Our social:

Wednesday, 23 March 2016

M A K A L A H ATTAHAMMULUL HADITS



M A K A L A H
ATTAHAMMULUL HADITS

Disusun Guna MenuhiTugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits I
Dosen Pengampu : Ust. Ahmad Bisri, M.Ag.
 






Disusun oleh:
Yazid Mubarok                   (124211096)
Wildan Badruz Zaman       (124211095)


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013





BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim, sangatlah penting bagi kita untuk mempelajari ilmu hadits, sebab hadits adalah sumber hukum tertinggi setelah Al-Qur’an. Banyak hukum/syariat Islam yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, namun ada dalam hadits.
Syarat pertama hadits itu dikatakan shahih, sebagaimana disebutkan oleh para Ulama’ Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadits. Salah satu cara pembuktian tersambungnya sanad adalah dengan mengetahui metode berpindahnya suatu hadits dari satu rawi ke rawi lain. Dalam Ilmu Musthalah hadits, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Tahammul wa Ada al-hadits”.
Maka melalui makalah ini kami mencoba mengulas tentang tahammul hadits, sebab kedudukan tahammul hadits ini sangat penting dalam proses penyebaran al-Hadits.

B.     Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian tahammul hadits ?
2.    bagaimana syarat perowi, atau seorang yang ber-tahammul hadits?
3.    Bagaimana kelayakan hadits ketika di-tahammulkan ?
4.    Bagaimana metode yang digunakan dalam tahammul hadits ?


BAB II
PEMBAHASAN

a.      Pengertian Tahammul Hadits
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
                                                                   التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.[1]
Secara mudahnya, tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan dari seorang gurudengan menggunakan beberapa metode tertentu.

b.              Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.
a.  Tamyiz
Syarat perawi dalam tahammul al-hadits hanyalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau menurut penulis seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara  kambing dan anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Syarat perawi  dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits karena untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber hukum islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.

c.       Kalayakan hadits dan penerimaan oleh anak-anak
Jumhur Ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain ketika sudah mukallaf.[2]
Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabiin dan ahli ilmu setelahnya yang menerima priwayatan hadits seperti Hasan, Abdullah Ibn Zubeir, Ibnu ‘Abbas Nu’man bin Basyir, Salib Ibn Yazid, dll, dengan tanpa mempermasalahkan mereka telah baligh atau belum.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut. Al-Qodhi ‘Iyad[3] menetapkan bahwa batas minimal usia anak untuk diperbolehkan bertahammul paling tidak telah berusia 5 tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat apa yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat bukhori dari sahabat Mahmud Ibn Ruba’I :


saya ingat Rasulullah SAW meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedang saat itu usiaku lima tahun”
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun Al- Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan disekitar.
Ketiga, keabsahan setiap anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak terlah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan absah pendengarannya, meskipun usianya masih di bawah  lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meskipun usianya di atas lima tahun. 
            Kemudian nilai kelayakan hadits yang diterima adalah tergantung cara periwayatan yang dilakukan oleh perowi penyampai hadits, yang tentunya dengan syarat-syarat tertentu. Dan kelayakan hadits yang diterima oleh anak-anak ini yang kemudian jika akan disampaikan maka juga harus melalui syarat-syarat kelayaknnya sebagai perowi.

d.      Kelayakan hadits dan penerimaan hadits bagi orang Kafir dan orang fasik.
Jumhur Ulama menganggap sah jika hadits disampaikan kepada orang kafir maupun fasik, asalkan hadits tersebut jika hendak diriwayatkan kepada orang lain diperbolehkan manakala orang tersebut telah menjadi mu’allaf dan bertobat. Alasan yang para ulama kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah SAW sebelum mereka masuk Islam. Diantaranya ialah sahabat Zubair. Beliau pernah mendengar Rsulullah membaca surah at-Thur ketika sholat magrib, saat tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar. dan akhirnya didengar oleh sahabat Zubair dan kemudian dia tertarik untuk memeluk Islam. Jika penerima hadits oleh orang kafir yang kemudian disampaikanya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkan setelah dia bertobat.[4]

c. Sighat Tahammul hadits
                 sighat / metode tahammul dan ada’ hadits adalah sama, karena kedua hal ini adalah berkaitan.
Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.
1.    Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk kategori sama' juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:
  
أخبرنى، أخبرنا (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
   حدثنى، حدثنا(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
سمعت، سمعنا   (saya telah mendengar, kami telah mendengar)

2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:[5]
قرآت عليه (aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ على فلان و أنا أسمع (dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه (telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)

3. Ijazah
yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan   mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan – أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).

4. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.       Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b.       Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.

6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah memberitahu kepadaku).

7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya. Sighat Tahammul Wa
 Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut: [6]
hadits          y1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang   meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi  penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata
:
وجدت بخط فلان, قال فلانa




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah: Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya.
   Syarat seorang yang bertahammul hanyalah Tamyiz
Metode- metode yang digunakan dalam tahamul hadist yaitu:
1.        As-Sima (  السماع , mendengar).
2.        Al-Qira’ah Ala asy-Syeikh ( القراءة على الشيخ).
3.        Al-Ijazah (  الإجازة, sertifikasi atau rekomendasi).
4.        Al-Munawalah (  المناولة )
5.        Al-Mukatabah (  المكاتبة  )
6.        I’lam asy-Syeikh (   إعلام الشيخ   )
7.         Al-Washiyyah (الوصية    )
8.        Al-Wijadah (penemuan)  (الوجادة   )


 

DAFTAR PUSTAKA

H. Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung, CV. Pustaka Setia
Mahmud, Thohan. 1985. Terjemah Tafsir Mushtholah Hadits. Songgopuro. Haramain
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

#makalah #hadits #filsafat #psikologi #thariqah #tasawuf #ilmu #saint


[1] Mahmud Thohan. 1985. Terjemah Tafsir Mushtholah Hadits. Songgopuro. Haramain hlm. 98

[2] Namun demikian ketika si bocah tersebut hendak menyampaikan hadits kepada orang lain meski sudah mukallaf maka tetaplah bergantung kepada syarat-syarat perowi dalam ‘ada’ul hadits (periwayatan / penyampaian hadits).
[3] Al-Qadhi Abu Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin  'Imrun bin Musa bin Muhammad bin 'Abdullah bin Musa bin 'Iyadh al-Yahshubi al-Maliki, adalah seorang faqih di dalam mazhab Maliki dan seorang ulama hadits pada zamannya. Lahir tahun 476 H di Ceuta.
[4] Munzier Suparta. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Hlm.74

[5] H. Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung, CV. Pustaka Setia hlm. 107.

[6] H. Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung, CV. Pustaka Setia. Hlm 109-110

0 comments: