apa itu filsafat?
Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan
kehadirat Allah SWT sebab hanya berkat rahmat-Nya, makalah dapat terselesaikan.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas falsafah kesatuan ilmu dengan materi objek kajian ilmu
pengetahuan(ontologi).
Pada dasarnya, filsafat adalah induk dari segala ilmu. Dari filsafat muncul dan
berkembang berbagai bentuk cabang ilmu pengetahuan. Dari cabang-cabang filsafat
inilah muncul ilmu pengetahuan khusus yang secara konseptik-rasional mencoba
menyusun teori-teori ilmiah atas dasar empiris. Dengan kesederhanaan dan
kerendahan hati penyusun berusaha merangkum dan memberikan gambaran tentang objek
kajian ilmu pengetahuan (Ontologi). Penyusun mohon maaf kepada semua pihak yang
karangannya kami kutip. Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih , terutama
kepada Yth. Machrus, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah falasafah kesatuan
ilmu yang memberikan tugas ini kepada penyusun.
Dengan terselesaikannya makalah ini penyusun
berharap mampu memenuhi target nilai yang maksimal dan dapat bermanfaat bagi
yang membacanya. Amin..
Semarang,
September 2016
Penyusun
Pendahuluan
Sebelum memulai suatu usaha untuk
mempelajarinya, kebanyakan orang sudah dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan
seperti : Apakah filsafat itu? Bukankah itu hal yang sulit untuk dipahami? Dan
apakah ontology itu?
Filsafat dalam
sejarah, mengalami perkembangan pemikiran. Pengertian filsafat dapat ditinjau
dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi.
1.
Filsafat secara etimologi
Kata
filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy dan berasal dari bahasa
Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love)
dan Sophia yang berarti
kebijaksanaan(wisdom), sehingga
secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love wisdom). Dengan demikian, seorang
filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali
digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM).
2.
Filsafat secara terminology
Secara
terminology filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya.
Filsafat bukan hanya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang
dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.
Hakikat
adalah suatu prinsip yang menyatakan ‘sesuatu’ adalah ‘sesuatu’ itu adanya.
Filsafat mempunyai tujuan untuk membicarakan keberadaan. Jadi filsafat membahas
lapisan terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah yang paling
mendasar.
Tujuan
filsafat adalah mencari hakikat dari suatu objek atau gejala secara mendalam,
sedangkan pada ilmu pengetahuan hanya membicarakan gejala-gejala.
Jadi, dalam filsafat itu harus
reflektif, radikal, dan integral. Reflektif
berarti manusia menangkap objeknya secara intensional, dan sebagai hasil dari
proses tersebut adalah keseluruhan nilai dan makna yang diungkapkan manusia
dari objek yang dihadapinya. Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Filsafat harus mencari pengetahuan
sedalam-dalamnya (sampai keakar-akarnya).
Filsafat juga bersifat
integral yang berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh pegetahuan yang
utuh sebagai suatu keseluruhan. Jadi, filsafat memandang objeknya secara utuh.
Metafisika berasal dari bahasa
Yunani, meta yang berarti selain,
sesudah atau sebaliknya, dan fisika yang
berarti alam nyata. Maksudnya, ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu
dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca
indra saja[1]. Metafisika
adalah kajian yang membahas tentang sesuatu yang berada di balik yang fisik
atau kajian terhadap sesuatu yang eksistensinya berada sesudah yang fisik (nyata)[2]. Pada
zaman pertengahan di mana Al Ghazali hidup, yang dijumpai hanyalah nama
metafisika. Pada waktu itu ajaran mengenai yang ada dan pembicaraan secara
kefilsafatan mengenai Tuhan sudah termuat di dalam ilmu pengetahuan yang
dinamakan Metafisika.
Pada abad ke-17 dan 18
orang mulai mengadakan pemilahan terhadap berbagai bagian dari Metafisika. Yang
paling berpengaruh ialah penelitian yang dilakukan oleh Christian Wolff, yaitu
antara metaphysica generalis dan metaphysica specialis. Bagi Christian
Wolff metaphysica generalis, menggunakan
istilah Ontologia. metaphysica generalis
membahas asas-asas atau prinsip-prinsip yang seumum-umumnya, sedangkan metaphysica specialis membahas penerapan
asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang khusus.
Christian Wolff menyebutkan ada tiga bidang, yaitu cosmologia, psichologia,
theologia[3].Jika
dibuat skema akan tampak seperti:


Metaphysica
specialis Psichologia
Theologia
Dari uraian diatas,
tampak antara metafisika dan ontology pada mulanya istilah yang satu, yaitu
metafisika. Kemudian abad ke-17 mulai antara metafisika dan ontology dipisahkan.
Ditinjau dari
pengertian secara etimologi antara ontology dan metafisika berbeda. Ontology
berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran atau
ilmu pengetahuan. Jadi, ontology berarti ajaran mengenai yang ada atau segala
sesuatu yang ada. Adapun metafisika, berarti sesuatu yang ada sesudah fisika.
Prof.B. Delfgaauw
membedakan antara ontology dan metafisika dari objeknya. Objek yang bisa ditangkap
dengan panca indra termasuk masalah ontology, sedangkan objek yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indra termasuk bidang metafisika. “alam semesta yang
dibicarakan dalam filsafat alam merupakan sesuatu yang yang dapat ditangkap
dengan panca indra, dan termasuk pula sesuatu permasalahan di bidang ontologia.
Adapun jiwa manusia yang setidak-tidaknya dalam penjelmaannya dapat ditangkap
dengan panca indra merupakan bagian ontologia juga, tetapi dalam keadaannya
sebagai sesuatu yang tidak dapat diserap, termasuk bidang metafisika untuk
membicarakannya”[4].
Pembahasan
Otology adalah satu
diantara tiga lapangan penyelidikan kefilsafatan. Cabang ini sering disebut
sebagai cabang paling tua (kuno) dan sekaligus paling utama dalam kajian
kefilsafatan. Awal mula lahirnya filsafat itu bermula ketika para pemikir
Brilyan Yunani mulai memikirkan hakekat sesuatu seperti yang tampak pada alam
ini dilihat dari sisi hakekatnya. Tokoh yang membuat istilah ontology adalah
Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, yaitu
ta onta yang berarti “yang berada”
dan logi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran
tentang yang berada. Atau dapat juga dikatakan sebagai penjelasan tentang
keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar yang paling mendasar
tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Secara ontologys, ilmu
membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang
jangkauan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari karena inilah yang
memisahkan antara ilmu dengan agama. Agama berbeda dengan ilmu. Perbedaan
antara lingkup permasalahan yang dihadapi menyebabkan perbedaan metode. Ini
harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam
perspektif yang sesungguhnya. Metafisika umum sering diistilahkan dengan kata
ontology. Pengistilahan metafisika yang sama dengan ontology dilatarbelakangi
oleh terdapatnya kesamaan antara makna metafisika dengan makna ontology.
Kesamaan itu terletak pada fokus pengkajian dimana baik ontology maupun
metafisika sama-sama mengkaji tentang eksistensi atau hakekat sesuatu yang dilihat
dari makna substantifnya. Contoh sederhana dari kajian ontologis yang terkesan
diametral adalah tentang Tuhan. Apakah adanya Tuhan didahului oleh keberadaan
Makhluk, sehingga secara filosofis makhluk yang menciptakan tuhan bukan tuhan
yang menciptakan makhluk. Bagi kaum agama, persoalan ini tentu sudah tuntas
karena wahyu telah menyebutkan bahwa tuhan ada dan keberadaannya tidak terkait dengan
kehadiran makhluk. Kalangan ahli filsafat berkembang tiga aliran. Ketiga aliran
itu adalah naturalisme, idealisme, dan
matrealisme.
1.
Naturalisme
Naturalisme
adalah suatu faham yang memandang bahwa apa yang dinamakan kenyataan adalah
segala sesuatu yang bersifat kealaman. William R. Dennes beranggapan bahwa
kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah “kejadian”
yang terjadi dan terdapat pada alam. Secara historis, faham naturalisme lahir
beriringan dengan lahirnya sejumlah filosof awal di Yunani. Tokoh penting yang
terlibat dan mengembangkan faham ini adalah filosof yang landasan kajiannya menitik
beratkan pada alam sebagai unsur kajian utama. Tokoh lainnya yaitu Thales,
Anaximenes, Anaximandros, Phythagoras dan Heraclitus.
Bagi
kaum naturalis selalu muncul tiga persoalan penting dalam pemikiran
kefilsafatannya, yaitu: proses, kualitas, dan realisasi. Oleh karena itu kaum
naturalis berpendirian bahwa: 1) Ketiga kategori dasar (proses, kualitas, dan
realisasi) yang mereka gunakan menunjukkan segala hal yang bereksistensi dan
terdapat dalam pengalaman; 2) Tidak ada satupun kejadian yang di dalamnya tidak
secara bersama terdapat pada ketiga kategori tersebut, meskipun segi-segi tadi
dapat dipilah berdasarkan satu pemilahan yang beralasan; dan 3) Mereka dapat
menunjukkan kejadian-kejadian yang segi-seginya menggunakan istilah kategori
yang disebut di atas. Karena alasan itu mereka mengembangakan tafsiran mengenai
pengertian-pengertian, hipotesa-hipotesa, hukum-hukum, dan penilaian yang
dikembangkan dalam ilmu alam, penyelidikan sejarah dan dalam
tanggapan-tanggapan di bidang seni dan kesusastraan.
2.
Idealisme
Idealisme
adalah suatu paham dalam aliran kefilsafatan yang berusaha memahami materi atau
tatanan kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakikatnya
yang terdalam. Ditinjau dari segi logika menurut G. Watt Cunningham yang
dikutip Kattsoff (1986:224), manusia harus membayangkan adanya jiwa atau roh
yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal
tersebut. Singkatnya, idealisme adalah sebuah paham yang memandang bahwa
realitas itu bukan pada yang tampak, tapi justru berada dibalik yang tampak.
Sesuatu yang menjadi spirit, motivasi, dan nilai segala realitas ada dan
bereksistensi dibalik yang tampak. Idealisme berasal dari kata “idea” yang memiliki makna sesuatu yang
hadir dalam jiwa (roh). Alasan idealisme menganggap bahwa hakikat benda adalah
rohani, atau spirit yakni:
a)
Nilai roh lebih tinggi dari benda,
lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia dan roh dianggap
sebagai hakikat yang sebenarnya sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan
atau penjelmaan saja.
b)
Manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia diluar dirinya.
c)
Materi ialah kumpulan energy yang
menempati ruang. Benda tidak ada yang ada hanya energy.[5]
Dalam
perkembangannya aliran ini ditemui pada ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya tiap-tiap yang ada di alam semesta pasti ada idenya, yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu.[6]
Dalam menjelaskan hakikat ide tersebut Plato mengarang mitos penunggu gua yang
dimuatnya di dalam dialog politea.
Penjelasan mitos ini adalah bahwa gua merupakan dunia yang dapat ditangkap oleh
indra. Kebanyakan orang dapat diumpamakan orang yang terbelenggu, mereka
menerima pengalaman spontan begitu saja. Namun ada beberapa orang yang mulai memperkirakan
bahwa realitas indrawi adalah bayangan, orang tersebut kita sebut filosof.
3.
Materialisme
Materialisme
adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali
materi. Pikiran dan kesadaran hanya penjelmaan dari materi yang dapat
dikembalikan pada unsur-unsur fisik materi adalah sesuatu yang keliatan, dapat
diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian
seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain adalah
ungkapan proses kebendaan. Intinya, paham ini menolak sesuatu yang tidak
kelihatan.
Secara
historis, pelopor yang melahirkan paham ini, yaitu Leukippos dan Democritos
(460-370 SM). Berpendapat bahwa realitas yang sesungguhnya bukan hanya satu
melainkan terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur itu sendiri tidak terbagi,
yang kemudian disebut sebagai atom. Selain kedua tokoh tersebut, ada pemikiran
dari Thomas Hubbes (1588-1679). Berpendapat bahwa seluruh realitas adalah
materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pemikiran manusia.
Ludwig
Andreas Feuerbach (1804-1872) berpendapat bahwa alam material adalah realitas
yang sesungguhnya, segala sesuatu yang tidak berwujud termasuk Tuhan, Malaikat,
Syurga, dan Neraka yang semuanya berada di luar kategori historis manusia
dianggap bukan realitas. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai pendiri ateis.
Karl
Mark (1818-1883) telah menjadi “korban” lahirnya materialism ini. Ia adalah
tokoh yang mematangkan teori materialism pada teori-teori social yang lebih
fulgar. Ia menyatakan bahwa hanya ada satu realitas terakhir yang tunggal,
yaitu materi, dengan hukum-hukum intrinsik yang selalu sama. Semua gejala
seperti energy, hidup, hukum, moral, roh adalah bagian dari fase dalam
dialektika perkembangan materi itu.
Alasan
mengapa aliran materialism berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang
merupakan hakikat adalah:
a)
Pada pikiran yang masih
sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran
terakhir.
b)
Penemuan-penemuan menunjukkan
betapa bergantungnya jiwa pada badan.
c)
Dalam sejarahnya, manusia memang
bergantung pada benda, seperti pada padi.
Kesimpulan
1.
Ontology merupakan cabang teori
hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Hakikat adalah kenyataan
sebenarnya dari sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu,
juga bukan kenyataan yang berubah.
2.
Aliran ontology terdiri dari:
a.
Naturalisme : paham yang menganggap
apa yang ada bersifat kealaman (nature).
b.
Idealisme : paham yang berusaha
memahami materi atau tatanan kejadian ynag terdapat dalam ruang dan waktu
hingga hakikatnya yang paling dalam.
c.
Materialisme : paham yang
menganggap bahwa materi merupakan wujud segala eksistensi.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarsono. 1993. Ilmu FIlsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan.
2008. Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta:
Ar-Ruzzmedia.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Bumi Aksara.
0 comments:
Post a Comment