Makallah Muhammad Shahrur dan pemikirannya
Muhammad Shahrur dan pemikirannya
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Studi Qur’an
Dosen Pengampu: Muhammad Nur Ichwan

Di susun oleh:
Hani Nailatus Syarifah (134111051)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
Semarang
2015
A. Latar
Belakang
Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah
melahirkan pusat pusaran wacana keIslaman yang tak pernah berhenti dan menjadi
pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna
atas ayat-ayatnya. Maka, dapat di katakan bahwa al-Qur’an hingga kini masih
menjadi teks inti (core text) dalam peradaban Islam.
Perdebatan mengenai metode
penafsiran pun terjadi di antara para pemikir Islam. Salah satu di antaranya
adalah Muhammad Syahrur. Beliau adalah seorang pemikir liberal yang menggunakan
metode semantik untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran liberalnya muncul
dikarenakan problem modernitas, khususnya benturan antara keagamaan dengan
gerakan modernisasi Barat. Makalah ini akan membahas seputar pemikiran Muhammad
syahrur dari biografi, fase pemikiran hingga metodologi pemikirannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Biografi Muhammad Syahrur
2. Metodologi penafsiran Muhammad
Syahrur
C. Biografi
Muhammad Syahrur
Nama lengkap
dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan
di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Syria
merupakan salah satu negara yang pernah mengalami problem modernitas khususnya
benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi barat. Problema ini muncul karena
disamping Syria pernah diinvasi oleh Prancis dampak dari gerakan modernisasi
turki, di Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyah (di Turki).
Problema ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya Jamal al-Din, al-Qasimy
(1866-1914). Muhammad Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup yang
bernama Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun. Syahrur dikaruniai lima
orang anak yaitu Tariq, Al Lais, Basul, Masum dan Rima dengan seorang istri
bernama Azizah. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Syria sampai
memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957 dari lembaga pendidikan
Abdur Rahman Al Kawakibi, Damaskus. Pada tahun 1958 dia memperoleh beasiswa
dari pemerintah dan berangkat ke Saratow di Moskow, Uni Soviet untuk
mempelajari teknik sipil dan pada tahun 1964, berhasil menyelesaikan program
diploma teknik sipil. Pada tahun 1965 Muhammad Syahrur kembali ke
Syria dengan gelar Sarjana Teknik Sipil
dan mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.[1]
Selanjutnya pada
tahun 1968, oleh universitas dia dikirim ke Ireland National University , Irlandia yang kemudian
mengantarkannya memperoleh gelar
Magister (1969) dan Doktor (1972) dalam
spesialisasi Mekanika Pertanahan dan
Fondasi. Kemudian ia diangkat sebagai Profesor Jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) dan
pada tahun 1982-1983 Syahrur dikirim
oleh Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada Al Sand Consult di Arab Saudi. Selain itu bersama rekan-
rekannya, dia membuka Biro Konsultan Teknik Dar al Istisyarah al Handasiyah di
Damaskus.
D. Fase- fase
Pemikiran Muhammad Syahrur
Pada tahun 1995, Syahrur menapaki beberapa tahapan
pemikiran yang disebut sebagai fase-fase pemikiran. Fase pemikirannya terbagi
menjadi 3, yaitu[2]:
1. Fase Pertama
(1970- 1980)
Permulaan dari fase pemikiran Syahrur ini adalah
ketika ia menempuh pendidikan pada jenjang Magister dan Doktor dalam bidang
Teknik Sipil di Universitas Nasional Irlandia. Fase ini bisa dikatakan sebagai
fase kontemplasi atau perenungan, kemudian berlanjut pada peletakan
dasar-dasar pemikirannya tentang ad Zikr.Namun diakui oleh Syahrur bahwa
pada fase ini masih belum menghasilkan pemikiran yang menurutnya matang dan
komprehensif, dikarenakan masih adanya kecenderungan untuk terjebak kepada
pengaruh pemikiran-pemikiran klasik dan juga pada khazanah pemikiran modern.
Disamping itu juga dia merasa masih dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
teologis yang tertuang dalam bentuk aliran kalam maupun fiqh madhab. Dalam
kurun waktu 10 tahun (1970-1980) tersebut Syahrur mendapati dasar- dasar ajaran
agama yang sebenarnya. Dikarenakan menurut Syahrur, tidak bisa menjawab
tantangan zaman.
Menurutnya hal ini dikarenakan dua hal, yaitu: Pertama,
pengetahuan tentang aqidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran
Mu’tazili atau Asy’ari. Kedua,
pengetahuan fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi,
Syafi’i, Hambali ataupun Ja’fari. Menurut Muhammad Syahrur, apabila penelitian
ilmiah dan modern masih terkungkung oleh kedua hal tersebut maka studi Islam
berada pada titik yang rawan.
2. Fase Kedua
(1980- 1986)
Pada tahun 1980,
Muhammad Syahrur bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja’far (yang mendalami studi
bahasa di Uni Soviet antara tahun 1958-1964). Pada kesempatan itu, ia
menyampaikan perhatian besarnya terhadap studi bahasa filsafat dan pemahaman
terhadap al-Qur’an. Kemudian Muhammad Syahrur menyampaikan pemikiran dan
disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan di Universitas Moskow pada tahun
1973. Sejak saat itu, Syahrur mulai menganalisis ayat- ayat al-Qur’an dengan
model baru dan pada tahun 1984.
3. Fase Ketiga
(1986- 1990)
Pada fase ini,
Syahrur mulai lebih memfokuskan diri untuk menyusun pemikiran dalam topik-
topik tertentu. Pada akhir tahun 1986 dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama
dari Al Kitab wa Al-Qur’an yang merupakan masalah- masalah sulit. Bab-bab
selanjutnya diselesaikan sampai tahun 1990.
E. Pendapat
Muhammad Syahrur mengenai Al-Quran
Dalam bukunya yang berjudul Al-Kitab
wa al-Qur’an, Syahrur menyebut Al-Qur’an sebagai al-Kitab Jika
al-Kitab merupakan wahyu Allah kepada Muhammad sebagai penutup, maka ia
harus memiliki karakter sebagai berikut:[3]
1. Karena Allah bersifat
absolute, memiliki kesempurnaan pengetahuan, dan tidak memiliki sifat relative.
Maka kitab-kitabnya pun pada sisi kandungannya (al-muhtawa) mengandung
unsur-unsur yang absolute.
2. Karena Allah tidak perlu
mencurahkan ilmu dan petunjuk bagi dirinya sendiri, maka kitab ini yang
merupakan kitab penutup di turunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan
demikian pada sisi pemahamannya (al-fahm al-insani) ia harus memuat
unsure-unsur yang relatif.
3. Karena kesempurnaan cara
berfikir manusia di capai melalui bahasa, maka ada dua konsekuensi, yaitu: pertama,
kitab ini di manifestasikan dengan bahasa manusia. kedua, kitab ini
harus memiliki karakter khusus, yaitu muatannya bersifat absolute dan
pemahamannya bersifat relative. Karakter inilah yang di sebut dengan
kemutlakan bentuk linguistic (tsabat al-nash) yang brupa teks sekaligus
memiliki relatifitas pemahaman (harakat al-muhtawa). Karakter semacam
inilah yang mengindikasikan bahwa al-kitab berasal dari Tuhan, karena
tidak mungkin bagi manusia yang lemah memenuhi persyaratan tersebut.
Karakter di atas meniscayakan
adanya dimensi sakralitas pada teks ayat-ayat al-kitab yang tidak mungkin
berubah.pada saat yang sama memiliki dinamika pemahaman (harakatu al-ta’wil)
yang sesuai dengan perjalanan sang waktu. Setelah mempelajari al-Kitab ini
secara komprehensif, syahrur mendapati bahwa al-Kitab memiliki karakter
yang tidak dapat di penuhi oleh manusia sebagaimana telah di jelaskan di atas.[4]
F. Metodologi penafsiran Muhammad Syahrur
Dalam mengkonstruk metodologinya, Syahrur memulai
langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan (demafiliarisasi) terhadap
model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik. Istilah penidakbiasan ini
menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara
yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai suatu cara yang
tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi). Defamiliarisasi itu
sendiri adalah strategi bawah tanah untuk menggambarkan sebuah obyek sastra
seakan-akan seseorang melihatnya untuk pertama kali. Tujuan dari
demafiliarisasi ini adalah untuk melawan pembiasan (habitualization) cara baca
konvensional terhadap sebuah seni sastra, sehingga obyek yang sebelumnya sudah
sangat dikenal menjadi obyek yang tidak dikenal dan berada di luar dugaan
pembaca.[5]
Berbicara mengenai pemikiran
M. Syahrur, tidak lepas dari teori Limit. Teori limit (batas) menjadi ciri khas
pemikiran Muhammad Syahrur. Missal, pemikiran tentang hukum
pemakaian jilbab dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَا بِيبِهِن ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَآَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيما
)الاحزاب: 59(
Artinya
: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (al-Ahzab: 59)
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (al-Ahzab: 59)
Ayat di atas dalam metode
pemikiran Muhammad Syahrur, mengenakan jilbab ke seluruh tubuh selain yang di
kecualikan (wajah dan telapak tangan) merupakan batas maksimal. Sementara batas
minimalnya tidak di tentukan di dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk batas minimalnya
adalah menutupi lubang atau wilayah yang mengundang hal-hal buruk. Batas
minimal penggunaan pakaian bisa juga disesuaikan dengan kebudayaan yang berlaku
di wilayah ia tinggal.[6]
Jadi Al-Quran hanya memberikan
batasan-batasannya saja. Seperti
·
batas atas adalah batasan hukum yang menjelaskan
batas maksimalnya saja, tanpa menyebutkan batas minimal. Missal, hukum
mengenakan jilbab maksimal seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan
·
batas bawah yaitu batasan hukum yang hanya
menjelaskan batas minimalnya saja tanpa menyebutkan batas maksimalnya. Missal,
ayat yang menyuruh kita membaca “bacalah walau satu ayat”
·
batas atas bawah, yaitu ketentuan yang memiliki
batas maksimal dan batas minimalnya. Missal, ayat tentang hubungan suami istri.
Sayangnya saya kurang mengerti hubungan tersebut.
·
Dan seterusnya.
G. Kesimpulan
Nama lengkap
dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan
di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Dalam mengkonstruk metodologinya, Syahrur memulai
langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan (demafiliarisasi) terhadap
model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik. Istilah penidakbiasan ini
menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara
yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai suatu cara yang
tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi).
Daftar Pustaka
Syahrur,
Muhammad, Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok, (Yogyakarta:
jendela, 2002)
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer”, (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2008)
Shahrur, Muhammad,al-Kitab
wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004)
[3] Dr. Ir. Muhammad Shahrur,
al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press,
2004), Hlm. 46
Saya mengambil
dari dalam buku terjemahan bahasa Indonesia, Prof.Dr. Ja’far Dikki al-Bab, Prinsip
dan Dasar HERMENEUTIK AL-QURAN Kontemporer, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004),
Hlm. 46
#makalah#al-quran#islam#kebudayaan#sejarah#filsafat#tasawuf#agama#indonesia#artikelbagus
1 comments:
Dari tadi penulis cuma menulis shahrour pemikir liberal. Kurang digaris bawahi letak pemikiran liberalnya dimana
Post a Comment