Our social:

Wednesday, 1 March 2017

apa itu filsafat?

Kata Pengantar
            Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT sebab hanya berkat rahmat-Nya, makalah dapat terselesaikan. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas falsafah kesatuan ilmu dengan materi objek kajian ilmu pengetahuan(ontologi). Pada dasarnya, filsafat adalah induk dari segala ilmu. Dari filsafat muncul dan berkembang berbagai bentuk cabang ilmu pengetahuan. Dari cabang-cabang filsafat inilah muncul ilmu pengetahuan khusus yang secara konseptik-rasional mencoba menyusun teori-teori ilmiah atas dasar empiris. Dengan kesederhanaan dan kerendahan hati penyusun berusaha merangkum dan memberikan gambaran tentang objek kajian ilmu pengetahuan (Ontologi). Penyusun mohon maaf kepada semua pihak yang karangannya kami kutip. Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih , terutama kepada Yth. Machrus, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah falasafah kesatuan ilmu yang memberikan tugas ini kepada penyusun.
 Dengan terselesaikannya makalah ini penyusun berharap mampu memenuhi target nilai yang maksimal dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Amin..

Semarang, September 2016

Penyusun








Pendahuluan
            Sebelum memulai suatu usaha untuk mempelajarinya, kebanyakan orang sudah dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah filsafat itu? Bukankah itu hal yang sulit untuk dipahami? Dan apakah ontology itu?
Filsafat dalam sejarah, mengalami perkembangan pemikiran. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi.
1.      Filsafat secara etimologi
Kata filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy dan berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia  terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan(wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love wisdom). Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM).
2.      Filsafat secara terminology
Secara terminology filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan hanya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan ‘sesuatu’ adalah ‘sesuatu’ itu adanya. Filsafat mempunyai tujuan untuk membicarakan keberadaan. Jadi filsafat membahas lapisan terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah yang paling mendasar.
Tujuan filsafat adalah mencari hakikat dari suatu objek atau gejala secara mendalam, sedangkan pada ilmu pengetahuan hanya membicarakan gejala-gejala.

Jadi, dalam filsafat itu harus reflektif, radikal, dan integral.  Reflektif berarti manusia menangkap objeknya secara intensional, dan sebagai hasil dari proses tersebut adalah keseluruhan nilai dan makna yang diungkapkan manusia dari objek yang dihadapinya. Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Filsafat harus mencari pengetahuan sedalam-dalamnya (sampai keakar-akarnya).
Filsafat juga bersifat integral yang berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh pegetahuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Jadi, filsafat memandang objeknya secara utuh.
            Metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta yang berarti selain, sesudah atau sebaliknya, dan fisika yang berarti alam nyata. Maksudnya, ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja[1]. Metafisika adalah kajian yang membahas tentang sesuatu yang berada di balik yang fisik atau kajian terhadap sesuatu yang eksistensinya berada sesudah yang fisik (nyata)[2]. Pada zaman pertengahan di mana Al Ghazali hidup, yang dijumpai hanyalah nama metafisika. Pada waktu itu ajaran mengenai yang ada dan pembicaraan secara kefilsafatan mengenai Tuhan sudah termuat di dalam ilmu pengetahuan yang dinamakan Metafisika.
Pada abad ke-17 dan 18 orang mulai mengadakan pemilahan terhadap berbagai bagian dari Metafisika. Yang paling berpengaruh ialah penelitian yang dilakukan oleh Christian Wolff, yaitu antara metaphysica generalis dan metaphysica specialis. Bagi Christian Wolff metaphysica generalis, menggunakan istilah Ontologia. metaphysica generalis membahas asas-asas atau prinsip-prinsip yang seumum-umumnya, sedangkan metaphysica specialis membahas penerapan asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang khusus. Christian Wolff menyebutkan ada tiga bidang, yaitu cosmologia, psichologia, theologia[3].Jika dibuat skema akan tampak seperti:
                              Metaphysica generalis (ontologia)
Metaphysica                                                           Cosmologia
                               Metaphysica specialis              Psichologia
                                                                              Theologia
Dari uraian diatas, tampak antara metafisika dan ontology pada mulanya istilah yang satu, yaitu metafisika. Kemudian abad ke-17 mulai antara metafisika dan ontology dipisahkan.
Ditinjau dari pengertian secara etimologi antara ontology dan metafisika berbeda. Ontology berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan  logia berarti ajaran atau ilmu pengetahuan. Jadi, ontology berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Adapun metafisika, berarti sesuatu yang ada sesudah fisika.
Prof.B. Delfgaauw membedakan antara ontology dan metafisika dari objeknya. Objek yang bisa ditangkap dengan panca indra termasuk masalah ontology, sedangkan objek yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra termasuk bidang metafisika. “alam semesta yang dibicarakan dalam filsafat alam merupakan sesuatu yang yang dapat ditangkap dengan panca indra, dan termasuk pula sesuatu permasalahan di bidang ontologia. Adapun jiwa manusia yang setidak-tidaknya dalam penjelmaannya dapat ditangkap dengan panca indra merupakan bagian ontologia juga, tetapi dalam keadaannya sebagai sesuatu yang tidak dapat diserap, termasuk bidang metafisika untuk membicarakannya”[4].













Pembahasan
Otology adalah satu diantara tiga lapangan penyelidikan kefilsafatan. Cabang ini sering disebut sebagai cabang paling tua (kuno) dan sekaligus paling utama dalam kajian kefilsafatan. Awal mula lahirnya filsafat itu bermula ketika para pemikir Brilyan Yunani mulai memikirkan hakekat sesuatu seperti yang tampak pada alam ini dilihat dari sisi hakekatnya. Tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta yang berarti “yang berada” dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Atau dapat juga dikatakan sebagai penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Secara ontologys, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan antara ilmu dengan agama. Agama berbeda dengan ilmu. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi menyebabkan perbedaan metode. Ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Metafisika umum sering diistilahkan dengan kata ontology. Pengistilahan metafisika yang sama dengan ontology dilatarbelakangi oleh terdapatnya kesamaan antara makna metafisika dengan makna ontology. Kesamaan itu terletak pada fokus pengkajian dimana baik ontology maupun metafisika sama-sama mengkaji tentang eksistensi atau hakekat sesuatu yang dilihat dari makna substantifnya. Contoh sederhana dari kajian ontologis yang terkesan diametral adalah tentang Tuhan. Apakah adanya Tuhan didahului oleh keberadaan Makhluk, sehingga secara filosofis makhluk yang menciptakan tuhan bukan tuhan yang menciptakan makhluk. Bagi kaum agama, persoalan ini tentu sudah tuntas karena wahyu telah menyebutkan bahwa tuhan ada dan keberadaannya tidak terkait dengan kehadiran makhluk. Kalangan ahli filsafat berkembang tiga aliran. Ketiga aliran itu adalah naturalisme, idealisme, dan matrealisme.
1.      Naturalisme
Naturalisme adalah suatu faham yang memandang bahwa apa yang dinamakan kenyataan adalah segala sesuatu yang bersifat kealaman. William R. Dennes beranggapan bahwa kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah “kejadian” yang terjadi dan terdapat pada alam. Secara historis, faham naturalisme lahir beriringan dengan lahirnya sejumlah filosof awal di Yunani. Tokoh penting yang terlibat dan mengembangkan faham ini adalah filosof yang landasan kajiannya menitik beratkan pada alam sebagai unsur kajian utama. Tokoh lainnya yaitu Thales, Anaximenes, Anaximandros, Phythagoras dan Heraclitus.
Bagi kaum naturalis selalu muncul tiga persoalan penting dalam pemikiran kefilsafatannya, yaitu: proses, kualitas, dan realisasi. Oleh karena itu kaum naturalis berpendirian bahwa: 1) Ketiga kategori dasar (proses, kualitas, dan realisasi) yang mereka gunakan menunjukkan segala hal yang bereksistensi dan terdapat dalam pengalaman; 2) Tidak ada satupun kejadian yang di dalamnya tidak secara bersama terdapat pada ketiga kategori tersebut, meskipun segi-segi tadi dapat dipilah berdasarkan satu pemilahan yang beralasan; dan 3) Mereka dapat menunjukkan kejadian-kejadian yang segi-seginya menggunakan istilah kategori yang disebut di atas. Karena alasan itu mereka mengembangakan tafsiran mengenai pengertian-pengertian, hipotesa-hipotesa, hukum-hukum, dan penilaian yang dikembangkan dalam ilmu alam, penyelidikan sejarah dan dalam tanggapan-tanggapan di bidang seni dan kesusastraan.

2.      Idealisme
Idealisme adalah suatu paham dalam aliran kefilsafatan yang berusaha memahami materi atau tatanan kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakikatnya yang terdalam. Ditinjau dari segi logika menurut G. Watt Cunningham yang dikutip Kattsoff (1986:224), manusia harus membayangkan adanya jiwa atau roh yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal tersebut. Singkatnya, idealisme adalah sebuah paham yang memandang bahwa realitas itu bukan pada yang tampak, tapi justru berada dibalik yang tampak. Sesuatu yang menjadi spirit, motivasi, dan nilai segala realitas ada dan bereksistensi dibalik yang tampak. Idealisme berasal dari kata “idea” yang memiliki makna sesuatu yang hadir dalam jiwa (roh). Alasan idealisme menganggap bahwa hakikat benda adalah rohani, atau spirit yakni:
a)      Nilai roh lebih tinggi dari benda, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia dan roh dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan saja.
b)      Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia diluar dirinya.
c)      Materi ialah kumpulan energy yang menempati ruang. Benda tidak ada yang ada hanya energy.[5]
Dalam perkembangannya aliran ini ditemui pada ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya tiap-tiap yang ada di alam semesta pasti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu.[6] Dalam menjelaskan hakikat ide tersebut Plato mengarang mitos penunggu gua yang dimuatnya di dalam dialog politea. Penjelasan mitos ini adalah bahwa gua merupakan dunia yang dapat ditangkap oleh indra. Kebanyakan orang dapat diumpamakan orang yang terbelenggu, mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Namun ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas indrawi adalah bayangan, orang tersebut kita sebut filosof.
3.      Materialisme
Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanya penjelmaan dari materi yang dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik materi adalah sesuatu yang keliatan, dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain adalah ungkapan proses kebendaan. Intinya, paham ini menolak sesuatu yang tidak kelihatan.
Secara historis, pelopor yang melahirkan paham ini, yaitu Leukippos dan Democritos (460-370 SM). Berpendapat bahwa realitas yang sesungguhnya bukan hanya satu melainkan terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur itu sendiri tidak terbagi, yang kemudian disebut sebagai atom. Selain kedua tokoh tersebut, ada pemikiran dari Thomas Hubbes (1588-1679). Berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pemikiran manusia.
Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) berpendapat bahwa alam material adalah realitas yang sesungguhnya, segala sesuatu yang tidak berwujud termasuk Tuhan, Malaikat, Syurga, dan Neraka yang semuanya berada di luar kategori historis manusia dianggap bukan realitas. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai pendiri ateis.
Karl Mark (1818-1883) telah menjadi “korban” lahirnya materialism ini. Ia adalah tokoh yang mematangkan teori materialism pada teori-teori social yang lebih fulgar. Ia menyatakan bahwa hanya ada satu realitas terakhir yang tunggal, yaitu materi, dengan hukum-hukum intrinsik yang selalu sama. Semua gejala seperti energy, hidup, hukum, moral, roh adalah bagian dari fase dalam dialektika perkembangan materi itu.
Alasan mengapa aliran materialism berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
a)      Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
b)      Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
c)      Dalam sejarahnya, manusia memang bergantung pada benda, seperti pada padi.











Kesimpulan
1.      Ontology merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Hakikat adalah kenyataan sebenarnya dari sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
2.      Aliran ontology terdiri dari:
a.       Naturalisme : paham yang menganggap apa yang ada bersifat     kealaman (nature).
b.      Idealisme : paham yang berusaha memahami materi atau tatanan kejadian ynag terdapat dalam ruang dan waktu hingga hakikatnya yang paling dalam.
c.       Materialisme : paham yang menganggap bahwa materi merupakan wujud segala eksistensi.














Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarsono. 1993. Ilmu FIlsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan. 2008. Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Hasbullah Bakry, 1971, hlm.45
[2] Sumarna Cecep, 2006, hlm.62
[3] B. Delfgaauw,1984,hlm32-33
[4] B.Delfgaauw, 1984, hlm.46
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosdakarya, 2002), hlm.30

[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet I, 1997), hlm 169

0 comments: