Our social:

Latest Post

Tuesday, 26 April 2016

MAKALAH NASIONALISME DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Nasionalisme dapat didefinisikan rasa kebermilikan terhadap suatu bangsa.. Nasionalisme sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.[1]  Ketidaksukaan bangsa yang terjajah terhadap pihak yang menjajah terakumulasi yang menimbulkan adanya rasa ingin bebas dan menjadi negara yang merdeka. Hal tersebut teraplikasikan dengan munculnya berbagai pergerakan.
Nasionalisme pertama kalinya di perkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa saat mereka sedang menikmati euphoria revolusi industri. Fenomena tersebut secara otomatis merubah strata sosial dalam masyarakat. Proses peralihan terjadi pada abad ke XVII yang didahului oleh kapitalisme awal dan liberalisme. Kekuasaan feodal dengan raja, bangsawan, dan gereja lambat laun tidak mampu menghadapi desakan dari golongan di kota-kota yang menguasai perdagangan. Karena semangat mereka yang didasarkan pada factor ekonomi semata, menjadikan mereka mencari daerah pemasaran baru atau daerah bahan baku. Hal ini dilandasi semata-meta untuk mengabdi tetrhadap bangsanya. Makanya terjadilah penjajahan atas bangsa Eropa terhadap bangsa lain, terutama Asia dan Afrika.
Sedangkan nasionalisme bangsa Asia sendiri didasarkan pada keinginan lepas dari penjajahan dan berrdaulat menjadi negara merdeka. Oleh karena itu, pasca PD II banyak lahir gerakan-gerakan pembebasan. Hampir di seluruh Asia merasakan euphoria tersebut, tak terkecuali Indonesia.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana latar belakang lahirnya nasionalisme Indonesia?
2.         Bagaimana unsur-unsur identitas Nasional di Indonesia ?
3.         Bagaimana derivasi konsep Nasionalisme Indonesia ?
4.         Bagaimana Nasionalisme Indonesia dewasa ini ?
5.         Bagaimana memperkuat Nasionalisme Indonesia masa kini ?

C.      Tujuan
1.         Mengetahui latar belakang lahirnya nasionalisme Indonesia.
2.         Mengetahui unsur-unsur identitas Nasional di Indonesia.
3.         Mengetahui derivasi konsep Nasionalisme Indonesia.
4.         Mengetahui Nasionalisme Indonesia dewasa ini.
5.         Mengetahuimemperkuat Nasionalisme Indonesia masa kini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasionalime
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin yakni natio. Kata nation sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata nation dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.[2]
Kemudian pengertian nasionalisme di atas mengalami perubahan ke arah positif. Nasionalisme di artikan sebagai semangat kebangsaan dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari negara. Ada dua macam teori pembentuk Negara, yakni teori kebudayaan dan teori Negara[3]. Teori kebudayan mengatakan bahwa Negara terbentuk atas dasar kesamaan kebudayaan. Sedangkan teori negara mengatakan sekelompok orang yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk bergabung menjadi satu dalam suatu negara yang berdaulat dengan tidak menjadikan kebudayaan tertentu menjadi syaratnya.  
Dari kedua teori diatas, Indonesia masuk dalam teori Negara, karena terbentuk atas dasar kemauan dan keinginan untuk menjadi satu. Beragamnya kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang berbeda tidak dianggap sebagai penghalang tetapi sebagai anugerah. Penyatuan atas keinginan untuk bebas dari penjajahan sangat rawan terjadi disintegrasi. Oleh karena itu, nampaknya harus selalu ada upaya pemupukan semangat nasionalisme.
B.     Latar belakang lahirnya nasionalisme Indonesia
Membicarakan mengenai lahirnya nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keadaan rakyat sendiri yang sangat memprihatinkan pada masa tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat terbelakang waktu itu, mereka hanya dipekerjakan utuk kepentingan kolonial. Pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan tidak menjadi perhatian utama pemerintah kolonial Belanda. Situasi tersebut tetap berlangsung sampai Van Deventer dalam majalah De Gids menulis keprihatinanya terhadap rakyat Indonesia karena loyalitas mereka terhadap pemerintaha kolonial tidak mendapatkan balasan yang semestinya.
Sesungguhnya semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan telah ada dalam jiwa-jiwa rakyat Indonesia. Sayangnya pada masa itu belum ada wadah dan penggeraknya yang terorganisir. Baru setelah memasuki abad ke 20, politik etis berimplikasi positif bagi bangsa Indonesia. out put dari pendidikan yang menjadi salah satu program dari politik etis sendiri menghasilkan para cendekiawan yang peduli akan nasib bangsanya. Mereka mendirikan berbagai organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan gerakan emansipasi wanita. 
Ada tiga pemikiran besar tentang watak nasionalisme Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yakni paham ke Islaman, marxisme[4] dan nasionalisme Indonsia. Para analis nasionalis beranggapan bahwa Islam memegang peranan penting dalam pembentukan nasionalisme sebagaimana di Indonesia. Menurut seorang pengamat nasionalisme George Mc. Turman Kahin, bahwa Islam bukan saja merupakan matarantai yang mengikat tali persatuan melainkan juga merupakan simbol persamaan nasib menetang penjajahan asing dan penindasan yang berasal dari agama lain[5]. Ikatan universal Islam pada masa perjuangan pertama kali di Indonesia dalam aksi kolektif di pelopori oleh gerakan politik yang dilakukan oleh Syarikat Islam yang berdiri pada awalnya bernama Syarikat Dagang Islam[6] dibawah kepemimpinan H.O.S.Tjokoroaminoto, H.Agus Salim dan Abdoel Moeis telah menjadi organisasi politik pemula yang menjalankan program politik nasional dengan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.
C.    Unsur-Unsur Identitas Nasional
a.    Suku bangsa
Suku bangsa pada dasarnya merupakan golongan sosial yang khusus dan bersifat akritif (ada sejak lahir) yang sama golongannya umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa dan kelompok etnis dengan tidak kurang dari 300 dialek bahasa. Populasi penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 225 juta dari jumlah tersebutdiperkirakan separ. uhnya beretnis Jawa, sisanya terdiri dari etnis-etnis yang mendiamikepulauan di luar Jawa.
b.   Agama dan Kepercayaan
Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh ajaran agama. Agama yang bertumbuh kembang di Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu. Dari agama dalam kepercayaan tersebut, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas oleh bangsa Indonesia. Harus diakui bahwa kehidupan agama yang pluralistik pada awalnya dapat hidup serasi dan seimbang dengan lebih menekan pada sifattoleransi dan menghormati.
c.    Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat (modal-modal). Pengetahuan secara kolektif digunakan oleh pendukung- pendukungnya untuk mentafsirkan dan memahami lingkungan.yang dihadapi dan digunakansebagai rujukan (pedoman) untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda-bendakebudayaan sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Intinya adalah kebudayaan merupakan patokan nilai-nilai etika dan moral baik yang tergolong sebagai ideal atau yang seharusnya(world view) maupun yang operasional dan aktual di dalam kehidupan sehari-hari.
d.   Bahasa
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan aneka suku bangsa yang masing-masing memiliki karakter sendiri, termasuk di dalamnya bahasa yang digunakan secara umum setiap suku bangsa terbagi atas dua kelompok yaitu  Kelompok pertama; suku bangsa yang memiliki bahasa lisan dan tulis (aksara) misal : suku Jawa, Bali dan Batak. Kelompok kedua; suku bangsa yang hanya memiliki bahasa lisan saja misalnya;suku Dayak, Bajar, dan lain-lain. Menurut tim ICCE (UIN) Jakarta bahwa, bahasa di pakaisebagai sarana berinteraksi antar manusia melalui peristiwa sumpah pemuda[7], para tokoh pemuda dan berbagai latar belakang suku kebudayaan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia yaitu bahasa yang mempersatukan seluruh elemen masyarakat etnis dan suku bangsa yang hidup di wilayah kepulauan nusantara.
D.    Derivasi Konsep Nasionalisme Indonesia
a.    Negara-bangsa
Menurut pasal 1 UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Republik merupakan bentuk negara kesatuan Indonesia yaitu suatu bentuk pemerintahan yang bersifat antithesis monarki dan kepala pemerintahan bukan seorang raja dan dengan sistem pemilihan umum untuk menduduki jabatan politiknya. Selain bentuk dan kedaulatan negara konsikusi UUD 1945 juga memuat ketentuan-ketentuan tentang kelengkapan negara yang terdiri dari dasar lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif  pemerintah daerah.
b.   Warga Negara
UUD 1945 menentukan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain disahkan dengan UU sebagai warga negara. Ada perbedaan konsepsi antar warga negara dan penduduk yaitu bahwa penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
c.  Dasar Negara Pancasila
Setelah Indonesia merdeka terjadi perdebatan serius tentang dasar negara Indonesia.Perdebatan ini terjadi tentang dasar negara antar kelompok Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan golongan nasionalis. Perbedatan akhirnya menghasilkan sebuah kompromi yakni BPUPKI, bersepakat menghasilkan sebuah mukadimah. Pada tanggal 22Juni 1945 kesepakatan ini ditandatangani sehingga dokumen tersebut dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) setelah kemerdekaan kesepakatan ini dipersoalkan bahwa orang-orang Kristen yang sebagian besar berada di wilayah Timur menyakatan tidak bersedia bergabung dengan RI kecuali jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta di hapuskan akhirnya dasar ideologi dan konstitusi negara akhirnya kelompok Islam bersepakat menghapuskan unsur-unsur Islam yang telah mereka rumuskan dalam Piagam Jakarta. Sejak diterimanya usul tersebut dan ditetapkan UUD 1945 sebagai UUD negara RI. [8]Sejak peristiwaitu maka dasar negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat adalah Pancasila dan kelimasilanya.
E.  Nasionalisme Indonesia Dewasa Ini
Nasionalisme kebangsaan lahir dari pemikiran dan rasa cinta oleh suatu individu terhadap bangsanya secara tulus dan ikhlas tanpa adanya suatu paksaan dari pihak manapun. nasionalisme sebagai manifestasi kesadaran bernegara tumbuh di negara merdeka. [9] Nasionalisme itu sesuatu yang dinamis, nasionalisme pada zaman colonial dengan zaman sekarang jelas angat jauh berbeda.
Sampai seberapa jauh nasionalisme itu berkembang tergantung pada bagaimana penerapan cara berpikir nasional warga negaranya. Apa yang dimaksud berpikir nasional adalah sikap seseorang terhadap kesadaran bernegara.[10] Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembangannya mencapai titik puncaknya setelah perang dunia II, yaitu dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia yang berarti bahwa pembentukan nation  Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. [11]
Namun Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945 perjuangan rakyat Indonesia ternyata belum selesai ketika terjadi agresi militer belanda 2 pada tahun 1945 -1949. Nasionalisme Indonesia  saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik dan politik divide et impera Belanda[12]. Setelah itu pada tahun – tahun berikutnya konflik – konflik nasional tidak terjadi dari luar namun sikap nasionalisme bangsa kembali dihadapkan pada tantangan baru dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin,  masalah nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedi nasional 30 September 1965. Dimana dalam kasus ini kita seakan melihat pembantaian di dalam tubuh sendiri.
Sesuai zamannya nasionalisme berkembang dengan penguasa yang berbeda pula. Jika pada masa penjajahan bentuk nasionalisme kita adalah dengan mengangkat senjata mengusir penjajah, dan jika pasca kemerdekaan kita juga harus menghadapi konflik dalam negeri rasa nasionalisme kita adalah dengan cara berpendapat, dengan cara memilih pemimpin yang baik dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan kita, lalu nasionalisme sekarang ini juga berbeda pula.
Dewasa ini nasionalisme Indonesia tidak hanya di uji dari luar seperti masa kolonial atau hanya konflik dalam negeri seperti pasca orde lama danorde baru,  namun serangan untuk melemahkan nasionalisme kita datang dari luar dan dari dalam negeri sendiri. Tahun 1998 terjadi Reformasi yang memporak-porandakan stabilitas semu yang dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila.
Masyarakat melupakan nasionalisme kebangsaan, dan sibuk mengurusi diri dan kelompoknya sendiri tanpa peduli dengan aset-aset negara yang harusnya dijaga. Hingga beberapa waktu lalu terjadi  Kasus yang secara tiba-tiba menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Dalam satu dekade terakhir ini, muncul lagi "nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika peristiwa itu terjadi.
Nasionalisme kita seakan muncul dengan paksaan yaitu ketika ada serangan atau ada ancaman dari pihak luar kita baru bersatu teguh menggannya Negara-negara bersangkutan, namun jika melihat kebelakang terjadinya saling klaim atas kebudayaan dan tradisi bangsa bukanlah suatu kejahatan internasional jikadari dalam tubuh itu sendiri tidakmemiliki rasa cinta terhadap kekayaan bangsanya.
Bagaimana batik, reog ponorogo, pulau Ambalat dan ligitan yang sekarang menjadi milik negara tetangga adalah salah kita sendiri sebagai pewaris kebuduyaan yang tidak mampu menghargai dan melestarikan kebudayaan sendiri. nasionalisme bangsa Indonesia terjadi pasang surut akibat pengaruh global yang telah mendarah dalam generasi Indonesia. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita. Fenomena yang membelit kita berkisar seputar; Rakyat susah mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.
Nasionalisme Kebangsaan Indonesia memiliki keunikan yakni sifat yang tidak antagonis terhadap faktamulti-etnik, multi-kultur, multi-agama, multi-lingual. Bhinekka Tunggal Ika dan Pancasila mencegah Nasionalisme Indonesia berubah menjadi Fasisme ala Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Bung Karno dalam pidato `Lahirnya Pancasila' dengan mengatakan. "SilaKe-Bangsaan mengandung unsur kuat kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karenanya tidak akan mungkin meluncur kearah chauvinism dan menentang pikiran-pikiran rasialisme". Dengan demikian, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja untuk berpartisipasi membangun negara Republik Indonesia.  namun tampaknya nilai yang disampaikan bung karno mulai luntur karena pengaruh dari luar maupun dalam negeri sendiri.
Cara berpikir nasional dapat juga merupakan antithesis cara berpikir kedaerahan. Yakni cara yang sangat mengutamakan kepentingan daerah tanpa memperhatikan kepentingan nasional.[13] Hal inilah yang justru marak terjadi di Indonesia dewasa ini, banyak terjadi kasus – kasus konflik antar golongan dalam masyarakat yang ironisnya masih dalam satu suku. Indonesia sendiri merupakan negara yang multikultural yang sehausnya mampu menghargai perbedaan dan mampu membangun bengsa secara bersama. Jika konflik antar golongan dalam satu suku marak terjadi lalu dimanakah nasionalisme para nasionalis yang harusnya tetap berkembang demi tercapainya tujuan bangsa.
Nasionalisme sendiri memiliki ciri khusus, berupa norma objektif; mengutamakan kepentingan kehidupan nasional.[14] Tindakan yang menguntungkan kepentingan daerah tanpa merugikan kepentingan nasional perlu dilakukan. Meskipun demikian jika perbuatan itu merugikan kehidupan nasional, wajib ditinggalkan.[15]
Saat ini, ribuan kasus pertikaian komunal yang dilatar-belakangi oleh ketidak-mampuan dalam menerima perbedaan agama dan etnisitas serta ketidakkonsistenan terhadap penegakan hokum positif merupakan penodaan terhadap semangat Nasionalisme Kebangsaan Indonesia. Ironisnya, jargon-jargon "nasionalisme" sering kali dipakai oleh kelompok "juragan-politisi" sebagai alat untuk memojokan segolongan warga bangsa dan membantu melancarkan kepentingan pribadinya.
Pada dasarnya pembentukan nasionalisme didasari oleh tiga teori. Pertama, yaitu teori kebudayaan (culture) yang menyebut suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan. Kedua, teori negara (state) yang menentukan terbentuknya suatu negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada didalamnya disebut bangsa, dan ketiga teori kemauan, (will), yang mengatakan bahwa syarat mutlak yaitu adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan sutau bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama.[16]
Sayang sekali nasionlaisme Indonesia tidak sejalan dengan teori tersebut. Indonesia mengalami berbagai akulturasi budaya akibat globalisasi yang justru melemahkan nasionalisme dan melunturkan rasa cinta tanah air. Contohnya saja peringatan sumpah pemuda yang rutin diperingati tiap tahun sekarang hanya dianggap sebagaihari sumpah pemuda saja tanpa memahami arti dan nilai yang harusnya ditanamkan sampai sekarang. Kecenderungan menganggap sejarah sebagai sesuatu yang lalu dan tidak perlu dibahas lagi membuat bangsa kita menjadi bangsa yang lemah. Generasi muda justru lebih bangga menggunakan istilah asing yang sekasrang sedang marak digunakan dan biasa disebut dengan bahasa “gaul” atau bahasa “alay” merupakan salah satu bentuk latahnya bangsa kita ketika sesuatu yang asing muncul dan langsung menjadi sebuat trend  sedangkan sesuatu yang harusnya dilestarikan malah dianggap kuno.
Selain persoalan bahasa, munculnya budaya popular asing yang menjadi bahan pembicaraan disetiap negara turut mewarnai dan mempengaruhi kehidupan generasi muda Indonesia. banyak anak-anak muda yang berlomba-lomba mempelajari budaya asing namun sangat acuh terhadap budayanya sendiri. hal ini memang tidak lepas dari pengaruh globalisasi dna teknologi namun nasionalisme bangsa seharusnya tidak meluntur dengan alasan-alasan tersebut.
         Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu. Baik dalam merdeka maupun dalam penjajahan, nasionalis adalah etika kehidupan tiap nasionalis, meletakkan nilai pengabdiannya terhadap bangsa dan tanah airnya.[17] Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, menghargai dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.
F.  Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme
1.   Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibattranskulturasi dan perkembangan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat diterapkandalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Memahami globalisasiadalah suatu kebutuhan,mengingat majemuknya fenomena tersebut.Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi,ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.
Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme.
1.   Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis.Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat.Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2.   Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatankerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkankehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3.   Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerjayang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkankemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasanasionalisme kita terhadap bangsa.
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme.
1.      Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalism dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadiakibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2.      Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalamnegeri karena banyaknya produk luar negeri yang membawa brand bergaya barat yang membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalamnegeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.   Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas dirisebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yangoleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.   Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya danmiskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapatmenimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggukehidupan nasional bangsa.
5.   Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulianantarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan pedulidengan kehidupan bangsa.
Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadapnasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawalamasyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepadamasyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkandilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggaptidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional,ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.[18]
G.    Faktor Internal Yang Mempengaruhi Melemahnya Nasionalisme
1.      Provinsialisme, Kedaerahan, Primodialisme
Ketiga kata tersebut sebenarnya mempunyai arti atau definisi yang kurang lebih sama. Ketiganya sama-sama mempunyai arti paham yang menjunjung tinggi daerahnyaatau bersifat kedaerahan, provinsialisme paham yang menjunjung tinggi provinsisendiri, primodialisme paham yang menjujung tinggi daerah asalnya atau daerahkelahirannya.
Sebenarnya menjujunjung tinggi daerahnya bukanlah hal yang salah, karena setiaporang tidak akan mungkin terlepas dari daerah asalnya, orang jawa bangga dengankejawaannya, batak bangga dengan kebatakannya.Tapi yang mejadi masalah adalah primodialisme fanatic atau berlebihan. Terlalumengagung-agungkan daerahnya hingga merendahkan daerah atau suku lain.Primodialisme yang seperti inilah yang bisa memecahkan persatuan nasionalisme bangsa kita. Apabila setiap suku atau daerah di Indonesia menganut paham primodialisme yang berlebihan bisa dibayangkan nasionalisme Indonesia akan kacau.
2.   Separatisme
Separatisme secara umum adalah suatu gerakan untuk memisahkan suatu wilayah ataukelompok manusia dari satu sama lain. Di Indonesia sendiri kita ketahui cukup banyak gerakan separatisme yang bermunculan dari jaman dahulu atau masa pascakemerdekaan sampai saat ini ada GAM, RMS, dll yang mecoba untuk memisahkandiri dari Negara kesatuan republik Indonesia . Darai beberapa gerakan separatism yang ada ada yang sudah bisa diselesaikan dan ada juga yang belum.
Dari pengalaman yang sudah ada ini bisa dilihat bahwa gerakan separatisme sudahada sebelumnya menyebabkan nasionalisme kita menjadi rusak, karena gerakantersebut mencoba untuk memisahkan diri dari ri.
H. Memperkuat Nasionalisme Indonesia
Kesadaran sebagai bangsa yang adalah hasil konstruksi atau bentukan mengandungkelemahan internal yang serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadisebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme kita akan ikut lenyap jika kita berhentimengkonstruksi atau membentuknya tanpa harus menyebutnya sebagai sebuahnasionalisme baru.
Pertama, beberapa pengalaman kolektif seharusnya menjadi “roh baru” pembangkitsemangat nasionalisme Indonesia. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di tingkat regional dan internasional, keberhasilanatlet menjadi juara dunia (tinju), prestasi pemimpin kita menjadi menteri ekonomi terbaik di Asia (Dr. Sri Mulyani Indrawati) dan seterusnya. Sebaliknya, pengalaman dicemoh dan direndahkan sebagai bangsa terkorup, sarang teroris atau bangsa pengekspor asap terbesar seharusnya memicu kita untuk berubah dan tampil sebagai bangsa terpandang.
Kedua, negara Indonesia sangat plural. Identifikasi sebuah kelompok etnis atau agama padaidentitas kolektif sebagai bangsa hanya mungkin terjadi kalau negara mengakui, menerima,menghormati, dan menjamin hak hidup mereka. Masyarakat akan merasa lebih aman danditerima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika negara gagal menjamin kebebasan beragama-termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan dihadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Nasionalisme merupakan rasa kebermilikan terhadap suatu Negara. Yang menuntut danya loyalitas yang tinggi terhadap Negara dann bangsa. Di Indonesia merebaknya semangat nasionalisme  mulai pada adab ke 20. Pada masa tersebut banyak lahir organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang, Indische Partij, dan emansipasi wanita.
Unsur identitas nasionalisme Indonesia, antara lain: suku bangsa, agama dan kepercayaan, kebudayaan dan bahasa. Derivasi Konsep Nasionalisme Indonesia, antara lain: Negara-bangsa, warga Negara, dasar Negara pancasila. Agar keutuhan Negara tetap terjaga kita harus terus memupuk semangat nasionalisme sesuai dengan perkembangan zaman. Dan factor-fektor yang memperlemah pun harus di antisipasi, antara lain: globalisasi. Provinsialisme, Kedaerahan, Primodialisme, Separatisme.
Pemicu keretakan sebuah Negara dapat diatasi dengan memperkuat nasionalisme Indonesia. dengan cara menyadarkan rakyat Indonesia akan pentingnya nasionalisme bagi keberlangsungan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyo Budi Utomo.1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari kebangkitan hingga kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

M C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo. 2005.Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.

Slamet Muljana. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan.Yogyakarta: LKIS.

Suhartono.2001.Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta:pustaka pelajar.




[1] Sartono Kartodirdjo, 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasioanl dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 58.
[2]The Grolier International Dictionary: 1992

[3] Suhartono, 2001, Sejarah Pergerakan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, hlm 7.
[4]Marxisme adalah ideologi politik dan ekonomi yang menekankan pentingnya perjuangan kelas dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada karya Karl Marx dan Friedrich Engels dari pertengahan abad ke-19, dan sering digambarkan sebagai bentuk Sosialisme.

[5] Adanya penjajahan bangsa eropa seperti Portugis, Belanda yang membawa rumusan Tiga G, dan salah satunya agama atau “Gosphel”.
[6]Rintisan lahirnya Sarekat Islam sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1909 oleh R.M. Tirtoadisuryo di Batavia (Jakarta). Ia telah mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Batavia dan Bogor.
[7]Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemuda-Pemudi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
[8] M C. Ricklefs, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 257.

[9] Slamet Muljana, 2008, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: LKIS, hlm. 6.

[10]Ibid.

[11] Suhartono,op.cit.,  hlm. 5.

[12]Pengertian secara definitif Divide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.
[13]Slamet Muljana, Op.cit., hlm. 7.
[14]Ibid., hlm. 6.
[15]Ibid., hlm. 7.
[16]Suhartono, loc.cit.

[17]Slamet Muljana, Op.cit., hlm 9.
[18] Sartono Kartodirdjo,  2005,  Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, hlm. 10.


 #makalah #islam#nusantara #indonesia #nasionalisme #lapangdada #kuat

makalah pkn persoalan ideologi islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebelum Negara Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan hegemoni. Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat dinamis. Setelah bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia pada abad ke – 20 dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa.Dan tidak dapat dipungkiri lagi, dalam seluruh dinamisasi perjuangan rakyat Indonesia, Islam memiliki peran yang dapat dikatakan sangat signifikan untuk kebangkitan Negara ini. bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah  :
1.      Bagaimana perjuangan serta kerangka berfikir kelompok Islam dalam menentukan landasan Negara dalam konstituante?
2.      Bagaimana konstruksi berfikir kaum nasionalis dalam pergulatan menentukan landasan Negara ?
3.      Bagaimana persoalan perbedaan ideologi antara Islam dan Nasionalis di Indonesia dalam konstituante ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ideologi Islam dan Perjuangannya dalam Konstituante
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu pada masa Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua kekuatan tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi, meskipun demikian Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan berpolitik kepada umat Islam Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok nasionalis mulai kelihatan semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita dari golongan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI
Alasan teoritis terutama dalam hubungan dengan hukum tata negara Indonesia, untuk menganggap perlunya pembahasan mengenai konsep negara adalah suatu konsep negara merupakan suatu pandangan tentang negara, hakikat dan susunannya, mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara, membantu memberi pengertian yang lebih tepat pada apa yang bisa dan apa yang bisa dan apa yang telah dirumuskan secara tertulis Karena, pandangan tentang hakikat negara itulah teristimewa tentang hubungan negara dengan warganya, yang digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan segalasesuatu yang imgin diatur (soal hak dan kewajiban misalnya ketika menyusun konstitusi sebuah negara. Kalau hukum adalah norma, termasuk hukum tata negara, maka menurut teori itu konsep negara adalah suatu pengertian yang dijadikan pola, dan dengan pola itu norma tersebut dan juga norma hukum selanjutnya akan disesuaikan.konsep negara menjadi landasan atau berfungsi sebagai norma dasar dalam sistem hukum suatu negeri. [1]
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya tentang “Pancasila”. Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak jelas, pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada konsepnya tentang demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat demokratis, berarti negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila keduannya disatukan demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.
Dalam membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan antagonistik yang cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin Islam. Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima usulan masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat. Selain itu secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan nasionalis sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari 8 Orang Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan priyayi jawa. 8 orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat dalam pembicaraan, sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Ini jelas bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang tidak berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal dasar negara.[2]
Natsir yang mewakili partai Masyumi mengajukan Islam menjadi dasar negara. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam.
Islam sebagai agama merupakan sebuah jalan keselamatan bagi manusia. Islam membawa nilai ke-tauhidan yang menentang penghambaan manusia kepada dzat selain Allah SWT, agar manusia mempunyai orientasi jelas dalam hidupnya yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Oleh karena itu ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.
Berdasarkan pandangan diatas, Natsir memiliki kesadaran dasar bahwa ajaran-ajaran Islam yang ditransformasikan dan diformulasikan dalam bentuk ideologi dapat dijadikan sebuah konsepsi dalam penerapan sistem  demokrasi. Ajaran Islam yang abadi dan universal melandasi sebuah sistem demokrasi, karena tidak ada sebuah perbedaan tujuan antara ajaran Islam dengan tujuan dari sistem demokrasi. Oleh karena itu Natsir menyimpulkan serta menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.
Dengan pengetahuan holistiknya tentang Islam, Natsir menampilkan sebuah gagasan pembaharuan dalam menempatkan hubungan Islam dengan demokrasi. Natsir berpendapat bahwa “ sejauh terkait dengan pilihan kaum muslimin, demokrasilah yang diutamakan karena Islam berkembang dalam sistem yang demokratis.”[3] Pendapat tersebut menandakan bahwa Natsir lebih mengedepankan sistem demokrasi dalam pencapaian tujuan ideologinya.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.[4]

Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan Islam. Kelompok Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga oleh empat orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis. Sedangkan seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah, yaitu Soekarno.
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan Piagam Jakarta. Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang tampaknya disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang Islam. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” , untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Kemudian selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas keanggotaan BPUPKI umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh golongan nasionalis sekuler. Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa menambah tujuh kata yang menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Dalam Piagam Jakarta, ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat itulah kata Ainar Martahan Sitompul  hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo[5] , bahwa perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam sebenarnya keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain karena konstituen politik Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi terwujudnya sebuah tradisi pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan aktivisme politik yang lebih rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar Noer, menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan kawan-kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu penurunan yang berarti. Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan atau kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi . Dengan demikian golongan Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau "terkalahkan". Kedua istilah tersebut diatas melemah dan terkalahkan mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik kelemahan atau kekalahan itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa atas dasar syariat.
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakarta membuat mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas berbasis nasib yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang melahirkan partai politik yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu. Pemikiran demikian berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Dan ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan konstituante pada hasil pemilu 1955.
Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang substansi.
Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tidak ada hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan. Mereka paling tidak untuk sementara, bersedia melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak diragukan lagi pada masa itu para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya. Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII (1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam, Nasionalis dan Komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis. Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah, serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas menunjukan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak dapat mendinginkan pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan golongan nasionalis, yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini menunjukan bahwa sampai dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah bersentuhan. Lalu, jenis Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dan Negara bangsa di Indonesia.
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti dianalisis oleh Bachtiar Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian terdiri dari orang-orang muslim yang taat, mereka tidak mendukung gagasan politik yang ingin menghubungkan Islam dengan negara secara formalistik dan legalistik.
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an, memang logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk berkompetisi secara aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan nasionalisme. Dasar utama landasan perjuangan Islam harus memahami secara formalistik dan legalistik, sebab Islam adalah agama sekaligus sistem politik. Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan sebagai agama yang bersifat substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya bersentuhan dengan nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk dan masih mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus dipikirkan dan di praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut memunculkan pemikiran baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan Negara yang secara sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas politik yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat Indonesia.
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam tingkat pemahaman telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika Islam berhadapan dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis, Islam perlu bersifat transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak sebagai pemersatu bangsa dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan utama penopang negara.

B.     Pancasila Sebagai Tatanan Ideologi Kaum Nasionalis
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideology Marxisme).
Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan revisi sila pertama. Pancasila versi Bung Karno adalah seperti ini :
1.      Kebangsaan
2.      Internasionalisme atau kemanusiaan
3.      Mufakat dan demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Bung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir. Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung Karno.
Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini :
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ke-Tuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Keadilan Sosial

Kemudian Yamin merevisinya menjadi :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Rasa Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila ke-Tuhanan berbeda dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar Negara melainkan pengakuan akan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda-beda. Belum lagi yang animis, polities apalagi ateis. Oleh karena itu di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya, dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.
Sementara itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan, kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis, setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima versi ini.
Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus sila Pertama :
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sinilah akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap, mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD Sementara) adalah bersifat sementara.
Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain. Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”. Golongan agama tentu tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk membuat sidang Konstituante panas.
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak diilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).[6]

C.    Pergulatan Antara Islam dan Nasionalis dalam Konstituante
Pergerakan-pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak awal abad ke-20 telah menunjukkan bipolarisasi: pergerakan nasionalis “sekuler” berdasarkan kebangsaan, dan pergerakan nasionalis “Islami” berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang Pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan.
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka pendeknya yang mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu atau lebih sering bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan kedudukan dan kekuasaan yang ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian halnya dengan iklim yang meliputi sidang-sidang parlemen konstituante, dalam parlemen ini, suasana panas lebih di sebabkan kesungguhan mempertahankan pendirian politik yang diyakininya, lebih-lebih sewaktu membicarakan masalah dasar Negara.
Kekuatan politik Islam dalam sidang-sidang parlemen seakan melupakan persaingan mereka dipentas politik praktis. Oleh karena itu , tanpa adanya usaha kompromi antara para pendukung dasar Pancasila dan para pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.
Pada sidang pertama BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945) dengan pembicaranya adalah Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, Drs. Moh. Hatta, dan Ir. Soekarno. Mereka semua berpidato guna membahas tentang rancangan usulan dasar negara. Menurut Soekarno dalam pidatonya, dasar bagi Indonesia merdeka adalah dasarnya suatu negara yang akan didirikan yang disebutnya philosophische gronsag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa dan pikiran yang sedalam-dalamnya yang di atasnya akan didirikan gedung Indonesia yang merdeka.
Bagi Natsir faham nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.
Namun Soekarno berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan.
Pada hari terakhir sidang tanggal 1 Juni, Sukarno sebagai anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar negara yang dinamainya Pancasila: (1) Kebangsaan; (2) Internasionalisme; (3) Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan. Sukarno menegaskan, dengan sila Demokrasi hukum-hukum Islam dapat diundangkan melalui badan perwakilan rakyat. Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai menajam.
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam sebagai landasan negara. Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada sidang paripurna konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh dengan mengumpulkan segala sila (dalam pancasila) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...." [7]
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan sengit antara pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan :
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.
Sebagai eklektisitas negara sekuler dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-tauhid-an dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.














BAB III
KESIMPULAN

Bangsa Indonesia memang penuh dengan dinamisasi. Mulai dari zaman penjajahan sampai zaman setelah kemerdekaan sekalipun. Dan hal itu juga terlihat dalam sidang penentuan landasan Negara kita, yakni haluan kemana Negara hendak dibawa. Majelis konstituante melakukan sidang meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya.
Masalah Dasar Negara menjadi masalah yang krusial dalam konstituante karena hal itu merupakan sumber dari akan dibentuknya Undang – Undang serta segala peraturan perundangan yang ada di negeri ini. Permasalahan terjadi karena adanya pertentangan sengit antara pihak Islam dan Kelompok Nasionalis.
 Dengan dasar bahwa ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Wakil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi.


DAFTAR PUSTAKA


Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.),

Endang. Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1997)

Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, (Jakarta: Republika Press) 2008

Natsir, Moh, D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955

Saidurrahman, Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan Antagonistik) dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000)

Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996),
.





[1] Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.), h.23-24
[2] Endang. Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1997).h.68  

[3] Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, (Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135.
[4] Natsir, Moh, D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955, hal 58.
[5] Saidurrahman, Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan Antagonistik) dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000),h.130  
[23] Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006.  
[7] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.74-76  








#makalah kewarganegaraan #indonesia #islam #ideologi #pemikiran