Our social:

Sunday, 6 March 2016

MAKALAH TASAWUF dan PLURALISME


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf Sosial
Dosen Pengampu: Bahroon Ansori, M. Ag

Disusun Oleh:
LENI BUDIARTI (104411055)
  M. MAHMUD ABADI (104411056)

FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2012
TASAWUF dan PLURALISME
I.     PENDAHULUAN
Esensi tasawuf ini telah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun tasawuf sebagi ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainya, seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid. Pada masa Rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi saw. Sesudah beliau wafat, pengikut yang tidak menjumpai beliau disebut tabi’in (generasi setelah sahabat).
Namun pada masa yang serba modern ini tasawuf sering dipermasalahkan bahkan diperdebatkan oleh beberapa atau sebagian orang dikarenakan ajaran-ajarannya. Ada yang setuju terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan ada pula yang tidak setuju, semua itu dikarenakan pemahaman-pemahaman yang berfareasi dan beragam sesuai pemikiran individu yang bersangkutan. Dari hal inilah terbentuk suatu pemikiran pluralisme terhadap tasawuf di masa sekarang ini, dan menimbulkan beragam pendapat tantang tasawuf.
Oleh karena itu, kami akan membahas makalah yang berjudul Tasawuf dan Pluralisme pada matakuliah Tasawuf Sosial, dan di makalah ini disinggung tasawuf dengan kehidupan sosial seperti yang dirumuskan dalam permasalahan di bawah ini.

II.     RUMUSAN MASALAH
A.      Ajaran Sosial Tasawuf
B.       Sufisme dan Masyarakat
C.       Pengertian Pluralisme
D.      Fenomena Pluralisme Sosiologis

III.     PEMBAHASAN
A.      Ajaran Sosial Tasawuf
Dr. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya rakaiz al-Iman bina al-Aql wa al-Qalb (1967), mengajak kita untuk kembali kepada kehangatan sufisme. Menurutnya sufisme ditandai oleh tiga hal: (1) berusaha menjadikan iman yang bersifat nalar, menjadi perasaan yang bergelora, mengubah iman aqli menjadi iman qalbi; (2) melatih dan mengembangkan diri  menuju tingkatan kesempurnaan, dengan cara mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela; (3) memandang dunia ini hanya sebagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka. Al-Ghazali kemudian mengutip sejumlah definisi tasawuf dari beberapa tokoh tasawuf yang hampir secara seragam mengatakan bahwa sufisme ditegakkan di atas Al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sufisme adalah nilai-nilai Islam. Tidak mungkin di sini diperinci nilai-nilai tersebut. Pembicaran di batasi hanya dua hal, yaitu ajaran yang disebut Futuwwah dan Itsar.[1]
Istilah futuwwah (ksatria) berasal dari kata fata (pemuda ksatria). Setelah Islam datang, maknanya berkembang menjadi seorang yang ideal, mulia dan sempurna; orang yang keramahan dan kedermawanannya tak ada habis-habisnya sampai ia tak memiliki sesuatu pun untuk dirinya, termasuk nyawanya, demi kepentingan orang lain (Ibn al-Husain al-Sulami, 1992), dan termasuk futuwwah ialah sikap berusaha menghapus rasa keangkuhan, sabar dan tabah terhadap cobaan, dan meringankan kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kezhaliman, ikhlas karena Allah Swt. Dan lebih dari itu, berarti cinta, kasih saying, kepada Allah dan makhluk-Nya, dan cinta kepada kasih sayang itu sendiri (al-Sulami, 1992).[2]
Sejalan dengan futuwwah ialah Itsari, yaitu mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Sifat ini dipuji oleh Allah: “Dan mereka mementingkan kepentingan orang lain, meskipun mereka dalam kesusahan.” (QS al-Hasyr: 9). Dalam praktiknya konsep itsar ini tercermin dalam perhatian yang tulus (great concern) kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan, orang-orang yang memerlukan pertolongan, kaum fuqara dan masakin, orang-orang yang mendapatkan musibah, atau orang-orang teraniaya.[3]
 Menurut doktrin mazhab Nuriyah (pengikut Abu Hasan Ahmad ibn Muhammad Nuri) bahwa al-itsar merupakan doktrin yang utama. Abu Hasan pernah menyatakan bahwa persahabatan adalah lebih baik daripada menyendiri (‘uzlah), sebab hal ini berkaitan dengan setan. Sedangkan dalam persahabatan terdapat keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih. “(al-Hujwiri, 1992).[4]

B.       Sufisme dan Masyarakat
Kita mendefinisikan sufisme sebagai seni atau jalan yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Sufisme adalah cara yang memungkinkan mereka untuk mencapai kedalaman dan pemahaman batin, yan selanjutnya merengkuh kepuasan batin dalm setiap situasi dan semua kejadian yang mungkin di dalamnya. Interaksi sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni tertentu, dan kesatuan tertentu dengan totalitas alam, sehingga perilakunya nampak sebagi manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala keadaan. Apa yang kita pandang sebagai sakit, bagi seorang sufi hanyalah merupakan kondisi yang  beguna dan penting untuk menata diri dan menyeimbangkan batin kembali. Jadi, ia melihat sakit itu tidak lain hanyalah kesempatan untuk mengharap kebaikan dan kemurahan Tuhan. Dalam situasi ketia ia terlihat bagi kita dalam keadaan terdesak, dia sendiri ternyata dalam kepuasan dan mengalami keadaan itu tanpa keberatan. Batinnya selalu dalam keadaan terbuka dan menerima pengetahuan dak kebahagiaan.[5]
Sufi juga sering disalahpahami dan kadang-kadang disucikan. Ada saat-saat di mana mereka harus bergerak di bawah tanah untuk menjaga kelestarian diri dan melanjutkan pengajarannya dengan hati-hati. keadaan ini seringkali akibat ketakutan pada tirani pemerintah atau raja, atau ketika ulama ortodoks dan ulama kuat merasa otoritas dan posisi religiusnya di masyarakat ditantang atau dikurangi oleh popularitas kaum sufi. Jalan kebebasan sufi dengan penyerahan diri pada kebesaran dan keesaan realitas Allah, seringkali menjadi ujuan berat bagi mereka yang bersifat duniawi, dan mereka yang mendasari kekuasaannya pada kemampuannya untuk memanipulasi otoritas (kekuasaan) yang mereka terima di dunia ini. Hal ini karena mereka berposisi dalam memandang ciptaan. Para pencari yang belakangan ini, mencintai dan menyembaah kekuasaan, sedang yang sebelumnya, kaum sufi, mencintai dan menyembah Sumber dari segala kekuasaan.[6]

C.       Pengertian Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary (1913 + 1828)[7]
Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam  dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005).[8] Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa paham Pluralisme agama adalah haram
Pluralisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah.” (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
 وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِي
 “Dan Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela,” (QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?[9]

D.      Fenomena Pluralisme Sosiologis
Dalam konteks hidup bermasyarakat, pluralisme seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat menganggu integrasi masyarakat. Tidak mengherankan bila masih terdapat pandangan negatif terhadap pluralisme ini, karena pertimbangan pada implikasi-implikasi sosial yang ditimbulkannya.
Beberapa pandangan menunjukkan pluralism dipahamai sebagai salah satu faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial baik bertolak dari suatu kepentingan (vastest interest) keagamaan yang sempit, maupun yang bertolak dari supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan semacam ini sepenuhnya tidak dapat disalahkan, karena dalam banyak kasus dibeberapa Negara banyak terjadi konflik yang dilatarbelakangi persoalan pluralisme demikian.[10]
Dalam suatu keberagaman sebagaimana tersebut di atas pluralisme tidak lagi dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi dalam membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. Demikian pula dalam kehidupan demokrasi pluralisme bukan merupakan ancaman, karena pluralisme akan menjadi prasyarat bagi proses demokratisasi. Seperti dalam pandangan teori struktur sosial, pluralisme sangat diperlukan sebagai salah satu prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern. Dilihat dari sudut pandang demikian. Indonesia dapat berkembang sebagai bangsa yang pluralistik, namun tetap religius dan demokratis.[11]
Pluralisme masyarakat modern di pandan sebagai sesuatu yang wajar, sebab setelah menjadi sunnatullah, tidak ada hidup tanpa pluralisme  dalam arti antarumat, kecuali kota-kota tertentu seperti Vatikan, Makkah dan Madinah. (Norcholish Majdid, 1992). Dan dalam pengertian yang lebih luas lagi, pluralisme dalam berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti ras, suku, watak dan sebagainya. Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri, keadaan watak dan tradisi masing-masing suku, dan watak individual, maka dalam suasana pluralisme ini sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, wajar, adil dan sebagainya. Di sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang berasal-usul satu, yakni Adam as.[12]

IV.     KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai tasawuf dan pluralisme di atas kami dapat menyimpulkan bahwa dalam kehidupan saat ini yaitu masa modern, tasawuf sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dan memiliki tanggung jawab sosial karena tasawuf bukan lagi menjadi tempat pelarian bagi sementara orang, namun merupakan suatu keniscayaan yang sungguh perlu diperhatikan oleh semua orang. Akan tetapi muncul sebuah pluralisme atau keberagaman dalam memahami tasawuf dan banyak menimbulkan suatu pro dan kontra terhadap tasawuf. Hal ini salah satunya didasari oleh tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional, materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai benda dan ekonomi. Karena hal tersebutlah banyak timbul persepsi-persepsi yang kurang benar terhadap ajaran tasawuf.
Seperti yang telah dijelaskan pada (QS al-Hujurat [49]: 13) mengenai bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas). Dan memberi suatu kebebasan dalam berpikir dan mengembangkan pemikirannya, tetapi masyarakat modern yang mengandung cirri-ciri tersebut, ternyata menyimpan problem hidup yang sulit untuk dipecahkan. Rasionalisme, sekularirisme, materialism, dan lain sebagainya ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi sebaliknya, semakin menimbulkan kegelisahan hidup.
V.     PENUTUP
Berdasarkan uraian makalah di atas kami pemakalah mengharapkan apa yang sudah kita pahami mengenai tasawuf dan pluralisme akan menjadi suatu pengetahuan kita semua sekaligus kita bisa memahami dan menghargai mengenai pluralisme atau keberagaman dalam berpikir seseorang atau sekelompok orang, karena kita tidak mengetahui pemikiran dan pemahaman siapa yang lebih benar dihadapan Allah Swt, hanyalah Allah Swt yang mengetahui kebenaran yang kita pikirkan dan lakukan di dunia ini. Di dalam makalah ini tentunya ada kesalahan dalam penulisan, kami dari pemakalah sangat membutuhkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan dan pengembangan pada makalah ini, dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita sekaligus bermanfaat dalam dunia akademik maupun dunia penerapan pngetahuan ini. Âmîîîn…….










Daftar Pustaka

·      Syukur , Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999.
·      Fadhlallah Haeri, Syaikh, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
·      Syamsul Arifin &Tobroni, Islam; Pluralisme Budaya Dan Politik, Yogyakarta: Sipress, 1994
·      http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme, Selasa, 12 Juni 2012, 19:35 WIB.
·      http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/05/bahaya-pluralisme/ Selasa, 12 Juni 2012, 18:55 WIB.




[1] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M. A. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999, h. 87-88.
[2] Ibid, h. 88.
[3] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M. A. Menggugat Tasawuf…h. 90.
[4] Ibid, h. 90.
[5] Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. h. 156-157.
[6] Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme…h. 161-162.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme, Selasa, 12 Juni 2012, 19:35 WIB.
[10] Tobroni & Syamsul Arifin, ISLAM; PLURALISME BUDAYA DAN POLITIK, Yogyakarta: SIPRESS, 1994. h. 33.
[11] Tobroni & Syamsul Arifin, ISLAM; PLURALISME BUDAYA DAN POLITIK …h. 36.
[12] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M. A. Menggugat Tasawuf…h 118.

0 comments: