Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam Makalah
Normativitas
dan Historisitas dalam Studi Islam
Makalah
Disusun Guna Menuhi Tugas
Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu: Rokhmatul Ulfah, M.Ag
Disusun
Oleh :
1. Syamsul
Arifin (134111010)
2. Danang
Dimas Ainul Yaqin (134111011)
3. Masrini (134111012)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013
I. PENDAHULUAN
Pemahaman terhadap keIslaman selama ini dipahami
sebagai digma yang baku dan menjadi suatu norma yang tidak dapat dikritik, dan
dijadikan sebagai pedoman mutlak yang tidak saja mengatur tingkah laku manusia,
melainkan sebagai pedoman untuk menilai dogmatika yang dimiliki orang lain,
meskipun demikian dogmatika tersebut tidak dapat dilepaskan dari segi sejarah
pembentukan dogma itu sendiri.
Kecenderungan salah penafsiran terhadap norma
mengakibatkan truth claim, dimana klaim mengasumsikan bahwa tidak ada kebenaran
dan keselamatan manusia kecuali dalam agamanya. Dogmatika yang dipahami secara
fanatik tersebut disosialisasikan sejak dini dan dilaksanakan dalam kehidupan
manusia. Sehingga norma dan tingkah laku umat beragama terkotak, di satu sisi
ia menekankan ketertundukan dengan mematikan potensi berfikir, tetapi di sisi
yang lain terjadi pemberhalaan sedemikian rupa yang menyebabkan doktrin
tersebut menjadi pembatas kesatuan antar manusia. Sehingga agama yang
sebenarnya pada esensinya sebagai bentuk ekspresi religiousitas, dimana makna
cinta kemanusiaan menjadi inti dari agama, berubah menjadi sumber konflik atas
nama Tuhan.
Di sinilah, maka pemikiran Amin Abdullah menjadi
relevan, karena berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan
tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab
tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas
dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir.
Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif,
dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak
manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan
"hukum baku" tersebut.
Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan bentuk
pemikiran Amin Abdullah tentang pendekatan historisitas dan normativitas. Sisi
historisitas merupakan bentuk sejarah bagaimana dogmatika itu muncul, sedangkan
normativitas adalah aturan baku itu sendiri, yang mana tidak dapat dilepaskan
dari pemikiran tentangnya. Dimana penafsiran tentang dogmatika tersebut, tidak
hanya ditentukan oleh teks tunggal, melainkan juga kepentingan, kondisi, maupun
prejudice yang mendasari penafsiran juga muncul dalam pemikiran keIslaman, yang
kini telah dibakukan dan dijadikan pedoman mutlak.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertiatan
Normativitas
B. Pengertian
Historisitas
C. Keterkaitan
Normativitas dan Historisitas dalam Studi KeIslaman.
III. PEMBAHASAN
A. Pengartian
Normativitas
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm
yang berarti norma ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.[1]
Pada aspek normativitas, studi Islam agaknya masih banyak terbebeni oleh misi
keagamaan yang bersifat memihak sehingga kadar muatan analisis, kritis,
metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah
keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam
lingkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
B. Historisitas
a. Pengertaia Historisitas
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S.
Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.[2]
Definisi tersebut terlihat menekankan kepada materi peristiwanya tanpa
mengaitka dengan aspek lainnya. Sedangkan dalam pengartian yang lebih
komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga di lihat siapa yang melakukan
peristiwa tersebut, dimana, kapan, dan mengapa peristiwa tersebut terjadi
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang
sungguh-sungguh terjadi yang sluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam diantara
cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan,
perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan
penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai
umat Islam dalam berbagai bidang,seperti dalam bidang pengetauan agama dan
umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan,
ekonomi dan lain sebagainya.
b. Ruanglingkup
sejarah Islam
Dari segi periodesasinya dibagi menjadi peride klasik,
periode pertengahan dan periode modern. Periode klasik (650-1250 M) dibagi lagi
menjadi masa kemajuan Islam I (650-100 M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M)[3]
Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari
tahun 1250-1800 M dibagi menjadi dua masa, masa kemunduran I dan masa III
kerajaan besar. masa kemunduran I sejak 1250-1500 M.Mas III kerajaan besar
berlangsung Sejak 1500-1800 M.
Sains Islam dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad
Islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salahsatu pencapaian besar
dalam peradaban Islam.
Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad
kedua hingga kesembilan masehi, paradaban Islam merupakan peradaban yang paling
produktif di bandingkan dengan baradaban manapun di wilayah sains dan sains
Islam berada pada garda depan dalam berbagai kegiatan, mulai dari kedokteran,
astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang di bangun atas arahan
nilai-nilai Islami.
C. Pengelompokkan
Islam Normatif dan Islam Historis
Ketika melakukan studi atau penelitian Islam, perlu
lebih dahulu ada kejelasan islam mana yang diteliti; Islam pada level mana.
Maka penyebutan Islam normatif dan islam Historis adalah salahsatu dari
penyebutan level tersebut. Istilah yang hampir sama dengan islam Normatif dan
Islam Historis adalah Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai produk sejarah.[4]
Sebagai wahyu, Islam didefinisikan sebagaimana ditulis sebelumnya di atas,
yakni:
Artinya:
Wahyu ilahi
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan
akhirat.
Sedangkan Islam Historis atau Islam sebagai produk
sejarah adalah Islam yang dipahami dan islam yang dipraktekkan kaum muslim di
seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis
menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain).[5]
Pertama, wilayah teks asli Islam (the
original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang
otentik.
Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam
menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW).
Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam,seperti tafsir dan
fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih
bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping
permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas
permasalahan yang timbul itu belum/tidak disinggung. Karena itulah diperbolehkan
berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada kedua sumber utamanya dan
sejauh dapat memenuhi persyaratan.[6]
Dalam kelompok ini dapat di temukan empat pokok cabang : (1) hukum/fikih,(2)
teologi,(3) filsafat, (4) tasawuf. Hasil ijtihad dalam bidang hukum muncul
dalam bentuk : (1) fikih, (2) fatwa, (3) yurisprudensi (kumpulan putusan
hakim), (4) kodikfikkasi/unifikasi, yang muncul dalam bentuk Undang-Undang dan
komplikasi.
Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim.
Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang
sosial (konteks).[7]
Contohnya : praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di
dada. Contohnya lainnya praktek duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim
Indonesia, sementara muslim di tempat/ negara lain tidak melakukannya.
Sementara Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula,
tetapi dengan formulasi yang berbeda sebagai berikut :
Tingkatan
pertama, adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan
institusi-institusi.
Tingkatan
kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai
dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan.
Tingkatan ketiga
manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang
berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah
dengan wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan
konteks dan budaya.
Pada level
teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai wahyu.
Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam
al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Pada masa pewahyuannya memakan waktu kurang
lebih 23 tahun.
Pada teks
ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat
sejumlah ilmuwan(ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1. Nash prinsip
atau normatif-universal, dan
2. Nash
praktis-temporal
Nash
kelompok pertama, nash prinsip atau normatif-universal, merupakan
prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk
nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup.
Adapun nash praktis-temporal, sebagian ilmuwan
menyebutnya nash konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk
menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat
menjadi fenomena sosial atau Islam aplikatif atau Islam praktis.
Dengan penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan,
syari’ah sebagai the original text mempunyai karakter mutlak dan
absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh sebagai hasil pemahaman terhadap the
original text mempunyai sifat nisbi/relatif/zanni, dapat berubah sesuai
dengan perubahan konteks; konteks zaman; konteks sosial; konteks tempat dan
konteks lain-lain.[8]
Sementara dengan menggunakan teori Islam pada level
teori dan Islam pada level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan
posisi syari’at pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik
al-Qur’an maupun sunnah nabi Muhammad SAW. Dapat disebutkan bahwa pada
prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat arab di masa pewahyuan. Kira-kira demikianlah posisi Islam yang kita
formatkan sekarang untuk merespon persoalan yang kita hadapi kini dan di sini.
Perbedaan antara nash dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash
diwahyukan pada nabi Muhammad, sementara format yang kita rumuskan sekarang
adalah format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan,
sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu sudah
berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad SAW.
D. Keterkaitan normativitas dan historisitas dalam
studi keIslaman.
Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu
ilmu alam, humaniora, social, agama atau ilmu-ilmu keIslaman, harus
diformulasikan dan dibangun di atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka
metodologi yang jelas[9].
Teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat dijadikan garansi
kebenaran. Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak, kenyataannya
ilmu pengetahuan tidak tumbuh dalam kevakuman, akan tetapi selalu dipengaruhi
dan tidak dapat terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah social dan politik.
Pemikiran ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan
hanyalah merupakan produk, hasil karya manusia.
Dalam pengertian ini, penerapan filsafat ilmu pada
diskusi akademik ilmu-ilmu keIslaman harus dilakukan, karna filsafat ilmu
saling berkaitan dengan sosiologi ilmu pengetahuan. Dua cabang ilmu pengetahuan
ini jarang didiskusikan dan tidak pernah dimasukan dalam tradisi ilmu keIslaman
yang ada. Padahal keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus
dimengerti bagi para ilmuan muslim yang ingin terhindar dari tuduhan pembela
tipe studi Islam yang hanya bersifat pengulang-ngulangan, statis, disakralkan
dan dogmatik.
Ketika pada akhirnya menghadapi masalah-masalah
historisitas pengetahuan, patut disayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non
muslim yang hendak mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keIslaman secara
psikologi merasa terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non
reduksionisme. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional
yang terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi
ilmu-ilmu keIslaman karena persoalan itu. Sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri
telah menempatkan Islam normative dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard
core dalam kerangka kerja Lakatos, yang harus dilindungi dengan sifat-sifatnya
yang mendorong pada penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru
(positive heuristic). Hard core atau Islam normative sama dengan apa yang telah
ditetapkan sebagai objek studi agama yang tepat dengan menggunakan pendekatan
fenomenologis.
Bangunan baru ilmu-ilmu keIslaman, setelah
diperkenalkan dan dihubungkan dengan wacana filsafat ilmu dan sosiologi ilmu
penegetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan penggunaan sebuah pendekatan
dengan tiga dimensi untuk melihat fenomena agama Islam, yakni pendekatan yang
berunsur linguistic- historis, teologis-filosofis, dan sosiologis-antropologis
pada saat yang sama. Tentang apa dan bagaimana pendekatan tersebut sudah banyak
ditulis oleh para ahlinya.
Dengan demikian, ilmu-ilmu keIslaman yang kritis,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun beserta
kolega-kolega mereka yang memiliki keprihatinan yang sama, hanya dapat dibangun
secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara
sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi
satu dengan lainnya. Masing-masing pendekatan berinteraksi dan dihubungkan
dengan yang lainnya. Tidak ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat
berdiri sendiri. Gerakan dinamis ini pada esensinya adalah hermeneutic.
IV. KESIMPULAN
a. Kata
normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan.
b. Dalam kamus
umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah kejadian
dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting
yang benar-benar terjadi.
c. Ruang
lingkup sejarah Islam dilihat dari segi periodesasinya dibagi menjadi peride
klasik, periode pertengahan dan periode modern.
d. Pengelompokkan
Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan
menjadi tiga wilayah yaitu: Pertama, wilayah teks asli Islam (the
original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang
otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks
asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW), Ketiga, praktek
yang dilakukan kaum muslim.
e. Keterkaitan
normativitas dan historisitas dalam studi keIslaman. hanya dapat dibangun
secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara
sirkuler, dimana masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi
satu dengan lainnya.
V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, dalam pembuatan
makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,kritik dan
saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Azizi, Qodri, Elektisisme Hukum Nasional :
Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta : Gama Media
Offset, 2002.
Abdullah, Amin, Islam Studies di Pergurut sudah
ditiuan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Echols, John, dan Sdiliy, Hasan, Kamus Inggris
Indonesia, jakarta: Gramedia,1979, Cet.VII.
Mudzar , Atho, Pendekatan Studi Islam dalam teori
dan praktek, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 1998.
Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, cet.
Ke 1, Yogyakarta : ACADEMIA + TAZZAFA, 2009.
Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta ; Balai Pustaka, 1991,cet. XII.
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, cet. Ke-5,
Semarang : CV. Bima Sejati, 2006.
Zaid, Abu, Nasr, The Textuality of The Koran, Islam
and Europe in Past and Present, by W. R. Hugenkoltz and K. Van Vliet-leigh
(eds.), Wassenaar : NIAS, 1997.
#makalah #psikologi #islam #filsafat #ilmu #saint #thariqah #tasawuf #psikoterapi
0 comments:
Post a Comment