bayan, Maani, Badi’, Balagah, dan Mantiq. Ia pun belajar pula Ilmu Fiqih, Ilmu  Ushuluddin dan Ilmu Tasawuf. ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.[9]
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup di zaman itu lebih mementingkan mental dan material. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang memang menjurus kearah itu pula. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Addullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak, bahkan mungkin sukar mencari ulama yang mempelajari demikian banyak tarekat serta mengamalkannya seperi dirinya, baik pada masanya maupun masa kini. Secara ringkas, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan dibawah ini:
a. Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nurudin ar-Raniri di Aceh,
b. Tarekat naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi abdillah abdul baqi billah,
c. Tarekat as-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayid Ali di Zubaid/Yaman, d. Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al Kurani Madinah,
e. Tarekat khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khalwati Al-quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di Masjid Muhyiddin Ibn ‘Arabi.
§  Nawawi al-Bantani
Abu ‘Abd Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin An-Nawawi Al-Bantani dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M, di desa Tanara, sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang propinsi Jawabarat Indonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru pada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten saat itu.
Pendidikannya kemudian diteruskan di Mekkah. Selama tiga tahun, ia bermukim di sana dan pulang ke tanah air dengan khazanah keilmuan yang relative cukup untuk menjadi seorang kyai di kampungnya. Namun, sebagaimana dijelaskan Snouck, ia belum merasa memenuhi cita-cita dan harapan maysarakat Banten secara penuh dan lengkap sehingga ia kembali ke Mekah dan bermukim di sana sampai akhir hayatnya, tahun 1314 H/1897 M. Disana , ia terlibat dalam proses belajar dan menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di Indonesia.[10]
§  Hidup Hamka
Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah. Ayah hamka termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo, salah seorang pahlawa Paderi. Tuanku Nan Tuo adalh salah seorang ulama yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di Minangkabau, dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi social keagamaan masa Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran Al-Quran dan hadits yang lurus, yang tidak bercampur dengan adat-istiadat. Kondisi politik menuntut untuk mengusir penjajah Belanda yang sangat ekspansi dan kondisi inilah yang melatar belakangi perjuangan Hamka.
Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar Al-Quran di rumah orang tuanya. Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainuddin Labai El- Yunusi mendirikan sekolah diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka pergi ke sekolah desa, sore hari pergi ke sekolah diniyah, dan malam hari, Hamka berada di Surau bersama teman-teman sebayanya. Dan pada tahun 1918, saat Hamka masih kecil, Abdul Karim Amrullah (ayahnya) kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa. Surau Jembatan Besi, tempat ayah Hamka member pengajaran agama dengan system lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School, dan Hamka dimasukkan ke sekolah itu.
KESIMPULAN
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, masauknya tasawuf ke Indonesia beriringan dengan masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada saat Abdullah Arif  menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke 12 M. Adapun tokoh-tokoh tasawuf Indonesia yang telah menyebarkan dan mengajarkan tentang Ilmu tasawuf antara lain yaitu: Hamzah Fansuri (w. 1016 H/ 1607 M), Nuruddin Muhamad bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini (W. 1068 H/1658), Syekh Abdul Rauf As-Sinkili(1024-1105 H/1615-1930 M),  Abd Shamad Al-Palimbani (W. 1203 H/1788 M), Syekh Yusuf Al-Makasari (W. 1037-1111 H/1627-1699 M), Nawawi Al-Bantani (1613-1897 M ), dan Hamka (1908-1981 M). Merekalah para tokoh Sufi yang telah menyebarkan dan mengajarkan ilmu tasawuf di Indonesia.
PENUTUP
     Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin........
Daftar Pustaka
·         Mulyani Sri, Tasawuf Nusantara,  Jakarta: Kencana, 2006.
·         Azra Azyumardi, Jaringan Ulma’ Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111, Bandung: Mizan, 1995.
·         Daudi Ahmad, Allah dan manusia dalam konsepsi Syekh Nurddin Ar-Raini, Jakarta: Rajawali, 1983.
·         Yunus Abd Rahim, posisi taswuf dalam kekuasaan di sultanan Buton pada Abad ke- 19, Jakarta: INIS, 1995.
·         Asnawi Ahmad, “pemikiran syekh Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qodar dan jabar dalam kitab tafsirnya”marah labid”, suatu studi teologi,”disertasi, Jakarta: 1989.




[1] Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara,  Jakarta: Kencana, 2006, hal. 1
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulma’ Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111,
Bandung: Mizan, 1995, Hal. 35

[3] Abdullah, perkembangan ilmu tasawuf, hal. 35



[4] Ahmad Daudi, Allah dan manusia dalam konsepsi Syekh Nurddin Ar-Raini, Rajawali, Jakarta,
1983, hal. 36


[5] Abdullah perkembangan ilmu tasawuf hal. 50
[6] Abd Rahim Yunus, posisi taswuf dalam kekuasaan di sultanan Buton pada Abad ke- 19, INIS, Jakarta, 1995, hlm.64
[7] Quzwain, Syekh Abd Shamad, hal. 181.
[8] Abdullah, perkembangan ilmu tasauf, hal. 60
[9] Ibid, hal. 61.
[10] Ahmad Asnawi, “pemikiran syekh Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qodar dan jabar dalam
kitabn tafsirnya”marah labid”, suatu studi teologi,”disertasi, Jakarta,1989, hal. 20



0 comments: