Our social:

Monday, 18 April 2016

Makallah Muhammad Shahrur dan pemikirannya



Muhammad Shahrur dan pemikirannya

Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Studi Qur’an
Dosen Pengampu: Muhammad Nur Ichwan

Description: C:\Users\Hani\Pictures\images.jpg

Di susun oleh:
Hani Nailatus Syarifah  (134111051)




FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
Semarang
2015




A.    Latar Belakang
Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keIslaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka, dapat di katakan bahwa al-Qur’an hingga kini masih menjadi teks inti (core text) dalam peradaban Islam.
Perdebatan mengenai metode penafsiran pun terjadi di antara para pemikir Islam. Salah satu di antaranya adalah Muhammad Syahrur. Beliau adalah seorang pemikir liberal yang menggunakan metode semantik untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran liberalnya muncul dikarenakan problem modernitas, khususnya benturan antara keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Makalah ini akan membahas seputar pemikiran Muhammad syahrur dari biografi, fase pemikiran hingga metodologi pemikirannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Muhammad Syahrur
2.      Metodologi penafsiran Muhammad Syahrur

C.    Biografi Muhammad Syahrur
Nama lengkap dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Syria merupakan salah satu negara yang pernah mengalami problem modernitas khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi barat. Problema ini muncul karena disamping Syria pernah diinvasi oleh Prancis dampak dari gerakan modernisasi turki, di Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyah (di Turki). Problema ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya Jamal al-Din, al-Qasimy (1866-1914). Muhammad Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup yang bernama Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun. Syahrur dikaruniai lima orang anak yaitu Tariq, Al Lais, Basul, Masum dan Rima dengan seorang istri bernama Azizah. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Syria sampai memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957 dari lembaga pendidikan Abdur Rahman Al Kawakibi, Damaskus. Pada tahun 1958 dia memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke Saratow di Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil dan pada tahun 1964, berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil. Pada tahun 1965 Muhammad Syahrur kembali ke Syria dengan gelar Sarjana Teknik  Sipil dan mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.[1]
Selanjutnya pada tahun 1968, oleh universitas dia dikirim ke  Ireland  National University , Irlandia yang kemudian mengantarkannya memperoleh  gelar Magister (1969) dan Doktor  (1972) dalam spesialisasi Mekanika  Pertanahan dan Fondasi. Kemudian ia diangkat sebagai Profesor Jurusan Teknik  Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) dan pada tahun 1982-1983 Syahrur  dikirim oleh Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada  Al Sand  Consult  di Arab Saudi. Selain itu bersama rekan- rekannya, dia membuka Biro Konsultan Teknik Dar al Istisyarah al Handasiyah di Damaskus.

D.    Fase- fase Pemikiran Muhammad Syahrur
Pada tahun 1995, Syahrur menapaki beberapa tahapan pemikiran yang disebut sebagai fase-fase pemikiran. Fase pemikirannya terbagi menjadi 3, yaitu[2]:
1.      Fase Pertama (1970- 1980)
Permulaan dari fase pemikiran Syahrur ini adalah ketika ia menempuh pendidikan pada jenjang Magister dan Doktor dalam bidang Teknik Sipil di Universitas Nasional Irlandia. Fase ini bisa dikatakan sebagai fase kontemplasi atau perenungan, kemudian berlanjut pada peletakan dasar-dasar  pemikirannya tentang ad Zikr.Namun diakui oleh Syahrur bahwa pada fase ini masih belum menghasilkan pemikiran yang menurutnya matang dan komprehensif, dikarenakan masih adanya kecenderungan untuk terjebak kepada pengaruh pemikiran-pemikiran klasik dan juga pada khazanah pemikiran modern. Disamping itu juga dia merasa masih dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran teologis yang tertuang dalam bentuk aliran kalam maupun fiqh madhab. Dalam kurun waktu 10 tahun (1970-1980) tersebut Syahrur mendapati dasar- dasar ajaran agama yang sebenarnya. Dikarenakan menurut Syahrur, tidak bisa menjawab tantangan zaman.
Menurutnya hal ini dikarenakan dua hal, yaitu:  Pertama, pengetahuan tentang aqidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Mu’tazili atau Asy’ari. Kedua, pengetahuan fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali ataupun Ja’fari. Menurut Muhammad Syahrur, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh kedua hal tersebut maka studi Islam berada pada titik yang rawan.
2.      Fase Kedua (1980- 1986)
Pada tahun 1980, Muhammad Syahrur bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja’far (yang mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara tahun 1958-1964). Pada kesempatan itu, ia menyampaikan perhatian besarnya terhadap studi bahasa filsafat dan pemahaman terhadap al-Qur’an. Kemudian Muhammad Syahrur menyampaikan pemikiran dan disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan di Universitas Moskow pada tahun 1973. Sejak saat itu, Syahrur mulai menganalisis ayat- ayat al-Qur’an dengan model baru dan pada tahun 1984.
3.      Fase Ketiga (1986- 1990)
Pada fase ini, Syahrur mulai lebih memfokuskan diri untuk menyusun pemikiran dalam topik- topik tertentu. Pada akhir tahun 1986 dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari Al Kitab wa Al-Qur’an yang merupakan masalah- masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai tahun 1990.
E.     Pendapat Muhammad Syahrur mengenai Al-Quran
Dalam bukunya yang berjudul Al-Kitab wa al-Qur’an, Syahrur menyebut Al-Qur’an sebagai al-Kitab Jika al-Kitab merupakan wahyu Allah kepada Muhammad sebagai penutup, maka ia harus memiliki karakter sebagai berikut:[3]
1.      Karena Allah bersifat absolute, memiliki kesempurnaan pengetahuan, dan tidak memiliki sifat relative. Maka kitab-kitabnya pun pada sisi kandungannya (al-muhtawa) mengandung unsur-unsur yang absolute.
2.      Karena Allah tidak perlu mencurahkan ilmu dan petunjuk bagi dirinya sendiri, maka kitab ini yang merupakan kitab penutup di turunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan demikian pada sisi pemahamannya (al-fahm al-insani) ia harus memuat unsure-unsur yang relatif.
3.      Karena kesempurnaan cara berfikir manusia di capai melalui bahasa, maka ada dua konsekuensi, yaitu: pertama, kitab ini di manifestasikan dengan bahasa manusia. kedua, kitab ini harus memiliki karakter khusus, yaitu muatannya bersifat absolute dan pemahamannya bersifat relative. Karakter inilah yang di sebut dengan kemutlakan bentuk linguistic (tsabat al-nash) yang brupa teks sekaligus memiliki relatifitas pemahaman (harakat al-muhtawa). Karakter semacam inilah yang mengindikasikan bahwa al-kitab berasal dari Tuhan, karena tidak mungkin bagi manusia yang lemah memenuhi persyaratan tersebut.
Karakter di atas meniscayakan adanya dimensi sakralitas pada teks ayat-ayat al-kitab yang tidak mungkin berubah.pada saat yang sama memiliki dinamika pemahaman (harakatu al-ta’wil) yang sesuai dengan perjalanan sang waktu. Setelah mempelajari al-Kitab ini secara komprehensif, syahrur mendapati bahwa al-Kitab memiliki karakter yang tidak dapat di penuhi oleh manusia sebagaimana telah di jelaskan di atas.[4]


F.     Metodologi penafsiran Muhammad Syahrur
Dalam mengkonstruk metodologinya, Syahrur memulai langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan (demafiliarisasi) terhadap model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik. Istilah penidakbiasan ini menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai suatu cara yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi). Defamiliarisasi itu sendiri adalah strategi bawah tanah untuk menggambarkan sebuah obyek sastra seakan-akan seseorang melihatnya untuk pertama kali. Tujuan dari demafiliarisasi ini adalah untuk melawan pembiasan (habitualization) cara baca konvensional terhadap sebuah seni sastra, sehingga obyek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi obyek yang tidak dikenal dan berada di luar dugaan pembaca.[5]
Berbicara mengenai pemikiran M. Syahrur, tidak lepas dari teori Limit. Teori limit (batas) menjadi ciri khas pemikiran Muhammad Syahrur. Missal, pemikiran tentang hukum pemakaian jilbab dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab 59

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَا بِيبِهِن ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَآَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيما
)الاحزاب: 59(
Artinya : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (al-Ahzab: 59)
Ayat di atas dalam metode pemikiran Muhammad Syahrur, mengenakan jilbab ke seluruh tubuh selain yang di kecualikan (wajah dan telapak tangan) merupakan batas maksimal. Sementara batas minimalnya tidak di tentukan di dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk batas minimalnya adalah menutupi lubang atau wilayah yang mengundang hal-hal buruk. Batas minimal penggunaan pakaian bisa juga disesuaikan dengan kebudayaan yang berlaku di wilayah ia tinggal.[6]
Jadi Al-Quran hanya memberikan batasan-batasannya saja. Seperti
·      batas atas adalah batasan hukum yang menjelaskan batas maksimalnya saja, tanpa menyebutkan batas minimal. Missal, hukum mengenakan jilbab maksimal seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan
·      batas bawah yaitu batasan hukum yang hanya menjelaskan batas minimalnya saja tanpa menyebutkan batas maksimalnya. Missal, ayat yang menyuruh kita membaca “bacalah walau satu ayat”
·      batas atas bawah, yaitu ketentuan yang memiliki batas maksimal dan batas minimalnya. Missal, ayat tentang hubungan suami istri. Sayangnya saya kurang mengerti hubungan tersebut.
·      Dan seterusnya.






G.    Kesimpulan
Nama lengkap dari pemikir Islam liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Dalam mengkonstruk metodologinya, Syahrur memulai langkah awalnya dengan pendekatan penidakbiasan (demafiliarisasi) terhadap model bacaan teks-teks al-Qur’an ulama klasik. Istilah penidakbiasan ini menggambarkan sebuah proses, yang di dalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang menarik perhatian dan secara langsung dipandang sebagai suatu cara yang tidak umum, sesuatu yang mengesampingkan (otomisasi).












Daftar Pustaka
Syahrur, Muhammad,  Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok, (Yogyakarta: jendela, 2002)
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2008)
Shahrur, Muhammad,al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004)



[1] Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-Aturan Pokok, (Yogyakarta: jendela, 2002) Hlm xiii
[2] Ibid
[3] Dr. Ir. Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
Saya mengambil dari dalam buku terjemahan bahasa Indonesia, Prof.Dr. Ja’far Dikki al-Bab, Prinsip dan Dasar HERMENEUTIK AL-QURAN Kontemporer, (Yogyakarta; eLSAQ Press, 2004), Hlm. 46
[4] Ibid, 47
[5] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,(Yogyakarta:Elsaq Press, 2008), Hlm. 17
[6] Diskusi mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, yang di ampu oleh bapak Nasihun Amin.



#makalah#al-quran#islam#kebudayaan#sejarah#filsafat#tasawuf#agama#indonesia#artikelbagus

1 comments:

#FPG said...

Dari tadi penulis cuma menulis shahrour pemikir liberal. Kurang digaris bawahi letak pemikiran liberalnya dimana