MAHABBAH, FANAK, DAN MAKRIFAT
MAHABBAH,
FANAK, DAN MAKRIFAT
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Tasawuf / Akhlak
Dosen
Pengampu: Bahron Ansori, M. Ag

Disusun oleh:
Abdur
Rouf (134211135)
Mawaddatul Jannah (134211134)
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
TAFSIR HADIST
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Agama Islam secara garis besar berisi tentang akidah (keyakinan) dan
tata kaidah yang mengatur semua peri kehidupan dan penghidupan manusia dalam
berbagai kehidupan manusia dalam berbagai kehidupan, baik vertikal maupun
horisontal. Dalam pengertian ini terkandung konsep keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat, material maupun spiritual.[1]
Tasawuf adalah istilah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, banyak
berbagai cara-cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, para sufi telah
menjalankan cara-cara pendekatan secara bertahap dan tidak mudah, mereka
melakukannya bertahun-tahun untuk mendekatkan kepada-Nya. Dan Tasawuf juga adalah usaha yang di lakukan secara
keras untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
B. RUMUSAN MASALAH
Pengertian
dan Penjelasan tentang:
1, Mahabbah.
2. Fana’.
3. Makrifat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MAHABBAH
Mahabbah (al-mahabbah) berarti
“cinta” (al-hubb), hubungan batiniah,
menyukai sesuatu atau seseorang. Sementara cinta yang menguasai seluruh
perasaan manusia bernama “al-‘isyq”.
Adapun cinta yang berupa hubungan yang sudah menjangkau dimensi kedalaman yang
jauh disertai hasrat untuk selalu berhubungan disebut “asy-syauq” dan “al-isytiyaq”.[2]
Mahabbah mempunyai dua pilar, yaitu:
1. Pilar
Lahiriah; yaitu keinginan untuk meraih ridha Allah sang al-mahbub setiap saat.
2. Pilar
Batiniah; yaitu ketertutupan sempurna atas apa yang tidak memiliki hubungan
dengan sang Tercinta dalam dimensi internal-batinnya.[3]
Perlu
Anda ketahui bahwa mahabbah sejati (al-mahabbah al-haqiqiyah) juga tidak muncul
sama pada setiap orang yang memiliki rasa cinta kepada Allah. Mahabbah ada bebrapa macam, sebagai
berikut:
1. Mahabbah
kaum awam. Yaitu mahabbah yang selalu naik-turun. Mereka yang memiliki mahabbah jenis ini selalu memiliki
pandangan baik dibawah naungan Nur Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyyah). Mereka selalu melihat tanda-tanda
yang dapat menunjukkan terbitnya fajar makrifat. Di tempat lain, mereka selalu
takjub pada gemerlap kegaiban dan merasakan getaran luar biasa dari jauh.
2. Mahabbah
kaum khawas. Mereka seperti muara yang melekat pada
dimensi mahabbah, karena mereka
menghabiskan umur mereka dengan kedalaman dalam mengimplementasikan akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
cakrawala Al-Qur’an yang terang, di tengah implementasi yang mereka lakukan.
Bahkan mereka tidak mencari dzauq.
Ketika mereka teguh dalam pelaksanaan kewajiban mereka dengan cara terbaik,
mereka menundukkan sayap-sayap tawaduk ke bumi seperti pepohonan yang diberati
ranting-rantingnya seraya menyenandung nama “al-Habib”. Ketika mereka terguncang oleh kesalahan, kerugian, dan
kegagalan, mereka akan menekuk leher mereka untuk melakukan munasabah yang ketat.
3. Mahabbah
khawash al-khawas. Mereka seperti awanpekat yang
mengandung hujan di langit ajaran Muhammad. Dengan mahabbah itulah mereka merasakan entitas, dengan itulah mereka
hidup, dengan itulah mereka melihat, bahkan dengan itulah mereka bernapas;
dalam sebuah daur berkesinambungan yang tidak berujung teridri dari imtila’ (penigsian) dan ifragh (pengosongan). Ketika mereka
mengisi (melakukan imtila’ ) diri
mereka menggunakan mahabbah itu,
nestapa, dan kedekatan hubungan. Ketika mereka mengosongkan (melakukan ifragh), mereka menunggangi cahaya yang
membawa mereka turun ke bumi untuk bersikap sanutn terhadap semua makhluk, baik
yang makhluk hudup maupun benda mati.[4]
B.
FANA’
Kalangan para sufi, di antaranya al-Gazali (w. 111 M) memandang
maqam fana’ memiliki posisi sangat penting, karena merupakan terminal
akhir untuk memasuki alam makasyafah dan
musyahadah, sedangkan maqam-maqam
lain sebelum maqam fana’ dipandang hanya sebagai lorong-lorong kecil (al-dihlis) karena merupakan maqam
persiapan untuk memasuki penghayatan penyaksian Tuhan secara langsung. Untuk
itu, dalam pengalaman fana’ , seorang sufi mengatakan sebagai
proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan atau batin
dan alam ketuhanan.
Atas dasar pengertian di atas
al-Qusyairy (w. 1074 M) memberi definisi
fana’ sebagai berikut:
“sirnanya
(kesadaran) seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya yang terjadi karena
hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya. Dirinya
tetap ada dan makhluk lain juga tetap ada tetapi dia tidak sadar lagi terhadap
dirinya sendiri dan alam sekitarnya”[5]
Fana’ iyalah hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepentingannya dalam ia berbuat sesuatu.
‘Amir bin ‘Abdullah berkata: “Aku
tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan ataukah sebuah dinding.” (Dia
menganggap sama atau tidak sama sekali terhadap apa yang dihadapinya).
Karena Allah-lah yang
mengatur diri seseorang, Dia yang menjaga diri seseorang, sehingga dengan
demikian seseorang akan menjaga hak-hak Allah atas dinya, dan tidak berbuat
dengan sesuatu yang bertentangan dengan hak-hak Allah, dan tidak ada jalan pintas
lain untuk sampai kepada-Nya kecuali melalui itikad bahwa semua hal adalah
merupakan hak Allah semata-mata, inilah yang dikehendaki dengan terlindung dosa
(al’ishmah) sebagaimana yang
diinginkan. Rasul dalam sabdanya: “Aku menjadi pendengaran dan penglihatan-Nya.[6]
Dan arti fana’, yang
mereka kehendaki, yaitu seseorang akan fana (lenyap) dari sifat-sifat
kemanusiaan yang ada pada dirinya dan akan kekal dengan sifat-sifat Yang Maha
Haq.
Dan Allah membuat sesuatu itu
bukan untuk diri-Nya, tetapi untuk selain-Nya, karena Dia tidak membutuhkan
kemanfaatan atau menolak kemadharatan, Dia Maha Tinggi dari sifat-sifat
demikian, tetapi Dia berbuat sesuatu adalah untuk-Nya, baik yang manfaat maupun
yang mudharat.[7]
Abu sai’d al-Kharraz berkata:
“Tanda-tanda seorang dalam keadaan fana’ yaitu bahwa pada diri orang itu tidak
dapat kepentingan (pamrih) kepada dunia atau akhirat atas segala apa yang
diperbuatannya, tetapi semata-mata hanya kepada Allah, kemudian timbullah
ketetapan dari kekuasaan (qudrat) Allah maka ia meninggalkan (membuang)
jauh-jauh kepenitngan dirinya, kecuali kepada Allah, sebagaimana adanya dirinya
di dalam aslinya. Karena dirinya berada dalam ilmu Allah sebelum ia terwujud
(ada), dan apa-apa yang ada padanya, sebagaimana ada dalam aslinya.
Selain pengertian fana’
diatas,terdapat juga fana’ yang berarti bahwa hilangnya sifat-sifat kemanusiaan
yang ada pada diri orang itu berganti dengan sifat-sifat Ketuhanan, hilangnya
sifat kemanusiaan seperti bodoh, zalim,hal ini sebagaimana dinyatakan Allah
dalam firman-Nya: “....Dan dipukullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya
manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS, al-Ahzab, 33: 72)
Disamping itu sifat-sifat
manusia, seperti ingkar dan kafir dan hina, diganti dengan sifat-sifat yang ada
pada Allah SWT seperti: sifat bodoh diganti dengan sifat “pandai” zhalim
berganti dengan “adil” kafir atau ingkar berganti dengan syukur dan sifat-sifat
yang lainnya.[8]
C.
MAKRIFAT
Makrifat adalah sebuah ilmu khusus yang tidak
bisa dikuasai oleh semua orang dan tidak muncul dari semua orang, dimana pun
juga. Adapun bagi para penempuh jalan kebenaran, makrifat adalah sebuah tahapan
ketika makrifat (al-ma’rifah) sebagai
pengetahuan menyatu dengan arif sebagai
orang yang memilikinya, sehingga menjadi satu dengan kepribadiannya, dan
seluruh keadaan dirinya menjadi interprestasi dari al-ma’ruf (objek makrifat).
Ada sementara orang yang
mendefinisikan makrifat sebagai muncul dan luasnya berbagai pengetahuan nurani
(al-ma’arif al-wahdaniyyah), karena
kemunculan dan perluasan semacam itu juga merupakan kemunculan dan perluasan
dari harkat dirinya. Tampaknya inilah yang dipahami oleh mereka yang berkata,
“Siapapun yang mengenal diirnya, maka telah mengenal Tuhannya.[9] Dalam
peistilahan sufi diberi arti: pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui
hati sanubari. Dan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati
merasa bersatu dengaan yang diketahui.
Dalam kaitanya dengan al-makrifat, kalbu atau jiwa diyakini
kaum sufi sebagai instrumen penitng karena dengannya, mereka merasa dapat
menghayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib dan sebagai puncak
penghayatan itu adalah makrifat
kepada Tuhan. Menurut kaum suif, dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang
disebut ruh, berfungsi unutk
menicntai atu irnud kepada Tuhan. Dalam ruh terdapat sirr, berfungsi unutk kontemplasi
dan berpikir tentang Tuhan sehingga seorang sufi dapat berkomunikasi
dengan-Nya.[10]
Dzun an-Nun al-Misri (w.859 M)
ia membagi makrifat kedalam tiga tingkatan: pertama
makrifat orang awam (ma’rifah al-awam);
kedua, makrifat para teolog dan
filosof (ma’rifah al-mutakallimin wa
al-failausf) dan ketiga, makrifat
para wali yang mengenal Allah melalui hati sanubari (ma’rifah al-‘arifin). Dengan demikian dilihat dari sudut estimologi
terdapat metode makrifat yang berbeda, yakni metode transmisi (taqlidi), metode rasional (‘aqli), dan metode intuitif (kasyfi).[11]
Seorang syeikh sufi berkata:
makrifat itu ada dua macam yaitu pertama,
makrifatul hak, dan kedua, makrifatul
hakikat. Makrifatul hak iyalah mengetahui Allah dengan menetapkan keesaan Allah
pada setiap sifat yang ada pada diir-Nya. Makrifat hakikat iyalah makrifat yang
tidak dapat dicapai oleh seseorang, karena ilmu yang ada pada dirinya terbatas
untuk mengetahui hakikat Allah, sebagaimana dinyatakan melalui firman-Nya: “...
Sedang ilmu mereka (manusia) tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS, Thaha, 20:
10).[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mahabbah (al-mahabbah) berarti “cinta” (al-hubb),
hubungan batiniah, menyukai sesuatu atau seseorang. Adapun cinta yang berupa
hubungan yang sudah menjangkau dimensi kedalaman yang jauh disertai hasrat
untuk selalu berhubungan.
Mahabbah mempunyai dua pilar, yaitu: 1) Pilar
lahiriah dan 2) Pilar batiniah. Dan Mahabbah
ada bebrapa macam, sebagai berikut: 1) Mahabbah
kaum awam, 2) Mahabbah kaum khawas,
dan 3) Mahabbah khawas al-khawas.
Fana’ adalah hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya
dalam ia berbuat sesuatu.
Fana’
memiliki posisi sangat penting, karena merupakan terminal akhir untuk memasuki
alam makasyafah dan musyahadah, sedangkan maqam-maqam lain
sebelum maqam fana’ dipandang hanya sebagai lorong-lorong kecil (al-dihlis) karena merupakan maqam
persiapan untuk memasuki penghayatan penyaksian Tuhan secara langsung.
Makrifat adalah sebuah tahapan
ketika makrifat (al-ma’rifah) sebagai
pengetahuan menyatu dengan arif sebagai
orang yang memilikinya, sehingga menjadi satu dengan kepribadiannya, dan
seluruh keadaan dirinya menjadi interprestasi dari al-ma’ruf (objek makrifat).
Dzun an-Nun al-Misri (w.859 M) ia
membagi makrifat kedalam tiga tingkatan: pertama
makrifat orang awam (ma’rifah al-awam);
kedua, makrifat para teolog dan
filosof (ma’rifah al-mutakallimin wa
al-failausf) dan ketiga, makrifat
para wali yang mengenal Allah melalui hati sanubari (ma’rifah al-‘arifin).
syeikh sufi berkata: makrifat itu
ada dua macam yaitu pertama,
makrifatul hak, dan kedua, makrifatul
hakikat.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Kalabadzi, Abu Bakar, Ajaran-Ajaran Sufi, Penerbit
Pustaka, Bandung, 1405 H – 1989 M
Masyaruddin, M. Ag, Dr. H.,Pemberontakan Taswuf, JP BOOKS, Surabaya, 2007
Fethullah Gulen, Muhammad, Tasawuf Untuk kita Semua, Republika Penerbit, Jakarta
Selatan,
2014
[1]
Dr. H. Masyharuddin,M. Ag, Pemberontakan
Tasawuf,(Surabaya, JP BOOKS, 2007), h. 1
[2]
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk
Kita Semua, (Jakarta selatan, Republika Penerbit, 2014), h.265
[3]
Ibid, h.267
[4]
Ibid, h.267-268
[5]
Dr. H. Masyharuddin, M. Ag, Pemberontak Tasawuf, (Surabaya, JP BOOK, 2007), h.146
[6]
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran
Sufi, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1989), h.175
[7]
Ibid,h.176
[8]
Ibid,h.179
[9]
Muhammad Fethullah Gulen,Tasawuf Untuk
Kita Semua, (Jakarta Selatan, Republika Penerbit, 2014), h.259
[10]
Dr. H. Masyharuddin, M. Ag, Pemberontakan
Tasawuf , (Surabaya, JP BOOKS, 2007), h.151-152
[11]
Ibid, h. 153
[12]
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-ajaran
Sufi, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1989), h.188
#MAHABBAH, FANAK, DAN MAKRIFAT#makalah #tasawuf #thariqoh #filsafat #kebudayaan #islam #nusantara
0 comments:
Post a Comment