Our social:

Monday, 18 April 2016

MAHABBAH, FANAK, DAN MAKRIFAT

MAHABBAH, FANAK, DAN MAKRIFAT

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf / Akhlak
Dosen Pengampu: Bahron Ansori, M. Ag


Disusun oleh:
Abdur Rouf                         (134211135)
                                           Mawaddatul Jannah            (134211134)


FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADIST
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
          Agama Islam secara garis besar berisi tentang akidah (keyakinan) dan tata kaidah yang mengatur semua peri kehidupan dan penghidupan manusia dalam berbagai kehidupan manusia dalam berbagai kehidupan, baik vertikal maupun horisontal. Dalam pengertian ini terkandung konsep keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, material maupun spiritual.[1]
             Tasawuf adalah istilah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, banyak berbagai cara-cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, para sufi telah menjalankan cara-cara pendekatan secara bertahap dan tidak mudah, mereka melakukannya bertahun-tahun untuk mendekatkan kepada-Nya. Dan Tasawuf  juga adalah usaha yang di lakukan secara keras untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

B. RUMUSAN MASALAH
 Pengertian dan Penjelasan tentang:
1, Mahabbah.
2. Fana’.
3. Makrifat.





BAB II
PEMBAHASAN

A. MAHABBAH
         Mahabbah (al-mahabbah) berarti “cinta” (al-hubb), hubungan batiniah, menyukai sesuatu atau seseorang. Sementara cinta yang menguasai seluruh perasaan manusia bernama “al-‘isyq”. Adapun cinta yang berupa hubungan yang sudah menjangkau dimensi kedalaman yang jauh disertai hasrat untuk selalu berhubungan disebut “asy-syauq” dan “al-isytiyaq”.[2]
          Mahabbah mempunyai dua pilar, yaitu:
1.      Pilar Lahiriah; yaitu keinginan untuk meraih ridha Allah sang al-mahbub setiap saat.
2.      Pilar Batiniah; yaitu ketertutupan sempurna atas apa yang tidak memiliki hubungan dengan sang Tercinta dalam dimensi internal-batinnya.[3]
       Perlu Anda ketahui bahwa mahabbah sejati (al-mahabbah al-haqiqiyah) juga tidak muncul sama pada setiap orang yang memiliki rasa cinta kepada Allah. Mahabbah ada bebrapa macam, sebagai berikut:
1.      Mahabbah kaum awam. Yaitu mahabbah yang selalu naik-turun. Mereka yang memiliki mahabbah jenis ini selalu memiliki pandangan baik dibawah naungan Nur Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyyah). Mereka selalu melihat tanda-tanda yang dapat menunjukkan terbitnya fajar makrifat. Di tempat lain, mereka selalu takjub pada gemerlap kegaiban dan merasakan getaran luar biasa dari jauh.
2.      Mahabbah kaum khawas. Mereka seperti muara yang melekat pada dimensi mahabbah, karena mereka menghabiskan umur mereka dengan kedalaman dalam mengimplementasikan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cakrawala Al-Qur’an yang terang, di tengah implementasi yang mereka lakukan. Bahkan mereka tidak mencari dzauq. Ketika mereka teguh dalam pelaksanaan kewajiban mereka dengan cara terbaik, mereka menundukkan sayap-sayap tawaduk ke bumi seperti pepohonan yang diberati ranting-rantingnya seraya menyenandung nama “al-Habib”. Ketika mereka terguncang oleh kesalahan, kerugian, dan kegagalan, mereka akan menekuk leher mereka untuk melakukan munasabah yang ketat.
3.      Mahabbah khawash al-khawas. Mereka seperti awanpekat yang mengandung hujan di langit ajaran Muhammad. Dengan mahabbah itulah mereka merasakan entitas, dengan itulah mereka hidup, dengan itulah mereka melihat, bahkan dengan itulah mereka bernapas; dalam sebuah daur berkesinambungan yang tidak berujung teridri dari imtila’ (penigsian) dan ifragh (pengosongan). Ketika mereka mengisi (melakukan imtila’ ) diri mereka menggunakan mahabbah itu, nestapa, dan kedekatan hubungan. Ketika mereka mengosongkan (melakukan ifragh), mereka menunggangi cahaya yang membawa mereka turun ke bumi untuk bersikap sanutn terhadap semua makhluk, baik yang makhluk hudup maupun benda mati.[4]

B. FANA’
        Kalangan para sufi, di antaranya al-Gazali (w. 111 M) memandang maqam  fana’ memiliki posisi sangat penting, karena merupakan terminal akhir untuk memasuki alam makasyafah dan musyahadah, sedangkan maqam-maqam lain sebelum maqam  fana’ dipandang hanya sebagai lorong-lorong kecil (al-dihlis) karena merupakan maqam persiapan untuk memasuki penghayatan penyaksian Tuhan secara langsung. Untuk itu, dalam pengalaman  fana’ , seorang sufi mengatakan sebagai proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan atau batin dan alam ketuhanan.
           Atas dasar pengertian di atas al-Qusyairy (w. 1074 M) memberi definisi  fana’ sebagai berikut:
“sirnanya (kesadaran) seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya yang terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya maupun makhluk lainnya. Dirinya tetap ada dan makhluk lain juga tetap ada tetapi dia tidak sadar lagi terhadap dirinya sendiri dan alam sekitarnya”[5]
            Fana’ iyalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya dalam ia berbuat sesuatu.
            ‘Amir bin ‘Abdullah berkata: “Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan ataukah sebuah dinding.” (Dia menganggap sama atau tidak sama sekali terhadap apa yang dihadapinya).
              Karena Allah-lah yang mengatur diri seseorang, Dia yang menjaga diri seseorang, sehingga dengan demikian seseorang akan menjaga hak-hak Allah atas dinya, dan tidak berbuat dengan sesuatu yang bertentangan dengan hak-hak Allah, dan tidak ada jalan pintas lain untuk sampai kepada-Nya kecuali melalui itikad bahwa semua hal adalah merupakan hak Allah semata-mata, inilah yang dikehendaki dengan terlindung dosa (al’ishmah) sebagaimana yang diinginkan. Rasul dalam sabdanya: “Aku menjadi pendengaran dan penglihatan-Nya.[6]
            Dan arti  fana’, yang mereka kehendaki, yaitu seseorang akan fana (lenyap) dari sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya dan akan kekal dengan sifat-sifat Yang Maha Haq.
             Dan Allah membuat sesuatu itu bukan untuk diri-Nya, tetapi untuk selain-Nya, karena Dia tidak membutuhkan kemanfaatan atau menolak kemadharatan, Dia Maha Tinggi dari sifat-sifat demikian, tetapi Dia berbuat sesuatu adalah untuk-Nya, baik yang manfaat maupun yang mudharat.[7]
               Abu sai’d al-Kharraz berkata: “Tanda-tanda seorang dalam keadaan fana’ yaitu bahwa pada diri orang itu tidak dapat kepentingan (pamrih) kepada dunia atau akhirat atas segala apa yang diperbuatannya, tetapi semata-mata hanya kepada Allah, kemudian timbullah ketetapan dari kekuasaan (qudrat) Allah maka ia meninggalkan (membuang) jauh-jauh kepenitngan dirinya, kecuali kepada Allah, sebagaimana adanya dirinya di dalam aslinya. Karena dirinya berada dalam ilmu Allah sebelum ia terwujud (ada), dan apa-apa yang ada padanya, sebagaimana ada dalam aslinya.
                 Selain pengertian fana’ diatas,terdapat juga fana’ yang berarti bahwa hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada diri orang itu berganti dengan sifat-sifat Ketuhanan, hilangnya sifat kemanusiaan seperti bodoh, zalim,hal ini sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “....Dan dipukullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS, al-Ahzab, 33: 72)
                  Disamping itu sifat-sifat manusia, seperti ingkar dan kafir dan hina, diganti dengan sifat-sifat yang ada pada Allah SWT seperti: sifat bodoh diganti dengan sifat “pandai” zhalim berganti dengan “adil” kafir atau ingkar berganti dengan syukur dan sifat-sifat yang lainnya.[8]

C. MAKRIFAT
             Makrifat adalah sebuah ilmu khusus yang tidak bisa dikuasai oleh semua orang dan tidak muncul dari semua orang, dimana pun juga. Adapun bagi para penempuh jalan kebenaran, makrifat adalah sebuah tahapan ketika makrifat (al-ma’rifah) sebagai pengetahuan menyatu dengan arif sebagai orang yang memilikinya, sehingga menjadi satu dengan kepribadiannya, dan seluruh keadaan dirinya menjadi interprestasi dari al-ma’ruf (objek makrifat).
            Ada sementara orang yang mendefinisikan makrifat sebagai muncul dan luasnya berbagai pengetahuan nurani (al-ma’arif al-wahdaniyyah), karena kemunculan dan perluasan semacam itu juga merupakan kemunculan dan perluasan dari harkat dirinya. Tampaknya inilah yang dipahami oleh mereka yang berkata, “Siapapun yang mengenal diirnya, maka telah mengenal Tuhannya.[9] Dalam peistilahan sufi diberi arti: pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati merasa bersatu dengaan yang diketahui.
               Dalam kaitanya dengan al-makrifat, kalbu atau jiwa diyakini kaum sufi sebagai instrumen penitng karena dengannya, mereka merasa dapat menghayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib dan sebagai puncak penghayatan itu adalah makrifat kepada Tuhan. Menurut kaum suif, dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang disebut ruh, berfungsi unutk menicntai atu irnud kepada Tuhan. Dalam ruh terdapat sirr, berfungsi unutk kontemplasi dan berpikir tentang Tuhan sehingga seorang sufi dapat berkomunikasi dengan-Nya.[10]
                 Dzun an-Nun al-Misri (w.859 M) ia membagi makrifat kedalam tiga tingkatan: pertama makrifat orang awam (ma’rifah al-awam); kedua, makrifat para teolog dan filosof (ma’rifah al-mutakallimin wa al-failausf) dan ketiga, makrifat para wali yang mengenal Allah melalui hati sanubari (ma’rifah al-‘arifin). Dengan demikian dilihat dari sudut estimologi terdapat metode makrifat yang berbeda, yakni metode transmisi (taqlidi), metode rasional (‘aqli), dan metode intuitif (kasyfi).[11]
                  Seorang syeikh sufi berkata: makrifat itu ada dua macam yaitu pertama, makrifatul hak, dan kedua, makrifatul hakikat. Makrifatul hak iyalah mengetahui Allah dengan menetapkan keesaan Allah pada setiap sifat yang ada pada diir-Nya. Makrifat hakikat iyalah makrifat yang tidak dapat dicapai oleh seseorang, karena ilmu yang ada pada dirinya terbatas untuk mengetahui hakikat Allah, sebagaimana dinyatakan melalui firman-Nya: “... Sedang ilmu mereka (manusia) tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS, Thaha, 20: 10).[12]
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
          
        Mahabbah (al-mahabbah) berarti “cinta” (al-hubb), hubungan batiniah, menyukai sesuatu atau seseorang. Adapun cinta yang berupa hubungan yang sudah menjangkau dimensi kedalaman yang jauh disertai hasrat untuk selalu berhubungan.
         Mahabbah mempunyai dua pilar, yaitu: 1) Pilar lahiriah dan 2) Pilar batiniah. Dan Mahabbah ada bebrapa macam, sebagai berikut: 1) Mahabbah kaum awam, 2) Mahabbah kaum khawas, dan 3) Mahabbah khawas al-khawas.
          Fana’ adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya dalam ia berbuat sesuatu.
           Fana’ memiliki posisi sangat penting, karena merupakan terminal akhir untuk memasuki alam makasyafah dan musyahadah, sedangkan maqam-maqam lain sebelum maqam  fana’ dipandang hanya sebagai lorong-lorong kecil (al-dihlis) karena merupakan maqam persiapan untuk memasuki penghayatan penyaksian Tuhan secara langsung.
            Makrifat adalah sebuah tahapan ketika makrifat (al-ma’rifah) sebagai pengetahuan menyatu dengan arif sebagai orang yang memilikinya, sehingga menjadi satu dengan kepribadiannya, dan seluruh keadaan dirinya menjadi interprestasi dari al-ma’ruf (objek makrifat).
             Dzun an-Nun al-Misri (w.859 M) ia membagi makrifat kedalam tiga tingkatan: pertama makrifat orang awam (ma’rifah al-awam); kedua, makrifat para teolog dan filosof (ma’rifah al-mutakallimin wa al-failausf) dan ketiga, makrifat para wali yang mengenal Allah melalui hati sanubari (ma’rifah al-‘arifin).
              syeikh sufi berkata: makrifat itu ada dua macam yaitu pertama, makrifatul hak, dan kedua, makrifatul hakikat.

DAFTAR PUSTAKA

M. Kalabadzi, Abu Bakar, Ajaran-Ajaran Sufi, Penerbit Pustaka, Bandung, 1405 H – 1989 M
Masyaruddin, M. Ag, Dr. H.,Pemberontakan Taswuf, JP BOOKS, Surabaya, 2007
Fethullah Gulen, Muhammad, Tasawuf Untuk kita Semua, Republika Penerbit, Jakarta
      Selatan, 2014





[1] Dr. H. Masyharuddin,M. Ag, Pemberontakan Tasawuf,(Surabaya, JP BOOKS, 2007), h. 1
[2] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, (Jakarta selatan, Republika Penerbit, 2014), h.265
[3] Ibid, h.267
[4] Ibid, h.267-268
[5] Dr. H. Masyharuddin, M. Ag, Pemberontak Tasawuf, (Surabaya,  JP BOOK, 2007), h.146
[6] Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung,  Penerbit Pustaka, 1989), h.175
[7] Ibid,h.176
[8] Ibid,h.179
[9] Muhammad Fethullah Gulen,Tasawuf Untuk Kita Semua, (Jakarta Selatan, Republika Penerbit, 2014), h.259
[10] Dr. H. Masyharuddin, M. Ag, Pemberontakan Tasawuf , (Surabaya, JP BOOKS, 2007), h.151-152
[11] Ibid, h. 153
[12] Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-ajaran Sufi, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1989), h.188


#MAHABBAH, FANAK, DAN MAKRIFAT#makalah #tasawuf #thariqoh #filsafat #kebudayaan #islam #nusantara

0 comments: