makalah pkn persoalan ideologi islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum Negara Indonesia terbentuk
pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad
ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah
perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan hegemoni. Kontak
dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan
masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme,
demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan
jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah
yang sangat dinamis. Setelah bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia pada abad
ke – 20 dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi, berjuang
menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa.Dan tidak dapat
dipungkiri lagi, dalam seluruh dinamisasi perjuangan rakyat Indonesia, Islam
memiliki peran yang dapat dikatakan sangat signifikan untuk kebangkitan Negara
ini. bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan
ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menentang penjajah asing
dan penindas yang berasal dari agama lain.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana perjuangan serta kerangka
berfikir kelompok Islam dalam menentukan landasan Negara dalam konstituante?
2. Bagaimana konstruksi berfikir kaum
nasionalis dalam pergulatan menentukan landasan Negara ?
3. Bagaimana persoalan perbedaan ideologi
antara Islam dan Nasionalis di Indonesia dalam konstituante ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ideologi Islam dan Perjuangannya
dalam Konstituante
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu
pada masa Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua
kekuatan tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi,
meskipun demikian Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan
berpolitik kepada umat Islam Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok
nasionalis mulai kelihatan semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita
dari golongan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI
Alasan teoritis terutama dalam hubungan dengan hukum tata
negara Indonesia, untuk menganggap perlunya pembahasan mengenai konsep negara
adalah suatu konsep negara merupakan suatu pandangan tentang negara, hakikat
dan susunannya, mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan
dasar dalam tata negara, membantu memberi pengertian yang lebih tepat pada apa
yang bisa dan apa yang bisa dan apa yang telah dirumuskan secara tertulis
Karena, pandangan tentang hakikat negara itulah teristimewa tentang hubungan negara
dengan warganya, yang digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan
segalasesuatu yang imgin diatur (soal hak dan kewajiban misalnya ketika
menyusun konstitusi sebuah negara. Kalau hukum adalah norma, termasuk hukum
tata negara, maka menurut teori itu konsep negara adalah suatu pengertian yang
dijadikan pola, dan dengan pola itu norma tersebut dan juga norma hukum
selanjutnya akan disesuaikan.konsep negara menjadi landasan atau berfungsi
sebagai norma dasar dalam sistem hukum suatu negeri. [1]
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya
tentang “Pancasila”. Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak
jelas, pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada
konsepnya tentang demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat
demokratis, berarti negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila
keduannya disatukan demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.
Dalam
membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan antagonistik yang
cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin Islam.
Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima usulan
masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat. Selain itu
secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan
nasionalis sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari
8 Orang Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan
priyayi jawa. 8 orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat
dalam pembicaraan, sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan
nasionalis sekuler. Ini jelas bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan
nasionalis sekuler yang tidak berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal
dasar negara.[2]
Natsir yang mewakili partai Masyumi
mengajukan Islam menjadi dasar negara. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan
sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat
Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat
mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya
masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan
menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat
mewujudkan masyarakat dan negara Islam.
Islam sebagai agama merupakan sebuah
jalan keselamatan bagi manusia. Islam membawa nilai ke-tauhidan yang menentang
penghambaan manusia kepada dzat selain Allah SWT, agar manusia mempunyai
orientasi jelas dalam hidupnya yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Oleh
karena itu ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Ajaran Islam yang
terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran
Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan
dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan
tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk
mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.
Berdasarkan pandangan diatas, Natsir
memiliki kesadaran dasar bahwa ajaran-ajaran Islam yang ditransformasikan dan
diformulasikan dalam bentuk ideologi dapat dijadikan sebuah konsepsi dalam
penerapan sistem demokrasi. Ajaran Islam yang abadi dan universal
melandasi sebuah sistem demokrasi, karena tidak ada sebuah perbedaan tujuan
antara ajaran Islam dengan tujuan dari sistem demokrasi. Oleh karena itu Natsir
menyimpulkan serta menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah
“theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.
Dengan pengetahuan holistiknya
tentang Islam, Natsir menampilkan sebuah gagasan pembaharuan dalam menempatkan
hubungan Islam dengan demokrasi. Natsir berpendapat bahwa “ sejauh terkait
dengan pilihan kaum muslimin, demokrasilah yang diutamakan karena Islam
berkembang dalam sistem yang demokratis.”[3]
Pendapat tersebut menandakan bahwa Natsir lebih mengedepankan sistem
demokrasi dalam pencapaian tujuan ideologinya.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat
dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya
merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin
mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau
Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi
Islam (yang artinya), "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia
melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari
dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di
dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan
akhirat kelak.[4]
Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk
panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan
Islam. Kelompok Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus
Salim dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga
oleh empat orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis.
Sedangkan seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah,
yaitu Soekarno.
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan
Piagam Jakarta. Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan
yang tampaknya disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang
Islam. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun
dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima
dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan
kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan
menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan
dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari
BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” , untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh
Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa
hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh
mayoritas rakyat. Kemudian selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa
dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya
mengenai orang Islam dapat dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah
diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas
keanggotaan BPUPKI umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh
golongan nasionalis sekuler. Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa
menambah tujuh kata yang menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran
Islam. Dalam Piagam Jakarta, ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat
itulah kata Ainar Martahan Sitompul
hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian
Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut
pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo[5]
, bahwa perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam
sebenarnya keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain
karena konstituen politik Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi
terwujudnya sebuah tradisi pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan
aktivisme politik yang lebih rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar
Noer, menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan
kawan-kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu
penurunan yang berarti. Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan
atau kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi
kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan
ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan
terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi . Dengan demikian golongan
Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau
"terkalahkan". Kedua istilah tersebut diatas melemah dan terkalahkan
mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik kelemahan atau kekalahan
itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam
menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa atas dasar
syariat.
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakarta
membuat mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas
berbasis nasib yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang
melahirkan partai politik yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu.
Pemikiran demikian berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara
belum berakhir. Dan ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan
konstituante pada hasil pemilu 1955.
Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih
bergulir pada tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada
perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang
substansi.
Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi
kemerdekaan, tidak ada hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara
arus utama pemimpin dan aktivis Islam dengan kelompok nasionalis.
Perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan
negara dihentikan. Mereka paling tidak untuk sementara, bersedia melupakan
perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak diragukan lagi pada masa itu
para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan
mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok
diatas- Islam dan Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif
harmonis diantara mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap
memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan
Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan
kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang
dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya.
Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan
bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu
merupakan gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai
basis anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar
dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga
Ideologi besar yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin
bermunculan pada waktu itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan
ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII
(1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi Nasionalis (sekuler) diwakili
oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI
(1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta partai-partai lainya
yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing.
Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,
Nasionalis dan Komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh setelah
Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil lebih
korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis. Kondisi
politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah, serta sektor
strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat meraih massa. Selain
itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga membuat PKI mudah
mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite yang khawatir
Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas
menunjukan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak
dapat mendinginkan pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan
golongan nasionalis, yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini
menunjukan bahwa sampai dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah
bersentuhan. Lalu, jenis Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan
yang baik antara Islam dan Negara bangsa di Indonesia.
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti
dianalisis oleh Bachtiar Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek
politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan
ide-ide politik kalangan nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian
terdiri dari orang-orang muslim yang taat, mereka tidak mendukung gagasan
politik yang ingin menghubungkan Islam dengan negara secara formalistik dan
legalistik.
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam
pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an,
memang logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk
berkompetisi secara aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan
nasionalisme. Dasar utama landasan perjuangan Islam harus memahami secara
formalistik dan legalistik, sebab Islam adalah agama sekaligus sistem politik.
Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan sebagai agama yang bersifat
substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya bersentuhan dengan
nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk dan masih
mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus dipikirkan dan di
praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut
memunculkan pemikiran baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan
Negara yang secara sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut
dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas
politik yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat
Indonesia.
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam
tingkat pemahaman telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika
Islam berhadapan dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis,
Islam perlu bersifat transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak
sebagai pemersatu bangsa dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan
utama penopang negara.
B. Pancasila Sebagai Tatanan Ideologi
Kaum Nasionalis
Ideologi
adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri diciptakan oleh destutt
de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”.
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang
segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau
sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan
kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideology Marxisme).
Pancasila
yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan revisi
sila pertama. Pancasila versi Bung Karno adalah seperti ini :
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau
kemanusiaan
3. Mufakat dan demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Bung Karno
melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus
menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan,
kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat
mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir.
Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila
ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa
agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan.
Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama,
janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama.
Itulah versi Bung Karno.
Lain lagi
dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
Kemudian Yamin merevisinya menjadi :
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
2.
Rasa
Persatuan Indonesia
3.
Rasa
Kemanusiaan yang adil dan beradab
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Mohammad
Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila ke-Tuhanan berbeda
dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar Negara melainkan
pengakuan akan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini
sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang
berbeda-beda. Belum lagi yang animis, polities apalagi ateis. Oleh karena itu
di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa
Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga
memberikan masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula
sila berikutnya, dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu
pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.
Sementara
itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat
diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa
sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui
Tuhan Yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan,
kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama
adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis, setelah
digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima versi ini.
Akhirnya
adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus
sila Pertama :
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sinilah
akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak
bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke
Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap,
mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD Sementara)
adalah bersifat sementara.
Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran
yang lain. Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan
sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi
satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”. Golongan agama tentu
tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila
ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk membuat sidang
Konstituante panas.
Tokoh nasionalis lainnya seperti
Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara
ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri
ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang
banyak diilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan
masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya
berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang
organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh
golongan masyarakat (manunggal).[6]
C. Pergulatan Antara Islam dan
Nasionalis dalam Konstituante
Pergerakan-pergerakan kemerdekaan
Indonesia yang dimulai sejak awal abad ke-20 telah menunjukkan bipolarisasi:
pergerakan nasionalis “sekuler” berdasarkan kebangsaan, dan pergerakan
nasionalis “Islami” berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang Pertama
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang
berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Majelis konstituante bersidang dari
bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam
majelis ini meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak
asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan.
Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu
menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam
menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari
tugas-tugas itu dirampungkan.
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka
pendeknya yang mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu
atau lebih sering bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan
kedudukan dan kekuasaan yang ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian
halnya dengan iklim yang meliputi sidang-sidang parlemen konstituante, dalam
parlemen ini, suasana panas lebih di sebabkan kesungguhan mempertahankan
pendirian politik yang diyakininya, lebih-lebih sewaktu membicarakan masalah
dasar Negara.
Kekuatan politik Islam dalam sidang-sidang parlemen seakan
melupakan persaingan mereka dipentas politik praktis. Oleh karena itu , tanpa
adanya usaha kompromi antara para pendukung dasar Pancasila dan para pendukung
dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante
tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.
Pada sidang pertama BPUPKI (29 Mei –
1 Juni 1945) dengan pembicaranya adalah Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, Drs. Moh.
Hatta, dan Ir. Soekarno. Mereka semua berpidato guna membahas tentang rancangan
usulan dasar negara. Menurut Soekarno dalam pidatonya, dasar bagi Indonesia
merdeka adalah dasarnya suatu negara yang akan didirikan yang disebutnya philosophische
gronsag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa dan pikiran yang sedalam-dalamnya
yang di atasnya akan didirikan gedung Indonesia yang merdeka.
Bagi Natsir faham nasionalisme harus
mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme
Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa
Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama
telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.
Namun Soekarno berpendirian bahwa
Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat
bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada
1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah
kepada chauvinisme melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa
pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa
terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat.
Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan.
Pada hari terakhir sidang tanggal 1
Juni, Sukarno sebagai anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar
negara yang dinamainya Pancasila: (1) Kebangsaan; (2) Internasionalisme; (3)
Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan. Sukarno menegaskan,
dengan sila Demokrasi hukum-hukum Islam dapat diundangkan melalui badan
perwakilan rakyat. Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat
meneduhkan pertentangan yang mulai menajam.
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah
diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada
pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya
mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam sebagai
landasan negara. Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus dasar
Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan
rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada sidang paripurna
konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh
dengan mengumpulkan segala sila (dalam pancasila) yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat
yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...." [7]
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan
sengit antara pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan
:
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun
masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian
bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata
dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam,
Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang
diwujudkan dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima
rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama
menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi
itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak
bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil
menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.
Sebagai eklektisitas negara sekuler
dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak
Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik
peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-tauhid-an dalam Islam dan kemanusiaan
yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Bangsa
Indonesia memang penuh dengan dinamisasi. Mulai dari zaman penjajahan sampai
zaman setelah kemerdekaan sekalipun. Dan hal itu juga terlihat dalam sidang
penentuan landasan Negara kita, yakni haluan kemana Negara hendak dibawa.
Majelis konstituante melakukan sidang meliputi masalah –masalah bentuk Negara,
bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu
konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh
kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak
menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas
konstitusionalnya.
Masalah
Dasar Negara menjadi masalah yang krusial dalam konstituante karena hal itu
merupakan sumber dari akan dibentuknya Undang – Undang serta segala peraturan
perundangan yang ada di negeri ini. Permasalahan terjadi karena adanya
pertentangan sengit antara pihak Islam dan Kelompok Nasionalis.
Dengan dasar bahwa ajaran
Islam bersifat abadi dan universal. Wakil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam
yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran
Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan
dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan
tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk
mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Marsilam
Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka
Utama Grafiti, 1997.),
Endang.
Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema
Insani Press, 1997)
Hakim,Lukman(Ed)
100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, (Jakarta: Republika
Press) 2008
Natsir, Moh,
D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955
Saidurrahman,
Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan Antagonistik)
dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000)
Nurainun
Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam
Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006
Yusril
Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1996),
.
[1] Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik,
Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.), h.23-24
[2] Endang.
Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema
Insani Press, 1997).h.68
[3]
Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah,
(Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135.
[4] Natsir, Moh,
D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955, hal
58.
[5] Saidurrahman,
Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan Antagonistik)
dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000),h.130
[23] Nurainun Mangunsong,
2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan
Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006.
[7] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika
Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan
dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.74-76
#makalah kewarganegaraan #indonesia #islam #ideologi #pemikiran
0 comments:
Post a Comment