SEJARAH MASUKNYA TASAUF DI INDONESIA
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
SEJARAH MASUKNYA TASAWUF KE INDONESIA
PENDAHULUAN
Tasawuf seiring kita temui dalam kazanah dunia Islam, dan melalui
perkembanganya tasawuf kini telah masuk ke Indonesia, sejarah merupakan hal
yang tidak dapat kita hapuskan. Ilmu tasawuf yang pada intinya sebagai usaha
menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Allah swt dan juga sebagai usaha
untuk melacak cahaya dari kegelapan dunia ini, dengan system yang tersusun
melalui latihan ruhaniah atau riadlotun nafs. .
Masauknya tasawuf ke Indonesia beriringan dengan masuknya Islam ke
Indonesia, apabila kita mempelajari Islam pasti ilmu taswuf juga terpelajari,
karena kedua hal ini tidak dapat terpisahkan. Sejarah merupakan hal yang sudah
terlewat dan merupakan cermin kehidupan untuk masa mendatang, mengkaji masalah
sejarah, mencari kebenaran tentang masalah sejarah tersebut karna begitu banyak
lempengan-lempengan sejarah yang tidak tercatatkan dan masih banyak kerancauan
diantara yang sudah tercatatkan. Karena hal ini lah kita perlu mengkaji ulang
kebenaran sejarah tersebut.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Kapan Masuknya
Tasawuf di Indonesia
2.
Bagaimana Masuknya Tasawuf di Indonesia
3.
Siapa Pembawa
Masuknya Tasawuf di Indonesia
PEMBAHASAN
1.
Kapan,
Bagaimana, dan Siapa Pembawa Masuknya Tasawuf di Indonesia
Tasawuf
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian Islam di
Indonesia, Irak, Palestina, dan lain-lain. Sejak masuknya Islam ke Indonesia,
unsur taswuf telah terwarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat
ini pun, nuansa taswuf masih kelihatan menjadi bagian yang tidak terhapuskan
dari pengalaman keagamaan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Hal ini terbukti
dengan semakin maraknya kajian Islam dibidangnya dan juga melalui gerakan
tarekat muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]
Hawash
Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam
penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia menyebutkan tokoh sufi syakh
Abdullah Arif yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad
ke 12 M. Ia adalah seorang pendatang kenusantara bersama para mubalig lainya
yang diantaranya bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawasha Abdullah
menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa
pada tahun-tahun pertamanya masuk Islam ke Nusantara, para sufi lah yang paling
banyak jasanya, hampir yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan
asalnya dari Animisme, Diamisme, Budhanisme, dan Hindunisme Karena tertarik
pada ajaran tasawuf.
Sebagian pendapat Hawash di atas, A.
H. Johans sebaga mana dikutip Azyumardi Azra, berpendapat bahwa para sufi
pengembara yang pertama melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Para sufi ini
berhasil mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke
13 M, fakor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam
dalam keemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan islam
atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan peraktik keagamaan
lokal.[2]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan
dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat
filosofis dan cenderung sepekulatif seperti konsep ittihad (Abu Yazid Al-Bustami),
hulul (Al- hallaj), dan wahdah al- wujud (ibnu ‘arabi). Dominasi tasawuf
falsafi terlihat jelas pada kasus Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh Walisongo
karena dipandang menganut paham taswuf yang sesat.
·
Tokoh-tokoh sufi Indonesia
a. Hamzah Fansuri (w. 1016 H/ 1607 M)
b. Nuruddin Muhamad bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini (W.
1068 H/1658)
c. Syekh Abdul Rauf As-Sinkili(1024-1105 H/1615-1930 M)
d. Abd Shamad Al-Palimbani (W. 1203 H/1788 M)
e.
Syekh Yusuf Al-Makasari (W. 1037-1111 H/1627-1699 M)
f.
Nawawi Al-Bantani (1613-1897 M )
g.
Hamka (1908-1981 M)
§ Hamzah Fansuri
Nama Hamzah Fansuri di nusantara
bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir
semua sejarahwan Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh
Samsudin Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham
hulul, ittihad, mahabah dan lain-lain adalah seirama. Syekh Hamzah Fansuri diakui
sebagai salah seoarang pujangga Islam yang sangat populer pada zamanya. Dan
hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesastraan Melayu dan
Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam
di Nusantara dari abadnya hingga keabad kini. Dalam buku-uku sejarah mengenai
Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang. Dada Meurexa pernah mengatakan
dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” sebagai berikut:
Memerhatikan
Ulama-Ulama Islam bermunculan di zaman dahulu berasal dari Fansuri, misalnya
Sekh Hamzah Fansuri, Syekh Adujl Murad, Syekh Burhanuddin (Murid Syekh Abdul
Rauf Fansuri) semua asal Barus, Samsudin Pasai, adalah murid dari Hamzah
Fansuri, ini memebuktikan, ternyata abad ke 16 M saja telah tergambarkan dengan
jelas dimana sumber- sumber ulama besar itu berada yang masih masyhur sampai
sekarang.[3]
§ Ar-Raini
Ar-Raini dilahirkan di Ranir, kota
pelabuhan tua di pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhamad
bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini. Tahun kelahiranya tidak dapat
diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke 16 M.
Ia mengikuti keluarganya dalam hal pendidikanya. Pendidikan pertamanya
diperoleh di Ranir dan kemudian dilanjutkan ke Hadhramaut. Sewaktu masih di Negri
asalnya ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang banyak
mempengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid imam bin Abdullah bin Syban, seorang
guru tarekhat rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gajarat, India.[4]
Menurut catatan azyumardi azra, Ar-Raini merupakan pembaharu di
Aceh. Ia mulai melanacarkan pembaharuan Islamnya setelah mendapat pijakan yang
kuat di istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah membrantas aliran Wujudiah yang
di anggap sebagai aliran sesat. Ar-Raini dikenal juga sebagai Syekh Islam yang
mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa untuk menentang aliran Wujudiah ini
bahkan, lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah kepada semacam
perburuan terhadap orang-orang sesat.
§ Syekh Abdul Rauf As-Sinkili
Abdul Rauf As-Sinkili adalah seorang
ulama besar dan Ufti besar
kerajaan Aceh pada abad ke 17 [1606-1637 M]. Nama Lengkapnya Adalah
Syekh Abdul Rauf bin Pansuri. Sejarah mencatat bahwa ia merupakan murid dari
dua ulama sufi yang menetap di Makah dan Madinah itu. Ia sempat menerima ba’iat
syathariah, di samping ilmu-ilmu yang lain, termasuk sekte dan bidang diruang
lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan denganya.
Menurut Hasyimi, sebagai mana azumardi Azra, ayah As-Sinkili
berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke -13 M,
kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah pelabuhan tua di pantai barat
Sumatra. Pendidikan pertamanya dimulai dari ayahnya disimpang kanan Sinkili.
Kepada ayahnya ia beljar ilmu-ilmu agama, Sejarah, bahasa Arab, Mantiq,
Filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia. Pendidikanya kemudian
dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah tinggi pada Syekh Samsuddin As-Sumatri.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Berdasarkan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili boleh memakai
“khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengkajian secara Suluk. Ia
telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula bahwa
ia telah dilantik sebagai Khlifah Mursyid. Dalam orde tarekat Syathariah. Yang
berarti pula, ia boleh memba’iat orang lain. telah di akui bahwa ia telah
mempunyai silsilah yang bersamung dari gurunya hingga pada Nabi Muhamad.[5]
§ Abd Shamad Al-Palimbani
Riwayat hidup Al-Palimbani tidak banyak diketahui, karena tulisan-
tulisan yang ada sekarang, ia hampir tidak memberikan keterangan tentang
dirinya. Walau pun demikian, kehidupan Al-Palimbani tidak seluruhnya berada
dalam kegelapan, karena didalam tulisa-tulisanya, ia selalu mencantumkan tempat
dan tanggal. Abd Shamad Al-Palimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran
Palembang pada permulaan abad ke -18, kira-kira tiga atau empat tahun 1700 M
dan meninggal tidak lama setelah tahun 1203 H/1788 M. ia adalah putra dari Yaman,
seorang ulama sufi di sana, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di
Kedah. Ketika berada di Palembang, abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita
negri ini. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash- Shamad Al-Palimbani.[6]
Abd Ash-Shamad lama belajar di Makah
dan Madinah dari ulama-ulama sufi, diantaranya Syekh Muhamad As-Samman. Menurut
Yusuf Hlindi, sebagai mana di Kuttif Khatib Quzwain bahwa Al-Palimbani menuntut
ilmu bersama-sama dengan Muhmad Arsyad Al-Banjari, Abd Hawab Bugis dari
Sulawesi Selatan, dan Abd Rahman Masri dari Jakarta. Mereka menjadi “empat
serangkai” yang sama-sama belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhamad
As-Samman.[7]
§ Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh
Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi.
Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H. atau bersamaan dengan 3 juli 1629
M. yang berarti tidak berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar islam
ke Sulawesi yaitu Datuk RI Bandang dan kawan- kawanya dari minang kabau. Dalam
salahsatu karanganya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab
“Al-Makasari”,yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (ujung padang).[8] Naluri
fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakan diri cinta akan
pengetahuan keisalaman. Dalam tempo relative singkat, ia telah tamat
mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah lancar benar tentang Al-Quran dan mungkin
termasuk seorang penghapal. Ia mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain,
seperti Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Bayan, Maani, Badi’, Balagah, dan Mantiq.
Ia pun belajar pula Ilmu Fiqih, Ilmu
Ushuluddin dan Ilmu Tasawuf. ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih
serasi pada pribadinya.[9]
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari
ilmu tasawuf. Orang yang hidup di zaman itu lebih mementingkan mental dan
material. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang
memang menjurus kearah itu pula. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke
Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh
Abi Addullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup
banyak, bahkan mungkin sukar mencari ulama yang mempelajari demikian banyak
tarekat serta mengamalkannya seperi dirinya, baik pada masanya maupun masa
kini. Secara ringkas, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan
dibawah ini:
a. Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nurudin ar-Raniri di Aceh,
b. Tarekat naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi abdillah abdul
baqi billah,
c. Tarekat as-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayid Ali di
Zubaid/Yaman, d. Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al Kurani
Madinah,
e.
Tarekat khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub
Al-Khalwati Al-quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di Masjid Muhyiddin
Ibn ‘Arabi.
§ Nawawi al-Bantani
Abu ‘Abd Al-Mu’thi Muhammad bin
‘Umar bin An-Nawawi Al-Bantani dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M, di desa
Tanara, sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang propinsi
Jawabarat Indonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru
pada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara. Ia pun sempat
belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten saat itu.
Pendidikannya kemudian diteruskan di Mekkah. Selama tiga tahun, ia
bermukim di sana dan pulang ke tanah air dengan khazanah keilmuan yang relative
cukup untuk menjadi seorang kyai di kampungnya. Namun, sebagaimana dijelaskan
Snouck, ia belum merasa memenuhi cita-cita dan harapan maysarakat Banten secara
penuh dan lengkap sehingga ia kembali ke Mekah dan bermukim di sana sampai
akhir hayatnya, tahun 1314 H/1897 M. Disana , ia terlibat dalam proses belajar
dan menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di
Indonesia.[10]
§ Hidup Hamka
Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di tanah Sirah,
Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 H,
bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah. Ayah
hamka termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan
Tuo, salah seorang pahlawa Paderi. Tuanku Nan Tuo adalh salah seorang ulama
yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di
Minangkabau, dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi social keagamaan masa
Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran
Al-Quran dan hadits yang lurus, yang tidak bercampur dengan adat-istiadat.
Kondisi politik menuntut untuk mengusir penjajah Belanda yang sangat ekspansi
dan kondisi inilah yang melatar belakangi perjuangan Hamka.
Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar Al-Quran di rumah
orang tuanya. Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka
dimasukkan ayahnya ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainuddin Labai El-
Yunusi mendirikan sekolah diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang,
Hamka pergi ke sekolah desa, sore hari pergi ke sekolah diniyah, dan malam
hari, Hamka berada di Surau bersama teman-teman sebayanya. Dan pada tahun 1918,
saat Hamka masih kecil, Abdul Karim Amrullah (ayahnya) kembali dari perlawatan
pertamanya ke tanah Jawa. Surau Jembatan Besi, tempat ayah Hamka member
pengajaran agama dengan system lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian
dikenal dengan Thawalib School, dan Hamka dimasukkan ke sekolah itu.
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa, masauknya tasawuf ke Indonesia beriringan dengan
masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada saat Abdullah Arif menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di
Aceh sekitar abad ke 12 M. Adapun tokoh-tokoh tasawuf Indonesia yang telah
menyebarkan dan mengajarkan tentang Ilmu tasawuf antara lain yaitu: Hamzah Fansuri (w. 1016 H/ 1607 M), Nuruddin Muhamad bin Hasanjin
Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-raini (W. 1068 H/1658), Syekh Abdul Rauf As-Sinkili(1024-1105
H/1615-1930 M), Abd Shamad Al-Palimbani
(W. 1203 H/1788 M), Syekh Yusuf Al-Makasari (W. 1037-1111 H/1627-1699 M),
Nawawi Al-Bantani (1613-1897 M ), dan Hamka (1908-1981 M). Merekalah para tokoh
Sufi yang telah menyebarkan dan mengajarkan ilmu tasawuf di Indonesia.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan
kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga
ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin........
Daftar Pustaka
·
Mulyani Sri, Tasawuf Nusantara, Jakarta: Kencana, 2006.
·
Azra Azyumardi, Jaringan Ulma’
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111, Bandung: Mizan, 1995.
·
Daudi Ahmad, Allah dan manusia
dalam konsepsi Syekh Nurddin Ar-Raini, Jakarta: Rajawali, 1983.
·
Yunus Abd Rahim, posisi taswuf
dalam kekuasaan di sultanan Buton pada Abad ke- 19, Jakarta: INIS, 1995.
·
Asnawi Ahmad, “pemikiran syekh
Nawawi Al-Bantani tentang ayat Qodar dan jabar dalam kitab tafsirnya”marah
labid”, suatu studi teologi,”disertasi, Jakarta: 1989.
[1]
Sri Mulyani, Tasawuf Nusantara, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 1
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulma’ Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XV11 dan XV111,
Bandung: Mizan, 1995, Hal. 35
[4]
Ahmad Daudi, Allah dan manusia dalam konsepsi
Syekh Nurddin Ar-Raini, Rajawali, Jakarta,
1983, hal. 36
[5]
Abdullah perkembangan ilmu tasawuf hal. 50
[6]
Abd Rahim Yunus, posisi taswuf dalam kekuasaan
di sultanan Buton pada Abad ke- 19, INIS, Jakarta, 1995, hlm.64
[7]
Quzwain, Syekh Abd Shamad, hal. 181.
[8]
Abdullah, perkembangan ilmu tasauf, hal. 60
[9] Ibid, hal.
61.
[10]
Ahmad Asnawi, “pemikiran syekh Nawawi
Al-Bantani tentang ayat Qodar dan jabar dalam
kitabn tafsirnya”marah labid”, suatu studi
teologi,”disertasi, Jakarta,1989, hal. 20
0 comments:
Post a Comment