M A K A L A H ATTAHAMMULUL HADITS
M A K A L A H
ATTAHAMMULUL
HADITS
Disusun Guna MenuhiTugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadits I
Dosen Pengampu : Ust. Ahmad Bisri, M.Ag.
Disusun oleh:
Yazid Mubarok (124211096)
Wildan Badruz Zaman (124211095)
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim,
sangatlah penting bagi kita untuk mempelajari ilmu hadits, sebab hadits adalah
sumber hukum tertinggi setelah Al-Qur’an. Banyak hukum/syariat Islam yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, namun ada dalam hadits.
Syarat pertama
hadits itu dikatakan shahih, sebagaimana disebutkan oleh para Ulama’
Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadits. Salah satu
cara pembuktian tersambungnya sanad adalah dengan mengetahui metode
berpindahnya suatu hadits dari satu rawi ke rawi lain. Dalam Ilmu Musthalah
hadits, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Tahammul wa Ada
al-hadits”.
Maka melalui makalah ini
kami mencoba mengulas tentang tahammul hadits, sebab kedudukan tahammul hadits
ini sangat penting dalam proses penyebaran al-Hadits.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tahammul hadits ?
2. bagaimana syarat perowi, atau seorang yang
ber-tahammul hadits?
3.
Bagaimana kelayakan hadits ketika di-tahammulkan ?
4. Bagaimana
metode yang digunakan dalam tahammul hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Tahammul
Hadits
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il
madli tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau
biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah
menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut
istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah
hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
Secara
mudahnya, tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan
dari seorang gurudengan menggunakan beberapa metode tertentu.
b.
Syarat-syarat
Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan
anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya
niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan
adab atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus
memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau
dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima
tersebut sah untuk diriwayatkan.
a. Tamyiz
Syarat perawi dalam tahammul al-hadits hanyalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut
tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau menurut
penulis seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara kambing dan
anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal
yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran
tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan
dengan baik dan benar.
Syarat perawi dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah
tamyiz, sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits.
Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits
karena untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber hukum islam
sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima
hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.
c. Kalayakan hadits dan penerimaan oleh anak-anak
Jumhur Ulama ahli hadits berpendapat
bahwa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur
(belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan
kepada orang lain ketika sudah mukallaf.[2]
Hal ini didasarkan pada keadaan para
sahabat, tabiin dan ahli ilmu setelahnya yang menerima priwayatan hadits
seperti Hasan, Abdullah Ibn Zubeir, Ibnu ‘Abbas Nu’man bin Basyir, Salib Ibn
Yazid, dll, dengan tanpa mempermasalahkan mereka telah baligh atau belum.
Namun mereka berbeda pendapat
mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab
permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut. Al-Qodhi ‘Iyad[3]
menetapkan bahwa batas minimal usia anak untuk diperbolehkan bertahammul paling
tidak telah berusia 5 tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal
apa yang didengar dan mengingat-ingat apa yang dihafal. Pendapat ini didasarkan
pada hadits riwayat bukhori dari sahabat Mahmud Ibn Ruba’I :
“saya
ingat Rasulullah SAW meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedang
saat itu usiaku lima tahun”
Kedua, pendapat
Al-Hafidz Musa ibn Harun Al- Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara
sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah
“tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan disekitar.
Ketiga, keabsahan setiap
anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak
terlah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz
dan absah pendengarannya, meskipun usianya masih di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami
pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar
hadits tidak absah, meskipun usianya di atas lima tahun.
Kemudian
nilai kelayakan hadits yang diterima adalah tergantung cara periwayatan yang
dilakukan oleh perowi penyampai hadits, yang tentunya dengan syarat-syarat
tertentu. Dan kelayakan hadits yang diterima oleh anak-anak ini yang kemudian
jika akan disampaikan maka juga harus melalui syarat-syarat kelayaknnya sebagai
perowi.
d.
Kelayakan hadits dan penerimaan
hadits bagi orang Kafir dan orang fasik.
Jumhur Ulama menganggap sah jika
hadits disampaikan kepada orang kafir maupun fasik, asalkan hadits tersebut
jika hendak diriwayatkan kepada orang lain diperbolehkan manakala orang
tersebut telah menjadi mu’allaf dan bertobat. Alasan yang para ulama kemukakan
adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang
mendengar sabda Rasulullah SAW sebelum mereka masuk Islam. Diantaranya ialah
sahabat Zubair. Beliau pernah mendengar Rsulullah membaca surah at-Thur ketika
sholat magrib, saat tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar.
dan akhirnya didengar oleh sahabat Zubair dan kemudian dia tertarik untuk
memeluk Islam. Jika penerima hadits oleh orang kafir yang kemudian
disampaikanya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu
dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkan setelah dia
bertobat.[4]
sighat / metode
tahammul dan ada’ hadits adalah sama, karena kedua hal ini adalah berkaitan.
Sighat
Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.
1. Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan
gurunya, baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik dari hafalannya
maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang
disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan
penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk kategori sama' juga
seorang yang mendengar hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama
membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal
demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
Lafadh-lafadh
yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:
أخبرنى، أخبرنا (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
أخبرنى، أخبرنا (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
حدثنى، حدثنا(seseorang
telah bercerita kepadaku/kami)
سمعت، سمعنا
(saya telah mendengar, kami telah mendengar)
2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau
'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu
cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya,
baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru
mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia
memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Lafadh-lafadh
yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:[5]
قرآت عليه (aku telah membacakan dihadapannya)
قرآت عليه (aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ على فلان و أنا
أسمع (dibacakan seseorang dihadapannya sedang
aku
mendengarkannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
3. Ijazah
yakni Seorang
guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan
atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang
muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara
macam-macam ijazah adalah
a. Syaikh
mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia
berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah,
inilah yang paling tinggi derajatnya
b. Syaikh
mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan
semua riwayatku”.
c. Syaikh
mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan
apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada
semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh
mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di
situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh
memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku
ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh
yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah
adalah ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana
ijaazatan – حدثنا
إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana
ijaazatan – أنبأنا
إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4. Al-Munaawalah
Yakni seorang
guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada
muridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah
ada dua macam :
a.
Al-Munawalah
yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si
fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya
untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan
al-qira’ah.
b. Al-Munawalah
yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang
syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada
orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2
macam :
a. Kitabah yang
disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa
yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara
ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai
ijazah.
b. Kitabah yang
tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui
bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang
syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah
riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk
meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi
berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah memberitahu kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang
syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah
kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika
menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya
fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan
telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan
– حدثني
فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang
perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal
syaikh itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh
si perawi.
Dalam
menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si
perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan
tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku
ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya. Sighat
Tahammul Wa
Dari beberapa proses penerimaan dan
penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut.
Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan
sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa
istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut: [6]
hadits
y1) Jika proses tahamul dengan cara
mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan
menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan
kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan
ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika
proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan,
maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata :
وجدت بخط فلان, قال فلانa
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata :
وجدت بخط فلان, قال فلانa
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tahammul al-hadits menurut bahasa adalah
menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut
istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah
hadits adalah: Tahammul
artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.
Mayoritas ahli ilmu
cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil,
yakni anak yang belum mencapai usia takluf. Sedang sebagian mereka tidak
memperbolehkannya.
Syarat seorang yang bertahammul hanyalah Tamyiz
Metode- metode yang
digunakan dalam tahamul hadist yaitu:
3. Al-Ijazah ( الإجازة,
sertifikasi atau rekomendasi).
4. Al-Munawalah ( المناولة
)
6. I’lam asy-Syeikh ( إعلام الشيخ )
8. Al-Wijadah (penemuan) (الوجادة )
DAFTAR PUSTAKA
H. Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung, CV.
Pustaka Setia
Mahmud,
Thohan. 1985.
Terjemah Tafsir
Mushtholah Hadits. Songgopuro. Haramain
Suparta,
Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada.
#makalah #hadits #filsafat #psikologi #thariqah #tasawuf #ilmu #saint
#makalah #hadits #filsafat #psikologi #thariqah #tasawuf #ilmu #saint
[2]
Namun demikian ketika si bocah
tersebut hendak menyampaikan hadits kepada orang lain meski sudah mukallaf maka
tetaplah bergantung kepada syarat-syarat perowi dalam ‘ada’ul hadits
(periwayatan / penyampaian hadits).
[3]
Al-Qadhi Abu
Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin 'Imrun bin Musa bin Muhammad bin
'Abdullah bin Musa bin 'Iyadh al-Yahshubi al-Maliki, adalah seorang faqih di
dalam mazhab Maliki dan seorang ulama hadits pada zamannya. Lahir tahun 476 H
di Ceuta.
[4]
Munzier
Suparta. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada. Hlm.74
0 comments:
Post a Comment