Our social:

Saturday, 5 March 2016

TEORI FILSAFAT SOCRATES, PLATO, DAN ARISTOTELES



FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2011






PENDAHULUAN
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  
Berbicara tentang filsafat, kita harus tahu terlebih dahulu apa arti filsafat itu sendiri. Kata filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani: philoshophia yang banyak diperoleh pengertian-pengertian, baik secara harfiah atau etimologi. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, gemar, suka dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. filsafat menurut arti katanya dapat diartikan sebagai cinta, cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran. Suka kepada hikmah dan kebijaksanaan.

RUMUSAN MASALAH
A.    Teori Filsafat Socrates
B.     Teori Filsafat Plato
C.     Teori Filsafat Aristoteles

PEMBAHASAN
A.    Teori Filsafat Socrates
Socrates (469-399 SM) seorang filosof  Yunani dari Athena. Ia tersohor dengan pendapatnya tentang filsafat sebagai suatu usaha pencarian yang perlu bagi tiap intelektual.[1] Bapaknya tukang pembuat patung, ibunya bidan. Pada permulaannya Socrates ingin menuruti jejak bapaknya, sebagai tukang pembuat patung. Namun, ia berganti haluan dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia.
Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sufisme di Athena. Socrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut kata teman-temannya. Socrates demikian adil, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum.
 Di dalam komedi “Awan”, Aristhophanes memandang Socrates sebagai seorang sofis, dan sudah tentu yang demikian ini tidak begitu aneh seperti yang dianggap orang kemudian. Namun tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang khas antara Socrates dengan kaum sofis.[2] Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan ajarannya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia sendiri bukan seorang filosof. Untuk mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya.Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Socrates yang berkata. Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya.
Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab.
Menurutnya ada kebenaran objektif, yang tidak bergantung pada saya atau pada kita.[3] Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak.
Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap daripada sesuatunya. Sebab itu ia selalu bertanya: apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang “apa itu” harus lebih dahulu daripada “apa sebab”. Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan “apa itu”. Oleh karena jawab tentang “apa itu” harus dicari dengan tanya jawab yang mungkin meningkat dan mendalam, maka Socrates diakui pula—sejak keterangan Aristoteles—sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis. Dalam berjuang mencari kebenaran yang umum lakunya, yaitu mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya, terletak seluruh filosofinya
.
B.     Teori Filsafat Plato
      Plato lahir pada tahun 4287 sebelum masehi dari keluarga terkemuka di Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Ketika bapaknya meninggal ibunya menikah lagi dengan adik ayahnya Plato yang bernama Pyrilampes yang tidak lain adalah seorang politikus, dan Plato banyak terpengaruh dengan kehadiran pamannya ini. Karena sejak kehadiran pamannya ini ia banyak bergaul dengan para politikus Athena[4]. Selain para politikus ia juga banyak dipengaruhi oleh Kratylos, seorang filusuf yang meneruskan ajaran Herakleitos yang mempunyai pendapat bahwa dunia ini terus berubah. Dari pergaulan dengan para politikus, Plato akhirnya menelurkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin suatu negara haruslah seorang filusuf, hal ini dilontarkan karena kekecewaannnya atas kepemimpinan para politikus yang ada pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan kematian gurunya, yaitu Socrates, di persidangan yang berakhir pada kematian gurunya tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya Plato mendirikan Akademia sebagai pusat penyelidikan ilmiah dan di sekolah ini ia berusaha merealisasikan cita-citanya yaitu menjadikan filsuf-filsuf yang siap menjadi pemimpin negara, dan akademia inilah awal dari munculnya universitas-universitas saat ini karena lebih menekankan pada kajian ilmiah bukan sekedar reotrika. Ia terus mengepalai dan mengajar di akademia ini hingga akhir hayatnya.[5]
Dalam menelurkan karya-karya fisafatnya Plato menggunakan metode dialog, karena ia percaya filsafat akan lebih baik dan teruji jika dilakukan melalui dialog dan banyak dari karya-karyanya disampaikan secara lisan di akademia-nya. Di satu sisi ia masih mempercayai beberap mitos yang digunakan olehnya untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal duniawi. Ia banyak dipengaruhi oleh gurunya, Socrates dalam pemikirannya. Idea merupakan inti dasar dari seluruh filasaft yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa idea merupakan suatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subjek yang berfikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Ia memberikan beberapa contoh seperti segitiga yang digambarkan di papan tulis dalam berbagai bentuk itu merupakan gambaran yang merupakan tiruan tak sempurna dari idea tentang segitiga. Maksudnya adalah berbagai macam segitiga itu mempunyai satu idea tentang segitiga yang mewakili semua segitiga yang ada.
 Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna. Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara idea dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh idea-idea itu. Hubungan antara idea dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, idea hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam idea, disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Idea merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut. Plato menganggap bahwa jiwa merupakan pusat atau intisari kepribadian manusia, dan pandangannya ini dipengaruhi oleh Socrates, Orfisme dan mazhab Pythagorean. Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea, dengan itu ia menuruti prinsip-prinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat. Jiwa memang mengenal idea-idea, maka atas dasar prinsip tadi disimpulkan bahwa jiwapun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan idea-idea, jadi sifatnya abadi dan tidak berubah.
Plato mengatakan bahwa dengan kita mengenal sesuatu benda atau apa yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah proses pengingatan sebab menurutnya setiap manusia sudah mempunyai pengetahuan yang dibawanya pada waktu berada di dunia idea, dan ketika manusia masuk ke dalam dunia realitas jasmani pengetahuan yang sudah ada itu hanya tinggal diingatkan saja, maka Plato menganggap juga seorang guru adalah mengingatkan muridnya tentang pengetahuan yang sebetulnya sudah lama mereka miliki.
Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara. Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhanpun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini.
Dalam menghadapi hal ini maka di setiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus dididik khusus. Mereka harus mempelajari, senam yang lebih umum dan keras dan sebaiknya dilakukan paa usia 18 – 20 tahun. Dari sini diseleksi lagi untuk dijadikan calon pemimpin politik, dan untuk membentuk pemimpin in mereka harus belajar filsafat hingga usia 30 tahun, tujuan belajar filsafat ini untuk melatih mereka dalam mencari kebenaran. Dari sini diseleksi lagi dan mereka yang lulus seleksi akan mempelajari filsafat dan dialektika secara lebih intensif selama 5 tahun. Dan jika dalam pendidikan ini berhasil maka selama 15 tahun ia menduduki beberapa jabatan negara yang tujuannya agar mereka tahu pekerjaan-pekerjaan negara. Dan pada usia 50 tahun baru mereka siap menjadi seorang pemimpin.
C.     Teori Filsafat Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato.[6] Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM.
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.
Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135–1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126–1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.
KESIMPULAN
            Socrates (469-399 SM) seorang filosof  Yunani dari Athena. Ia tersohor dengan pendapatnya tentang filsafat sebagai suatu usaha pencarian yang perlu bagi tiap intelektual. Bapaknya tukang pembuat patung, ibunya bidan. Pada permulaannya Socrates ingin menuruti jejak bapaknya, sebagai tukang pembuat patung. Namun, ia berganti haluan dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia.    Plato lahir pada tahun 4287 sebelum masehi dari keluarga terkemuka di Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Ketika bapaknya meninggal ibunya menikah lagi dengan adik ayahnya Plato yang bernama Pyrilampes yang tidak lain adalah seorang politikus, dan Plato banyak terpengaruh dengan kehadiran pamannya ini. Karena sejak kehadiran pamannya ini ia banyak bergaul dengan para politikus Athena. Selain para politikus ia juga banyak dipengaruhi oleh Kratylos, seorang filusuf yang meneruskan ajaran Herakleitos yang mempunyai pendapat bahwa dunia ini terus berubah. Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun
PENUTUP
     Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.....
Daftar Pustaka

·         Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat , P.T. Bulan Bintang, Jakarta: 1984.
·         Delfgaauw Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Tiara Wacana, Jogjakarta: 1992.
·         Tafsir Ahmad, Filsafat Umum, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung: 1990.
·         Beoang, Kondrad Kebung, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, Kanisius, Jogjakarta: 1999.
·         Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Jogjakarta: 1997











[1] Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat , P.T. Bulan Bintang, Jakarta:1984,  hal. 16
[2] Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Tiara Wacana, Jogjakarta: 1992, hal. 13
[3] DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung: 1990,  hal. 46
[4] Beoang, Kondrad Kebung, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, Kanisius, Jogjakarta: 1999.

[5] Ibid, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar
[6] Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Jogjakarta: 1997

0 comments: