MAKALAH TASAWUF dan PLURALISME
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf
Sosial
Dosen Pengampu: Bahroon
Ansori, M. Ag

Disusun
Oleh:
LENI BUDIARTI (104411055)
M. MAHMUD ABADI (104411056)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2012
TASAWUF dan PLURALISME
I. PENDAHULUAN
Esensi tasawuf ini telah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun tasawuf
sebagi ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainya, seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid. Pada masa Rasulullah saw, belum
dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat
Nabi saw. Sesudah beliau wafat, pengikut yang tidak menjumpai beliau
disebut tabi’in (generasi setelah sahabat).
Namun pada masa yang serba modern ini tasawuf sering dipermasalahkan
bahkan diperdebatkan oleh beberapa atau sebagian orang dikarenakan
ajaran-ajarannya. Ada yang setuju terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan ada pula
yang tidak setuju, semua itu dikarenakan pemahaman-pemahaman yang berfareasi
dan beragam sesuai pemikiran individu yang bersangkutan. Dari hal inilah terbentuk
suatu pemikiran pluralisme terhadap tasawuf di masa sekarang ini, dan
menimbulkan beragam pendapat tantang tasawuf.
Oleh karena itu, kami akan membahas makalah yang berjudul Tasawuf dan
Pluralisme pada matakuliah Tasawuf Sosial, dan di makalah ini disinggung
tasawuf dengan kehidupan sosial seperti yang dirumuskan dalam permasalahan di
bawah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Ajaran Sosial Tasawuf
B. Sufisme dan Masyarakat
C. Pengertian Pluralisme
D. Fenomena Pluralisme Sosiologis
III. PEMBAHASAN
A.
Ajaran Sosial Tasawuf
Dr. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya rakaiz al-Iman bina al-Aql wa
al-Qalb (1967), mengajak kita untuk kembali kepada kehangatan sufisme. Menurutnya
sufisme ditandai oleh tiga hal: (1) berusaha menjadikan iman yang bersifat
nalar, menjadi perasaan yang bergelora, mengubah iman aqli menjadi iman qalbi;
(2) melatih dan mengembangkan diri
menuju tingkatan kesempurnaan, dengan cara mengumpulkan sifat-sifat
mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela; (3) memandang dunia ini
hanya sebagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.
Al-Ghazali kemudian mengutip sejumlah definisi tasawuf dari beberapa tokoh
tasawuf yang hampir secara seragam mengatakan bahwa sufisme ditegakkan di atas Al-Qur’an
dan al-Sunnah. Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
yang terkandung dalam sufisme adalah nilai-nilai Islam. Tidak mungkin di sini
diperinci nilai-nilai tersebut. Pembicaran di batasi hanya dua hal, yaitu
ajaran yang disebut Futuwwah dan Itsar.[1]
Istilah futuwwah (ksatria) berasal dari kata fata (pemuda
ksatria). Setelah Islam datang, maknanya berkembang menjadi seorang yang ideal,
mulia dan sempurna; orang yang keramahan dan kedermawanannya tak ada
habis-habisnya sampai ia tak memiliki sesuatu pun untuk dirinya, termasuk
nyawanya, demi kepentingan orang lain (Ibn al-Husain al-Sulami, 1992), dan
termasuk futuwwah ialah sikap berusaha menghapus rasa keangkuhan, sabar
dan tabah terhadap cobaan, dan meringankan kesulitan orang lain, pantang
menyerah terhadap kezhaliman, ikhlas karena Allah Swt. Dan lebih dari itu,
berarti cinta, kasih saying, kepada Allah dan makhluk-Nya, dan cinta kepada
kasih sayang itu sendiri (al-Sulami, 1992).[2]
Sejalan dengan futuwwah ialah Itsari, yaitu mementingkan
orang lain daripada diri sendiri. Sifat ini dipuji oleh Allah: “Dan mereka
mementingkan kepentingan orang lain, meskipun mereka dalam kesusahan.” (QS
al-Hasyr: 9). Dalam praktiknya konsep itsar ini tercermin dalam
perhatian yang tulus (great concern) kepada orang-orang yang mendapatkan
kesulitan, orang-orang yang memerlukan pertolongan, kaum fuqara dan masakin,
orang-orang yang mendapatkan musibah, atau orang-orang teraniaya.[3]
Menurut doktrin mazhab Nuriyah
(pengikut Abu Hasan Ahmad ibn Muhammad Nuri) bahwa al-itsar merupakan
doktrin yang utama. Abu Hasan pernah menyatakan bahwa persahabatan adalah lebih
baik daripada menyendiri (‘uzlah), sebab hal ini berkaitan dengan setan.
Sedangkan dalam persahabatan terdapat keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
“(al-Hujwiri, 1992).[4]
B. Sufisme dan Masyarakat
Kita mendefinisikan sufisme sebagai seni atau jalan yang membimbing
manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Sufisme adalah cara yang
memungkinkan mereka untuk mencapai kedalaman dan pemahaman batin, yan
selanjutnya merengkuh kepuasan batin dalm setiap situasi dan semua kejadian yang
mungkin di dalamnya. Interaksi sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni
tertentu, dan kesatuan tertentu dengan totalitas alam, sehingga perilakunya
nampak sebagi manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala keadaan. Apa yang
kita pandang sebagai sakit, bagi seorang sufi hanyalah merupakan kondisi
yang beguna dan penting untuk menata
diri dan menyeimbangkan batin kembali. Jadi, ia melihat sakit itu tidak lain
hanyalah kesempatan untuk mengharap kebaikan dan kemurahan Tuhan. Dalam situasi
ketia ia terlihat bagi kita dalam keadaan terdesak, dia sendiri ternyata dalam
kepuasan dan mengalami keadaan itu tanpa keberatan. Batinnya selalu dalam keadaan
terbuka dan menerima pengetahuan dak kebahagiaan.[5]
Sufi juga sering disalahpahami dan kadang-kadang disucikan. Ada saat-saat
di mana mereka harus bergerak di bawah tanah untuk menjaga kelestarian diri dan
melanjutkan pengajarannya dengan hati-hati. keadaan ini seringkali akibat
ketakutan pada tirani pemerintah atau raja, atau ketika ulama ortodoks dan
ulama kuat merasa otoritas dan posisi religiusnya di masyarakat ditantang atau
dikurangi oleh popularitas kaum sufi. Jalan kebebasan sufi dengan penyerahan
diri pada kebesaran dan keesaan realitas Allah, seringkali menjadi ujuan berat
bagi mereka yang bersifat duniawi, dan mereka yang mendasari kekuasaannya pada
kemampuannya untuk memanipulasi otoritas (kekuasaan) yang mereka terima di
dunia ini. Hal ini karena mereka berposisi dalam memandang ciptaan. Para
pencari yang belakangan ini, mencintai dan menyembaah kekuasaan, sedang yang
sebelumnya, kaum sufi, mencintai dan menyembah Sumber dari segala kekuasaan.[6]
C. Pengertian Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua
kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam
pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised
Unabridged Dictionary (1913 + 1828)[7]
Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005).[8]
Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa paham Pluralisme agama adalah haram
Pluralisme
Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa di sisi Allah.” (QS al-Hujurat
[49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui
keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain
Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama
tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا
لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ
مِنْ نَصِي
“Dan Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan
yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang
zalim itu mempunyai pembela,” (QS
al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain
Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa
dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua
agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?[9]
D. Fenomena Pluralisme Sosiologis
Dalam konteks hidup bermasyarakat, pluralisme seringkali menjadi
persoalan sosial yang dapat menganggu integrasi masyarakat. Tidak mengherankan
bila masih terdapat pandangan negatif terhadap pluralisme ini, karena
pertimbangan pada implikasi-implikasi sosial yang ditimbulkannya.
Beberapa pandangan
menunjukkan pluralism dipahamai sebagai salah satu faktor yang dapat
menimbulkan konflik-konflik sosial baik bertolak dari suatu kepentingan (vastest
interest) keagamaan yang sempit, maupun yang bertolak dari supremasi budaya
kelompok masyarakat tertentu. Pandangan semacam ini sepenuhnya tidak dapat
disalahkan, karena dalam banyak kasus dibeberapa Negara banyak terjadi konflik
yang dilatarbelakangi persoalan pluralisme demikian.[10]
Dalam suatu
keberagaman sebagaimana tersebut di atas pluralisme tidak lagi dilihat sebagai
ancaman, tetapi sebagai potensi dalam membangun kehidupan masa depan yang lebih
baik. Demikian pula dalam kehidupan demokrasi pluralisme bukan merupakan
ancaman, karena pluralisme akan menjadi prasyarat bagi proses demokratisasi.
Seperti dalam pandangan teori struktur sosial, pluralisme sangat diperlukan
sebagai salah satu prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern.
Dilihat dari sudut pandang demikian. Indonesia dapat berkembang sebagai bangsa
yang pluralistik, namun tetap religius dan demokratis.[11]
Pluralisme masyarakat
modern di pandan sebagai sesuatu yang wajar, sebab setelah menjadi sunnatullah,
tidak ada hidup tanpa pluralisme
dalam arti antarumat, kecuali kota-kota tertentu seperti Vatikan, Makkah
dan Madinah. (Norcholish Majdid, 1992). Dan dalam pengertian yang lebih luas
lagi, pluralisme dalam berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti
ras, suku, watak dan sebagainya. Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing
pemeluk agama terhadap agamanya sendiri, keadaan watak dan tradisi
masing-masing suku, dan watak individual, maka dalam suasana pluralisme ini
sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, wajar, adil dan sebagainya. Di
sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang
berasal-usul satu, yakni Adam as.[12]
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai
tasawuf dan pluralisme di atas kami dapat menyimpulkan bahwa dalam kehidupan
saat ini yaitu masa modern, tasawuf sangat berperan penting dalam kehidupan
sosial dan memiliki tanggung jawab sosial karena tasawuf bukan lagi menjadi
tempat pelarian bagi sementara orang, namun merupakan suatu keniscayaan yang
sungguh perlu diperhatikan oleh semua orang. Akan tetapi muncul sebuah
pluralisme atau keberagaman dalam memahami tasawuf dan banyak menimbulkan suatu
pro dan kontra terhadap tasawuf. Hal ini salah satunya didasari oleh tumbuhnya
kecenderungan berpikir rasional, materialistik, artinya semua hal diukur oleh
nilai benda dan ekonomi. Karena hal tersebutlah banyak timbul persepsi-persepsi
yang kurang benar terhadap ajaran tasawuf.
Seperti yang telah dijelaskan
pada (QS al-Hujurat
[49]: 13) mengenai bahwa Islam mengakui keberadaan
dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam
(pluralitas). Dan memberi suatu kebebasan dalam berpikir dan
mengembangkan pemikirannya, tetapi masyarakat modern yang mengandung cirri-ciri
tersebut, ternyata menyimpan problem hidup yang sulit untuk dipecahkan. Rasionalisme,
sekularirisme, materialism, dan lain sebagainya ternyata tidak menambah
kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi sebaliknya, semakin menimbulkan
kegelisahan hidup.
V. PENUTUP
Berdasarkan uraian makalah
di atas kami pemakalah mengharapkan apa yang sudah kita pahami mengenai tasawuf
dan pluralisme akan menjadi suatu pengetahuan kita semua sekaligus kita bisa
memahami dan menghargai mengenai pluralisme atau keberagaman dalam berpikir
seseorang atau sekelompok orang, karena kita tidak mengetahui pemikiran dan
pemahaman siapa yang lebih benar dihadapan Allah Swt, hanyalah Allah Swt yang
mengetahui kebenaran yang kita pikirkan dan lakukan di dunia ini. Di dalam makalah ini tentunya ada kesalahan dalam penulisan, kami dari
pemakalah sangat membutuhkan kritik dan saran yang dapat membangun demi
perbaikan dan pengembangan pada makalah ini, dan semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan kita sekaligus bermanfaat dalam dunia akademik maupun
dunia penerapan pngetahuan ini. Âmîîîn…….
Daftar Pustaka
·
Syukur , Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Belajar,
1999.
·
Fadhlallah Haeri, Syaikh, Jenjang-Jenjang
Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
·
Syamsul Arifin &Tobroni, Islam; Pluralisme Budaya Dan Politik, Yogyakarta:
Sipress, 1994
[1]
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur,
M. A. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999, h. 87-88.
[4] Ibid,
h. 90.
[5] Syaikh
Fadhlallah Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000. h. 156-157.
[10]
Tobroni & Syamsul Arifin, ISLAM;
PLURALISME BUDAYA DAN POLITIK, Yogyakarta: SIPRESS, 1994. h. 33.
[11] Tobroni & Syamsul Arifin, ISLAM;
PLURALISME BUDAYA DAN POLITIK …h. 36.
[12] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M. A. Menggugat
Tasawuf…h 118.
0 comments:
Post a Comment