Makalah Aqidah Tentang Takdir
Makalah Aqidah Tentang Takdir
PENDAHULUAN
Pengertian Taqdir
Yang dimaksud dengan
istilah taqdir adalah Qadar (Al-Qadar khairuhu wa syarruhu)
atau Qadha’ (Al-Qadha’ wa-Qadar). Secara
etimologis Qadha’ adalah bentuk mashdar dari kata kerja qadha yang
berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini Qadha’ adalah kehendak
atau ketetapan hukum Allah SWT terhadap segala sesuatu.
Secara etimologis Qadar adalah
bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan.
Dalam hal ini Qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT terhadap segala
sesuatu. Secara terminologis ada Ulama yang berpendapat kedua istilah itu sama
dan berbeda. Ulama yang berpendapat sama, mendefinisikan sebagai berikut “
Segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara
pasti oleh Allah SWT untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat
antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.” Sedangkan yang membedakan
mendefinisikan Qadar sebagai: “Ilmu Allah SWT tentang apa-apa
yang akan terjadi pada seluruh makhuk-Nya pada masa yang akan datang”.
Dan Qadha’ adalah:” Penciptaan segala sesuatu oleh Allah SWT
sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya.”
Pengertian di atas
sejalan penggunaan kata Qadar di dalam Al-Qur’an yang pada
umumnya mengandung pengertian kekuasaan Allah SWT untuk menentukan ukuran,
susunan, aturan, undang-undang terhadap segala sesuatu; termasuk hukum sebab
dan akibat yang berlaku bagi segala yang maujud, baik makhuk hidup
maupun mati. Sebagai contoh dalam Q.S:
a. Ar-Ra’ad
ayat 8
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ
“ Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”
b. Al-Hijr
ayat 21
وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلاَّ عِندَنَا خَزَآئِنُهُ
وَمَانُنَزِّلُهُ إِلاَّ بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada
sisi Kami-lah khazanahnya;dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
yang tertentu.”
c. Al-Qamar
ayat 49
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran.”
d. At-Thalaq
ayat 3
إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَىْءٍ
قَدْرًا
“Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu.”
Taqdir Allah adalah
merupakan rahasia yang tersembunyi, yang tidak ada seorang pun dapat
mengetahuinya sebelum terjadinya/jatuhnya taqdir itu sendiri. Ia berada di luar
kehendak seseorang untuk mengerjakannya. Seseorang baru mengetahui terjadinya
taqdir tersebut ketika taqdir itu telah dilewatinya. Jadi, kehendak seseorang untuk
mengerjakan sesuatu itu sama sekali tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan
takdir Allah.
Dalam menghadapi taqdir,
Rasulillah SAW menuntunkan kepada setiap muslim agar ia dihadapinya dengan
penuh keridlaan dan keikhlasan. Syekh Muhammad bin Jamil Zeno memberikan
nasehat agar setiap muslim harus berkeyakinan bahwa segala kebaikan dan
keburukan terjadi menurut taqdir Allah dan kehendak-Nya, serta diketahui dengan
ilmu-Nya. Namun menjalankan perbuatan baik dan buruk itu timbul atau pilhan
hamba-Nya sendiri, sedang memperhatikan perintah dan larangan-Nya adalah wajib
bagi seorang hamba. Oleh karenaitu ia tidak boleh berbuat maksiat dengan dalih
bahwa yang demikian itu sudah ditaqdirkan oleh Allah.
PEMBAHASAN
Munculnya Beberapa Firqah Dalam Islam
Diakui oleh para ulama
bahwa persoalan qadha’ dan qadar merupakan persoalan yang paling sulit difahami
dibandingkan dengan lima prinsip Islam lainnya. Oleh karena itu persoalan
sekitar qadha’ dan qadarini tidak pernah habis-hsbisnya dibicarakan orang
sampai saat sekarang ini, dan di antara mereka tidak pernah ada kesepakatan
pendapat, yang semua itu terjadi karena adanya berbagai masalah “keterpaksaan
dan kebebasan”.
Sebagaimana diketahui
bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang kelihatannya secara lahiriyah saling
bertentangan satu sama lain. Di satu sisi ada beberapa ayat yang menggambarkan
betapa manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali, seperti yang tergambar
dalam ayat berikut:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ
وَلَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَارَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang
membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Q.S
Al-Anfal: 17).
إِنَّكَ لاَتَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak
memberi perunjuk kepada orang yang paling kamu cintai, akan tetapi Allah
(sendirilah) yang akan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”
(Al-Qashah: 56)
Sementara
di lain pihak ada beberapa ayat yang menggambarkan bahwa manusia memiliki
kebebasan yang sangat luas, sebagai ayat-ayat berikut:
إِنَّ اللهَ
لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ...
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah diri mereka sendiri” (Ar-Ra’du:
11)
وَقُلِ الْحَقُّ مِن
رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah “kebeneran itu datangnya
dari Tuhan kalian; maka siapapun yang ingin (beriman) biarlah beriman, dan
siapapun yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Al-Kahfi: 29).
Dalam
menghadapi masalah qadha’ dan qadar ini secara garis besarnya umat Islam
terpecah menjadi dua aliran besar (firqah),yaitu firqah Qadariyah
(Indeterminist), atau yang lebih terkenal dengan aliran
Mu’tazilah dan firqah Jabariyah murni (determinist).
Firqah Mu’tazilah
Aliran
Qadariyah muncul pada akhir abad I Hijriyah di Irak pendirinya adalah Ma’bah
Al-Jauhani Al-Bisri. Dalam perkembangannya, aliran qadariyah ditetapkan sebagai
aliran sesat. Dan para pengikutnya dihukumi sebagai orang kafir. Qadariyah
adalah pekerjaan orang-orang Yahudi, dengan tujuan merusak aqidah islam, maka
aliran qadariyah tidak berkembang dan segera lenyap setelah pemimpinnya dibunuh
oleh Abdul malik bin Marwan.
Aliran Qadariyah memahami dengan salah
firman Allah Q.S Al-Israa’: 7
إِنْ أَحْسَنتُمْ
أَحْسَنتُمْ لأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ
اْلأَخِرَةِ لِيَسُوئُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ
أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَاعَلَوْا تَتْبِيرًا
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan)
itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang
kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan
mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali
pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”
Kritikan
terhadap pendapat aliran qadariyah ini: jika semua perbuatan manusia mutlak
diciptakan atas qadrat dan iradat manusia sendiri, lantas dimana letak sifat
Allah yang maha pencipta, memelihara dan mengendalikan seluruh mahkluknya? Jika
Allah dianggap dianggap tidak ikut campur dan tidak pula mengetahui, ini sama
halnya mengingkari bahwa Allah memiliki sifat maha melihat dan maha mengetahui.
Ini sama halnya mentiadakan eksistensi Allah SWT dengan kata lain tidak
mempercayai keberadaan Allah sebagai Tuhan.
Aliran Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian:
a. Perbuatan yang timbul dengan sendirinya,
seperti gerakan refleks dll. Perbuatan ini jelas bukan diadakan manusia atau
terjadi dengan sendirinya.
b. Perbuatan-perbuatan bebas, dimana manusia bias
melakukan pillihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam
ini lebih pantas dikatakan diciptakan (khalq) manusia daripada dikatakan
diciptakan Tuhan, karena adanya alas an-alasan akal fikiran dan syara’.
Alasan-alasan akal fikiran (dalil ‘aqliyah):
1. Kalau
perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sebagaimana yang dikatakan aliran
Jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah/beban hukum) pada manusia?
2. Pahala
dan siksa akan ada artinya, karena manusia dapat mengerjakan atau tidak dapat
mengerjakan yang baik atau yang buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
Alasan-alasan Syara’ (dalil naqliyah)
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا
مَابِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa
yang ada pada sesuatu bangsa , sehingga mereka itu sendiri yang merubah apa
yang ada pada dirinya” (Ar-Ra’d : 11).
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ شّرًّا يَرَهُ
“Siapa yang mengerjakan kebaikan
sebesar atom ia akan melihatnya, dan siapapun yang mengerjakan keburukan
sebesar atom ia akan melihatnya” (Az-Zalzalah : 8).
مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَبِهِ
“Siapa yang mengerjakan keburukan, akan dibalas
dengan keburukan” (An-Nisa’ : 123)
فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ
فَلْيَكْفُرْ
“Barangsiapa yang suka (beriman) hendaklah
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kufur) biarlah ia kufur” (Al-Kahfi : 29).
Masih ada ayat-ayat lainnya yang menyatakan
bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk. Ayat tersebut lebih tegas
menetapkan adanya perbuatan manusia, dan ia sendiri yang bertanggung jawab
terhadap perbuatannya, bukan orang lain.
Demikian juga ayat-ayat
ihtiyar justru lebih banyak jumlahnya daripada ayat-ayat jabar, di samping
ayat-ayat lainnya yang mengumpulkan jabar dan ihtoyar, sehingga orang tidak
perlu menekankan segi ihtiyar saja atau jabar saja.
Pandangan Mu’tazilah tentang manusia yang
diberi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih (free will and free choice
atau masyi-ah) sejalan dengan pandangan Abul A’lal-Maududi.
Maududi menyatakan bahwa Allah telah
memberikan otonomi kepada manusia dalam bentuk ‘mukhayyar atau
kebebasan memilih. Manusia diberi kebebasan memilih, apakah ia akan mengikuti
atau tidak mengikuti jalan Allah itu. Dengan dimilikinya kebebasan memilih, ia
bebas untik mengakui atau tidak mengakui realitas dari segala sesuatu itu.
Manusia bias menganggap dirinya sendiri bebas dari segala kewajiban terhadap
Tuhan, dan boleh berpikir bahwa ia memiliki hak dak kekuasaan penuh atas segala
yang dimiliki, dan bebas, mempergunakan menurut keinginannya sendiri tanpa
terikat pada suatu perintah siapa pun.
Aliran Qadariyah bisa ditunjukkan dengan dalil syara’ dan akal.
Adapaun dalil syara’, bahwa Allah pencipta segala sesuatu, dan semua terjadi
atas kehendak-Nya. Allah menjelaskan bahwa amal perbuatan hamba-Nya bias
terjadi dengan kehendak-Nya. Allah SWT berfirman,
وَلَوْشَآءَ اللهُ
مَااقْتَتَلَ الَّذِينَ مِن بَعْدِهِم مِّن بَعْدِ مَاجَآءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُم مَّنْ ءَامَنَ وَمِنْهُمْ مَّن كَفَرَ
وَلَوْشَآءَ اللهُ مَااقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan
orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah dating kepada mereka
beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara
mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa
yang dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah: 253).
وَلَوْشئِنْاَ
لأَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّى لأَمْلأَنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan
berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan
daripadaKu, “Sesungguhnya akan aku penuhi neraka Jahanam itu dengan jin dan
manusia bersama-sama” (As-Sajdah: 13).
Adapun
dalil akal adalah bahwa semua makhluk adalah milik Allah, dan manusia termasuk
bagian dari ala mini, sehingga diapun adalah milik Allah, dan tidak ada seorang
pun yang bisa menggunakan milik Allah kecuali dengan izin dan kehendak Allah
Qadariyah
adalah pengikut Ma’ad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi, serta pengikut Washil
bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa
perbuatan hamba itu bukan ciptaan Allah, tetapi hambalah yang menciptakan
perbuatan tersebut. Menurut mereka, dosa yang terjadi bukanlah terjadi dengan
kehendak Allah.
Bahkan
kalangan fanatiknya mengingkari bila Allah telah mengetahuinya. Mereka
mengingkari kehendak-Nya yang menyeluruh dan kekuasaan-Nya yang terlaksana.
Karena itu, mereka dinamakan dengan “Majusinya” umat ini, karena mereka serupa
dengan Majusi yang mengatakan bahwa alam semesta mempunyai dua Tuhan: Tuhan
cahaya, sebabgai pencipta kebaikan, dan Tuhan kegelapan, sebagai pencipta
keburukan. Qadariyah menjadikan sekutu bagi Allah, bahkan banyak sekutu dalam
ciptaan-Nya. Mereka menyangka bahwa hamba menciptakan perbuatan mereka, dan
mereka berargumen secara keji dengan sebagian ayat-ayat, sebagaimana dengan
firman-Nya:
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ
أَن يَسْتَقِيمَ
“(Yaitu)
bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus”
(At- Takwir : 28)
Dan
mereka menakwilkan (dengan takwil yang bathil) ayat yang lainnya
yang menyelisi pendapat mereka, sebagaimana terhadap firman-Nya:
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ
أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam” (At-Takwir: 29)
Firqah Jabariyah
Firqah
ini ditokohi oleh Jahm bin Safwan, yang berpendapat bahwa seluruh perbuatan
manusia, baik yang bersifat reflektif ataupun perbuatan yang
disadari dan yang disengaja hakekatnya bukan dia yang melakukannya, akan tetapi
semua itu digerakkan oleh Allah. Hal itu dikarenakan manusia tidak memiliki
kebebasan kehendak dan kebebasan memilih (mukhayyar) sama sekali.
Aliran Jabariyah muncul
pada akhir abad ke I hijriah di Khurasan. Kemunculannya hampir bersamaan
(setelah) aliran qadariyah. Sebagian pengikut Jabariyah dahulunya adalah aliran
Mu’tazilah, yang dikenal sebagai aliran yang mendewakan-dewakan akal pikiran
manusia, bahkan kebenaran Al-Qur’an pin harus tunduk di bawah kebenaran menurut
akal. Mungkin hal itulah yang menyebabkan Jahm bin Safwan keluar dari
Mu’tazilah dan mendirikan aliran Jabariyah.
Manusia diibaratkan
bagaikan bulu yang ditiup angin atau seperti gambaran wayang kulit,
kedua-duanya bergerak karena ada yang menggerakkan dari luar, yaitu angin atau
ki dalang. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, maka lahiriyah yang bergerak,
persis batu yang jatuh dari atas atau mobil yang sedang berjalan.
Sebenarnya
ayat-ayat yang kelihatannya secara lahiriyah menggambarkan manusia tidak
memiliki ihktiyar sama sekali seperti di atas bisa ditakwilkan, sehingga tidak
perlu meninggalkan ayat-ayat lain yang berlawanan dengan ayat-ayat tersebut di
atas.
Setelah
diteluusri sejarahnya ternyata Jahm bin Safwan terpengaruh oleh pendapat
Ghailan al-Dimasqi. Ia dipengaruhi oleh orang Yahudi Syam yang ingin
menghancurkan aqidah islam, Ghailan al Dimasqi akhirnya dibunuh oleh Hisam bin
Abdul Malik.
Aliran
Jabariyah memahami Q.S Al-Qashash: 68 yang dijadikan landasan berfikirnya
secara salah:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ
مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ الْخِيرَةُ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilihnya.Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.Maha Suci
Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).”
Mengkritiksi
pendapat aliran Jabariyah: Aliran Jabariyahlebih sesat dan berbahaya daripada
aliran qadariyah, Jabariyah mendorong umat menjadi lemah dan malas yang menjadi
penyebab bodoh dan miskin, dimana manusia yang diberi amanah menjadikhalifah di
muka bumi, untuk itulah manusia diberi akal dan bumi serta kebebasan dalam
berusaha. Jika segala perbuatannya yang benar maupun yang salah merupakan
paksaan-paksaan dari Allah. maka dimana letak tannggung jawab manusia bahwa
segala perbuatannya akan dimintai pertanggung jawabannya baik dihadapan sesama
manusia dan di hadapan Allah kelak.
Hal
ini mungkin bentuk ketidak berdayaan serta keputusan orang0orang ahli maksiat
dan dosa lantas dengan melimpahkan kesalahan-kesalahannya kepada Tuhan.
Pendapat yayng sesat ini telah banyak menimpa kebanyakan umat islam sehingga
mereka tidak mau mengerjakan aktifitas yang mulia maupun yang bermanfaat,
sehingga mereka menjadi lemah dan hina serta berputus asa.
Terkadang
kita masih banyak melihat umat islam yang malas dan berpuus asa sehingga
menjadi bodoh dan miskin hidupnya di dunia kemudian ia menyembunyikan sifat
malas dan keputusasaannya itu dibalik takdir Allah. Dengan ungkapan ”Kami
seperti ini (lemah, hina, bodoh, dan miskin) sudah merupakan takdir Allah”.
Tanpa mau introspeksi atau mencari penyebab yang akan dijadikan sebsgsi dasar
untuk merubah keadaannya.
Pemahaman firqah Jabariyah jelas sesat ini
berdasarkan syara’ dan realitas. Adapun dalil syara’ adalah sebagai berikut:
1. Allah sendiri yang menegaskan bahwa manusia
memiliki kehendak dan kemampuan untuk memilih, Allah juga menisbatkan apa yang
dilakukan manusia kepada diri mereka, Allah SWT berfirman,
مِنكُم مَّن يُرِيدُ
الدُّنيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ اْلأُخِرَةَ
Di
antaramu ada orang yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.”
(Al-Imron: 152)
وَقُلِ الْحَقُّ مِن
رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّآ أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا
بِمَآءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا
“Dan
Katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir.” Sesungguhnya Kami
telah sediakan bagi orang-orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al-Kahfi:
29)
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا
فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kalitidaklah
Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (Fushshilat: 46).
2. Adapun dalil realitas adalah bahwa semua orang
pasti bias membedakan antara tindakan yang dilakukan atas dasar kemauan dan
pilihan sendiri seperti makan, minum, melakukan akad jual beli dan sebagainya,
dengan tindakan yang tidak sengaja misalnya menggigil ketika mengalami demam,
atau jatuh dari atap rumah misalnya. Yang pertama dilakukan atas dasar
keinginan dan pilihan sendiri tanpa ada paksaan, sedangkan yang kedua terjadi
bukan atas dasar keinnginan dan kesengajaan.
Firqah Jabariyah menuduh Allah sebagai pihak
yang zhalim, membebani para hamba dengan apa yang mereka tidak sanggupi, dan
membalas mereka atas apa yang bukan dari perbuatan mereka sendiri. Mereka
menuduh-Nya sia-sia dalam membebani hamba, dan mereka membatalkan hikmah
perintah dan larangan. Ketahuilah, betepa buruknya apa yang mereka
putuskan.
Mereka Jabariyah disebut juga Qadariyah
Musyrikiyyah, karena mereka menyerupai kaum musyrik dalam ucapan mereka:
سَيَقُولُ الَّذِينَ
أَشْرَكُوا لَوْ شَآءَ اللهُ مَآأَشْرَكْنَا وَلآءَابَآؤُنَا
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya.” (Al-An’aam: 148)
Ucapan mereka ini jelas kacau dan bathil.
Telah disebutkan bantahan atas mereka, ketika membicarakan mengenai, bahwa iman
kepada qadar tidak menafikan bila hamba mempunyai kehendak dalam
perbuatan-perbuatan yang disadarinya (yang menjadi pilihannya), juga ketika
membicarakan tentang berdalih dengan takdir atas kemaksiatan.
Kehendak (Masyi’ah) Allah
Menurut
Abu Bakar al-Jazairi Allah itu dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Kehendak
penciptaan (iradah kauniyah), yaitu takdir yang tidak berkaitan
dengan hukum taklif (perintah dan larangan) bagi manusia,
pahala dan dosa. Kehendak Allah inilah yang berkaitan dengan takdir dan
sistemnya, yang tiada hak bagi manusia untuk memandangnya selain dengan ridha
dan tawakal. Terhadap kehendak Allah dalam penciptaan (iradah kauniyah)
ini Allah tidak menjadikan manusia memiliki kemampuan sama sekali unuk keluar
daripadanya, atau menolaknya.
Sebab kehendak Allah dalam
penciptaan ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia yang bernuansa kehendak
dan pemilihan yang merupakan taklif dan balasan kecuali bila Allah
menghendakinya pada masa azali, dimana hal itu berlaku bagi keumuman
kehendak-Nya sehingga alam semesta tidak akan keluar darnya. Sebagai contoh
manusia tidak memiliki kemampuan kemampuan untuk menolak takdir-Nya seperti,
apakah manusia dapat menolak kehadirannya sebagai laki-laki atau perempuan,
berkulit hitam atau putih, pendek atau tinggi. Hal-hal seperti ini tidak dapat
dihindari karena berkaitan dengan sistem penciptaan, tanda-tanda kemutlakanrububiyah dan uluhiyah Allah
SWT.
2. Kehendak
Allah dalam hukum (iradah syar’iyah), yaitu kehendak Allah yang berkaitan
dengan taklif (perintah dan larangan) kepada manusia, yang
berhubungan dengan masalah pahala dan siksa. Dalam kaitannya dengan kehendak
Allah yang kedua ini Allah tidak memaksakan kehendak-Nya, bahakan sebaliknya
Allah memberikan kebebasan untuk memillihnya, apakah manusia bersedia
melaksanakan perintah-Nya atau justru menentangnya.
Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah: 256
لآَإِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ
لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan berdasarkan pilihan bebasnya tersebut
maka akan berlaku balasan pahala bagi mereka perintah Allah dan balasan
siksa bagi mereka yang ingkar terhadap perintah Allah.
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ
أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ
إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 28-29)
Tegasnya
iradah kauniyah berhubungan langsung dengan takdir yang manusia sama sekali
tidak memiliiki kemampuan untuk menolak atau mengubahnya.
Mencermati
terhadap iradah Allah seperi di atas kalaupun kemudian dihubung-hubungkan
dengan kedua aliran/firqah di atas dapat dinyatakan bahwa faham Jabariyah dapat
dikatakan tepat dalam hubungannya dengan iradah kauniyah. Seperti seseorang
harus mnerima takdir Allah ia dilahirkan sebagai pria, atau berkulit hitam,
atau berbadan kerdil, bermata juling dan sebagainya. Sebaliknya faham Jabariyah
tidak tepat dalam hubungannya dengan iradah syar’iyah, dimana dengan berlindung
di balik kekuasaan Allah ia melakukan perbuatan dosa, seperti mencuri atau
berzina dan sebagainya.
Faham
Mu’tazilah dapat diterima dalam hubungannya dengan iradah syar’iyah, dimana
manusia bisa memilih, apakah ia akan beriman ataukah ia akan kufur terhadap
Allah sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allah:
فَمَن شَآءَ
فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
silahkan beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”
(Al-Kahfi: 29)
Tetapi
faham Qadariyah ini secara tegas tertolak dalam hubungannya dengan iradah
kauniyah. Sebab manusia sama sekali tidak mampu untuk memilih apakah ia lahir
sebagai bayi laki-laki ataukah bayi perempuan, manusia tidak bisa memilih
apakah ia berhidung mancung atau berhidung pesek, bertubuh jangkung ataukah
bertubuh pendek.
Kisah Tentang
Qadariyah dan Jabariyah
Berikut
kisah tentang masalah Qadariyah dan Jabariyah:
1. Unta
orang Badui dicuri, lalu orang itu datang ke halaqah ‘Amr bin ‘Ubaid, salah
seorang pemuka Mu’tazilah, dan salah seorang yang berpendapat dengan pendapat
Qadariyah. Badui tersebut berkata kepada ‘Amr, “Untaku dicuri, maka
berdo’alah kepada Allah agar Dia mengembalikannya kepadaku.
‘Amr
berkata, “Ya Allah, unta orang miskin ini dicuri, dan Engkau tidak menghendaki
pencuriannya. Ya Allah, kembalikanlah kepadanya.”
Mendengar
itu, Badui tersebut berkata,”Aku tidak membutuhkan do’amu.” ‘Amr
bertanya,”Mengapa?” Ia menjawab,”Aku takut sebagaimana Dia menghendaki agar
unta itu tidak dicuri tapi dicuri, lalu Dia hendak mengembalikkannya tapi tidak
dikembalikan!”
2. Al-Qadhi
‘Abduljabar al-Hamdani, salah seorang tokoh Mu’tazilah, menemui ash-Shahib bin
‘Ibad, sedang di sisinya ada Abu Ishaq al-Asfarayani, salah seorang imam
Sunnah. Ketika ia melihat al-Ustadz (Abu Ishaq), ia mengatakan,”Mahasuci Dzat
Yang suci dari kekejian. “Maka Ustadz mengatakan,”Mahasuci Dzat Yang tidak ada
yang terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan sesuatu yang
dikehendaki-Nya.”Al-Qadhi bertanya,”Apakah Rabb kita berkeinginan untuk
didurhakai dengan keterpaksaan?” Al-Qadhi berkata,”Apa pendapatmu, ketika Dia
menghalangi petunjuk kepadaku dan menentukan kehinaan atasku, apakah Dia
berbuat kebaikan kepadaku ataukah berbuat keburukan?” Al-Ustadz menjawab,”Jika
Dia menghalangimu terhadap apa yang menjadi milikmu, maka Dia berbuat
keburukan.
Tapi jika Dia menghalangimu dari apa yang
menjadi milik-Nya, maka Dia mengkhususkan dengan rahmat-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.” Akhirnya, al-Qadhi ‘Abduljabbar terdiam seribu kata.
3. Syaikh
‘Abdurrahman bin Sa’di menyebutkan dalam ad-Durrah al-Bahiyyahsejumlah
contoh yang menyingkap masalah masalah qadha dan qadar, di antara contoh-contoh
tersebut ialah kisah seorang jabari (pengikut jabariyah).
Beliau menuturkan: Ada seseorang yang berlebih-lebihan dalam jabr dan
qadar. Ia selalu berdalih dengan qadar dalam segala yang mulia dan yang hina,
hingga keadaan tersebut membawanya kepada kerusakan dan melakukan berbagai
macam kemaksiatan. Setiap kali dinasihati dan dicela atas
perbutan-perbuatannya, maka ia menjadikan qadar sebagai dalih baginya dalam
segala keadaannya.
Ia
mempunyai sahabat yang selalu mengkritiknya dan menasihatinya tentang
pernyataan yang menyelisihi akal, wahyu dan kenyataan ini. Tapi kritik itu
hanya semakin menambah kesesatannya. Sahabatnya ini menunggu kesempatan untuk
memojokkannya dalam perkara-perkara yang khusus yang bertalian dengannya.
Jabari ini
orang berharta yang memiliki harta bermacam-macam. Ia mempekerjakan banyak
pekerja untuk mengurusi harta kekayaammya. Tiba-tiba, tidak lama kemudian,
orang mengurus ternak datang kepadanya seraya mengatakan, “Qadha Allah dan
qadarnya. “Ia yang amarah sebelum itu menjadi semakim marah karena mendengar
perkataan ini. Amarahnya bergejolak, dan ia (penembala) nyaris mati karena
alasan ini.
Yang
mengurus harta perniagaan datang kepadanya seraya mengatakan,”Aku melewati
jalan yang menakutkan itu, lalu pembegal (para perampok dan penyamun) merampok
semua harta.” Dia mengatakan kepadanya,”Bagaimana kamu melewati jalan yang
menakutkan itu, padahal kamu tahu bahwa jalan tersebut menakutkan, dan
meninggalkan jalan yang aman yang tidak diragukan keamananya?”
Kemudian
orang yang ditugasi untuk merawat dan menjaga anak-anaknya datang kepadanya
seraya mengatakan,”Aku memerintahkan kepada mereka supaya turun di sumur
tertentu, agar mereka belajar berenang, lalu mereka tenggelam.” Dia
bertanya,”Mengapa kamu melakukan demikian, sedangkan kamu tahu bahwa mereka
tidak dapat berenang dengan baik? Sumur yang engkau sebutkan bukankah engkau
ketahui bahwa sumur itu dalam? Lalu mengapa engkau membiarkan mereka turun
sendirian dan engkau membiarkan mereka turun sendirian dan engkau tidak beserta
mereka.
Ia
menjawab,”Demikianlah qadha’ Allah qadar-Nya.”
Mendengar
hal itu ia sangat marah melebihi kemarahan terhadap dua orang sebelumnya.
Kemarahan ini nyaris membunuhnya. Masiing-masing dari mereka yang ditugaskan
atas apa yang telah kami sebutkan semakin menambah kemarahannya, ketika
masing-masing mengatakan kepadanya,”Ini qadha’ Allah dan qadar-Nya.” Ketika
itulah sahabatnya berkata kepadanya,”Mengherankan kamu ini, wahai fulan!
Bagaimana engkau menghadapi orang-orang tersebut kemarahan yang sedemikian ini,
dan engkau tidak menerima alasan mereka ketika mereka beralasan dengan qadar,
bahkan alasan ini semakin menambah kesalahan mereka di sisimu. Sementara kamu,
terhadap Rabb-mu dalam berbagai (keadaanmu) yang memalukan, engkau pun telah
menempuh seperti jalan mereka dan melangkah dengan langkah mereka?
Jika
engkau mempunyai alasan, maka mereka lebih pantas lagi untuk beralasan. Jika
alasan mereka mirip semacam olok-olok, maka bagaimana engkau ridha bersikap
demikian terhadap Rabb-mu?
Saat
itulah, jabari ini tersadar. Ia sadar, setelah
sebelumnya tenggelam dalam sikapnya yang berlebih-lebihan seraya
mengatakan,”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari apa yang telah
aku alami, dan menjadikan untukku nasihat dan peringatan dari berbagai kejadian
yang menimpaku ini. Aku dapat merasakan di dalamnya kesalahanku yanng keji.
Sekarang aku berkeyakinan bahwa apa yang aku peroleh berupa ni’mat hidayah
kepada kebenaran adalah lebih besar bagiku dibandingkan musibah-musibah besar
ini. Sebagaimana firman-Nya:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا
شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ
لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahu, sedang
kamu tidak mengetahui.”( Al-Baqarah:216)
DAFTAR
BACAAN
1. Ali
al-Musyaiqih, Khalid ibn, Buku Pintar Aqidah, Maktabah
Ar-Rusyd Riyadh, cet.1.th.2012.
2. Ibrahim
al-Hamd, Muhammad ibn, Kupas Tuntas Masalah Takdir, Pustaka Ibnu
Katsir Bogor, cet.1.th.2005.
3. Ilyas,
Yunahar, Kuliah Aqidah Islam, LPPI UMY, cet.15.th.2013.
4. Kadarusman, Pendidikan
Aqidah SMK/SMA/MA Muhammadiyah Kelas 12, cet.1.th.2012
##Makalah Aqidah Tentang Takdir#makalah#islam#peradaban#kebudayaan#tasawuf
0 comments:
Post a Comment