Our social:

Latest Post

Friday, 24 March 2017

Agama Itu Mudah
Disusun Guna Memenuhi
Mata Kuliah: Hadis Muamalah
Dosen Pengampu: Bpk. Dr Zuhad

Disusun oleh:
Harjo Sulaiman ( 124211048 )
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang
2014

I.       Latar Belakang

Kerap kali manusia mengulang-ulang perkataan ini yaitu ucapan (“Sesungguhnya agama itu mudah”), akan tetapi sebenarnya mereka (tidak menginginkan) dengan ucapan itu, untuk tujuan memuji Islam, atau melunakkan hati (orang yang belum mengerti Islam) dan semisalnya. Yang diinginkan mereka adalah pembenaran terhadap perbuatan mereka yang menyelisihi syari'at. Bagi mereka kalimat itu adalah kalimat haq, namun yang diinginkan dengannya adalah sebuah kebatilan.
Ketika salah seorang diantara kita ingin memperbaiki perbuatan yang menyalahi syari'at, orang-orang yang menyalahi (syari'at itu) berhujjah dengan perkataan mereka: “Islam adalah agama yang mudah”. Mereka berusaha mengambil keringanan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dengan sangkaan bahwa mereka telah menegakkan hujjah bagi orang yang menasehati mereka agar mengikuti syariat yang sesuai dengan Alquran dan   Sunnah.                                                                       
Orang-orang yang menyelisihi syariat itu hendaknya mengetahui bahwa Islam adalah agama yang mudah. (Akan tetapi maknanya adalah) dengan mengikuti keringanan-keringanan yang diberikan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya kepada kita. Beranjak dari penjelasan tadi di atas, pemakalah akan menerangkan makalah yang berjudul “Agama Itu Mudah”. Semoga makalah ini bermanfaat kita semua. Amin

II.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Hadist dan penjelasan tentang agama itu mudah?

III. Pembahasan

Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya telah memberi keringanan bagi kita, ketika kita membutuhkan keringanan itu dan ketika adanya kesulitan dalam mengikuti (melaksanakan perintah) yang sebenarnya.[1] Asal dari ungkapan “Sesungguhnya agama itu mudah” adalah penggalan kalimat dari hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ » [ رواه البخاري ]

Artinya: ”Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan, dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak melebihi dan tidak mengurangi), bergembiralah kalian, serta mohonlah pertolongan (didalam ketaatan kepada Allah) dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat”.(HR. Bukhari)[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan ungkapan “Sesungguhnya agama itu mudah” dalam kitabnya yang tiada bandingan nya: Fathul Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari1/116.  
Beliau berkata: “Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat), taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam (berkemauan kuat) untuk tidak mengulangi. Kalau kita melihat hadits ini secara teliti, dan melihat kalimat sesudah ungkapan “agama itu mudah”, kita dapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada kita bahwa seorang muslim berkewajiban untuk tidak berlebih-lebihan dalam perkara ibadahnya, sehingga (karena berlebih-lebihan) ia akan melampui batas dalam agama, dengan membuat perkara bid'ah yang tidak ada asalnya dalam agama.
Sebagaimana keadaan tiga orang yang ingin membuat perkara baru (dalam agama). Salah seorang di antara mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi perempuan”, yang lain berkata : “Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka”, yang ketiga berkata: “Saya akan shalat malam semalam suntuk”. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari hal itu semua, dan memberi pengarahan kepada mereka agar membaguskan amal mereka semampunya, dan hendaknya dalam mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, (beribadah) dengan ibadah yang telah diwajibkan Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada mereka. Dan hendaknya mereka tidak membuat-buat perkara yang tidak ada asalnya dalam agama ini, karena mereka sekali-kali tidak akan mampu (mengamalkannya), (sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam)” Maka sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan”.
Maka ungkapan “Agama itu mudah” maknanya adalah : “Bahwa agama yang Allah Shubhanahu wa ta’alla turunkan ini semuanya mudah dalam hukum-hukum, syariat-syariat nya”. Dan kalaulah perkara (agama) diserahkan kepada manusia untuk membuatnya, niscaya seorangpun tidak akan mampu beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Maka jika orang-orang yang menyelisihi syariat tidak mendapatkan "kekhususan" (tidak mendapat celah sebagai pembenaran atas perbuatan mereka) dengan hadits diatas, mereka akan lari kepada hadits-hadits lain, yang dengannya mereka berhujjah bagi perbuatan mereka yang menggampang-gampangkan dalam perkara agama.
Diantara hadits-hadits yang mereka jadikan alasan dalam masalah ini, adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ » [ رواه أحمد وابن حزيمة ]
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-keringanannya diambil sebagaimana -Dia membenci kemaksiatannya didatangi/dikerjakan” [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dan disahihkan olah Al Albany]

Dalam riwayat lain.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كَمَايُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ »
Artinya: Sebagaimana Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi”
Hadits lain adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا » [رواه البخاري ومسلم ]

Artinya: “Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]


Hadits yang lain.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِرُوا وَلَا تُنَفِّرُو » [ رواه مسلم وأبو داود]
Artinya: Mudahkanlah, janganlah mempersulit, dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membikin manusia lari (dari kebenaran”. [Hadits Riwayat Muslim dan Abu Dawud]

Adapun hadits yang pertama, wajib bagi kita untuk mengetahui bahwa keringanan-keringanan dalam agama Islam banyak sekali, diantaranya: berbukanya musafir ketika bepergian, orang yang tertinggal dalam shalat boleh mengqadha (mengganti), orang yang tertidur atau lupa boleh mengqadha shalat, orang yang tidak mendapatkan binatang sembelihan dalam haji tamattu boleh berpuasa, tayamum sebagai ganti wudhu ketika tidak ada air atau ketika tidak mampu untuk berwudhu ... dan lainnya diantara keringanan yang banyak tidak diamalkan kecuali jika terdapat kesulitan dalam melaksanakan perintah yang sebenarnya.
Dan perlu kita perhatikan, bahwa keringanan-keringanan ini adalah syari'at Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (dengan izin -Nya). Dan tidak diperbolehkan seorang muslim manapun, untuk mendatangkan (mengada-ada) keringanan (dalam masalah agama) tanpa dalil, karena hal ini adalah termasuk mengadakan perkara baru dalam agama yang tidak berdasar. Dan perhatikanlah wahai saudaraku sesama muslim (surat Al-Baqarah ayat 185), yang menceritakan tentang puasa dan keringanan berbuka bagi orang yang sakit atau bepergian, lalu firman Allah Shubhanahu wa ta’alla sesudah ayat itu.
قال الله تعالى: ﴿ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾ [البقرة : 185
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al baqarah/2 : 185]

Makna ini menerangkan makna mudah (menurut Allah Shubhanahu wa ta’alla), yang maknanya adalah keringanan itu datangnya dari sisi Allah Shubhanahu wa ta’alla saja, tiada sekutu bagi -Nya. Atau (keringanan itu) dari syariat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan wahyu dari Allah -Nya. Ayat ini juga menerangkan bahwa makna mudah itu dengan mengikuti hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla (yang tiada sekutu bagi -Nya) dan mengikuti syariat -Nya. Inilah yang berkenaan dengan hadits yang pertama tadi.
Adapun hadits yang kedua dan tiga, maka pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsu serta menyelisihi syariat (dengan kedua hadits itu) adalah batil, dan termasuk merubah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dari makna yang sebenarnya, dan keluar dari makna yang dimaksud.
Tafsir kedua hadits yang lalu berhubungan dengan para da'i yang menyeru kepada agama Islam. Dalam kedua hadits itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memantapkan kaidah penting dari kaidah-kaidah dasar dakwah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, yaitu berdakwah dengan lemah lembut dan tidak kasar. Maka dakwah para dai yang sepatutnya disampaikan pertama kali kepada orang-orang kafir adalah Syahadat, lalu Shalat, Puasa, Zakat. Kemudian (hendaknya) mereka menjelaskan kepada manusia tentang sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu menerangkan amal perbuatan yang wajib, yang sunnah dan yang makruh. Jika melihat suatu kesalahan yang disebabkan karena kebodohan atau lupa, maka hendaklah bersabar dan mendakwahi manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan serta tidak kasar. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman.

قال الله تعالى: ﴿ فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ ١٥٩ ﴾ [ال عمران : 159
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah -lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” [Ali Imran/3 : 159]

Sesudah memahami hadits-hadits itu, dan penjelasan makna keringanan dan kemudahan. Maka saya berkata kepada orang-orang yang merubah dan mengganti makna-makna hadits-hadits tersebut (karena ingin mengenyangkan hawa nafsu mereka dengan perbuatan itu) :  “Bertaqwalah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan ikutilah apa yang diperintahkan kepada kalian, dan jauhilah larangan  -Nya, dan tahanlah (diri kalian) dari merubah sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan takutilah suatu hari yang kalian dikembalikan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla lalu setiap jiwa akan disempurnakan dengan apa yang ia usahakan. Dan takutlah kalian jangan sampai diharamkan dari mendatangi telaga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam lantaran kalian mengganti agama Allah Shubhanahu wa ta’alla dan merubah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ”. Saya mengharapkan dari Allah Shubhanahu wa ta’alla yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri agar memberi petunjuk kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya untuk mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah Nabi -Nya, dan agar Allah Shubhanahu wa ta’alla mengajarkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, dan memberi manfaat dari apa yang -Dia ajarkan, serta memelihara kita dari kejahatan perbuatan bid'ah dan penyelewengan, serta kejahatan mengubah dan mengganti (syariat Allah).[3]

IV. Kesimpulan

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan ungkapan, beliau berkata: “Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat), taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam (berkemauan kuat) untuk tidak mengulangi

V.    Penutup
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh kesempurnaan, karena barangkali ada materi yang belum tersampaikan atau sistematikanya yang kurang tepat. Kritik dan saran semoga bemunculan untuk  makalah yang lebih baik di masa yang mendatang. Sedikit harapan kami, semoga apa yang kami sajikan dapat menjadikan kemanfaatan untuk kita semua. Amin  









.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy Zainuddin, Terjemah Hadis Shahih Buchari: Jakarta, Wijaya. Hal 35 
http://www.islamhouse.com/448327/id/id/articles/Sesungguhnya_Agama_Itu_Mudah



[1] http://www.islamhouse.com/448327/id/id/articles/Sesungguhnya_Agama_Itu_Mudah
[2] H. Zainuddin Hamidy, Terjemah Hadis Shahih Buchari: Jakarta, Wijaya. Hal 35 
[3] http://www.islamhouse.com/448327/id/id/articles/Sesungguhnya_Agama_Itu_Mudah

Wednesday, 15 March 2017

rancangan mp kualitatif mitongdino



tips download hilangkan centang(^) pada kata fast download

A.    Latar Beakang
Mitung ndino merupakan salah satu budaya masyarakat jawa (dalam hal ini masyarakat didusun Cogeh Tlogorejo kec. Karangawen kab. Demak), yakni upacara guna melepas arwah anggota keluarga yang meninggal. Upacara tersebut biasa dilakukan malam hari setelah shalat maghrib atau isa dan di isi dengan bacaan-bacaan dzikir dan tahlil, dan terkadang ada juga bacaan surat Al-Ikhlas 100.000 kali yang dicicil sejak malam pertama kematian sampai malam ke tujuh, dan masyarakat disana menyebutnya dengan Ataqohan.
Menurut mbah Wahid (salah satu tokoh masyarakat disana) tradisi mitung ndino itu selain bertujuan untuk mendoakan almarhum yang meninggal dunia juga untuk menghibur keluarga yang di tinggakan. Dengan berkumpulnya para tetangga selama tujuh malam diharapkan keluarga yang ditinggalkan dapat sedikit melupakann kesedihanya.
Banyak terdapat perbedaan tentang asal usul atau sejarah tradisi mitung ndino yang menyebar dimasyarakat. Banyak diantara mereka berpendapat bahwa tradisi mitung ndino itu merupakan budaya masyarakat Hindu Buda Jawa pada masa lalu yang telah dimasuki unsur Islami oleh Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam ditanah Jawa. Dan ada pula yang berpendapat bahwa tradisi mitung ndino ini adalah tradisi yang dibawa oleh Walisongo dari daerah asal mereka yakni negeri Campa.
Hal ini sesuai dengan perbedaan teori yang ada ditengah para ilmuan yang meneliti tentang asal-usul tradisi ditanah Jawa. Peneliti-peneliti (Barat) memiliki pandangan yang saling berbeda mengenai ritus ini. Mereka semua setuju bahwa ritus ini sangat penting bagi masyarakat Islam di Jawa dan bahwa semua slametan termasuk mitung ndino ini terdiri dari (antara ain) ujub, donga, dan makanan yang telah diberkati. Akan tetapi, para peneliti tidak memiliki pandangan yang sama berhubungan dengan relasi ritus ini dengan agama Islam.
Dalam pengertian Geertz, misanya, slametan merupakan ritus yang berdasarkan agama Hindu dan Buda (atau malah Animisme), sedangkan Mark Woodward memahami ritus yang sama sebagai ritus Islam (walaupun lokal), atau lebih tepatnya sebagai ritus Sufisme. Andrew Beatty, dilain pihak, mengatakan bahwa ritus ini dapat mengandung makna-makna dan simbolisme yang berbeda-beda untuk para peserta.[1]
            Untuk waktu yang cukup lama, pengertian Geertz dianggap sesuai dengan kenyataan. Jadi, slametan ini dipahami sebagai ritus yang tidak memiliki hubungan  apapun di dalam agama Islam. Pengkritik paling tajam dalam aspek ini adalah Woodward yang menunjukan bahwa ritus ini adalah Islam lokal yang memiliki kesamaan dengan beberapa ritus di ngara Islam lainya, ia menunjukan bahwa nabi Muhammad sendiri pernah menyebarkan makanan yang diberkati bahwa pengertian sedekah merupakan bagian penting dalam ritus slametan, dan bahwa ujubnya orang Jawa sangat mirip dengan niat dalam pengertian klasik Islam. Lebih lagi, ia mengusulkan bahwa sikap rendah hati yang ditunjukan penyelenggara ritus ini harus dipahami dalam ritus Islam, dan bahwa do’anya (donga) merupakan kegiatan Islam biasa. Oleh karena ini semua, Woodward dapat menyimpulkan bahwa yang terjadi di Jawa  bukan percekcokan antara orang Islam dengan oranng non Islam tapi lebih tepatnya diantara orang-orang islam yang memiliki pengertian tentang agamannya yang saling berbeda.
                        Seperti yang sudah dikatakan diatas, Baatty juga mengkritik pemahaman Greetz walaupun ia mengambil jalan lain ia menggusulkan bahwa ritus slametan dapat dimengerti secara berbeda-beda oleh para peserta. Sebagian umat dapat memahaminya dalam system Islam, dan yang lainya lagi dapat memahaminya dalam system yang lebih berbau Jawa (asli) dengan pengaruh-pengaruh dari India. Dengan demikian ritus slametan tidak dapat dikatakan dimiliki satu golongan tertentu di Jawa.[2]
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas mengeucut pada satu rumusan masalah yaitu:
a.       Bagaimana sejarah dan asal-usul mitung ndino yang merupakan salah stu ritus slametan masyarakat Jawa?

C.     TujuanDan Manfaat Penelitian:
Penelitian yang dilakuan peneliti tentang asal-usul dan sejarah tradisi mitung ndino ini memiliki tujuan  sebagai berikut:
a.       Memberikan pemahaman masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat selain Jawa pada umumnya tentang asal-usul dan sejarah tradisi mitung ndino untuk pelepasan arwah keluarga yang menigggal ditanah Jawa.
Penelitian yang dilakukan peniliti memliki  manfaat sebagai berikut:
a.       Manfaat akademik
Secara akademik penelitian ini berorientasi pada akan adanya teori atau acuan baru yang kuat dalam bidang keilmuan yang menyangkut tentang sejarah dan asal-usul peradaban islam ditanah Jawa.
b.      Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menambah serta mmengembangkan khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan islam dan budaya jawa.
c.       Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat menghilangkan kesimpangsiuran dari sejarah dan asal-usul tradisi mitong ndino yang terjadi di masyarkat Jawa, serta bentuk slametan-slametan lain yang lebih luas. Yang pada akhirnya akan lebih mempertajam nilai religiusitas serta kearifan lokal dari upacara slametan-slametan tersebut.

D.    Tinjaauan Pustaka

Penulis mengambil judul MITUNG NDINO (TELAAH SEJARAH DAN ASAL USUL TRADISI MITUNG NDINO DS COGEH TLOGOREJO KEC. KARANGAWEN KAB. DEMAK), karena terinspirasi dari buku-buku yang pernah penulis baca yang berkaitan dengan sejarah dan asal usul budaya dan tradisi di Jawa yang tidak dipaparkan teori mana yang paling kuat yang dapat dipastikan kebenaranya. Diantara buku-buku tersebut antara lain adalah :
1.      RAMADHAN DI JAWA PANDANGAN DARI LUAR karya Andre Moler tahun 2005. Buku ini membahas tentang Ramadhan dalam pandangan Al-Quran dan Al-Sunnah dengan pandangan masyarakat Jawa beserta tradisi-tradisinya.
2.      ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto yang membahas tentang sejarah Islam di Jawa secara runtut serta perkembangan Islam di Jawa sejak pertama masuknya Islam hingga sekarang yang di sertai dengan bukti-bukti berupa naskah-naskah Jawa kuno.

E.     Metode Penelitian

Untuk membuat penelitian ini sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka penetian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
a.       Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Cogeh Tlogorejo kec. Karangawen kab. Demak yang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang masih secara rutin menjalankan tradisi upacara mitung ndino.
b.      Jenis Penelitian
Secara metodologis penelitiann ini merupakan jenis penelitian deskriptif yaitu menggambarkan secara detail bentuk gejala yang terjadi dilapangan yang akan dibenturkan dengan teori-teori yang berkembang dikalangann para penelliti dan akademisi.
c.       Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian serta objek yang diteliti, penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif, yakni penelitian yang bertujuann untuk memahami objek penelitian secara sistematik. Seperti perilaku, tindakan, tujuan, serta gejala yang tengah terjadi.
d.      Sumber Data



Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1.      Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini merupakan hasil dari wawancara tentang tradisi mitung ndino yang dilakukan oleh masyarakat desa Tlogorejo kecamatan karangawen kabupaten Demak untuk melepas dan mendoakan arwah keluarga yang meninggal dunia. Informan yang menjadi sasaran untuk memperoleh data primer ini adalah pemuka agama serta tokoh masyarakat didesa Tlogorejo untuk lebih memperoleh data yang akurat tentang tradisi mitung ndino yang dilakukan oleh masyarakat.
2.      Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dokmentasi (foto, .rekaman hasil wawancara dll) serta didukung oleh data pustaka berupa buku-buku penelitian terbaru tentang sejarah masyarakat Jawa dan perkembagann Islam di Jawa seperti ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto. Yang didukung oleh bukti-bukti  yang berupa naskah-naskah Jawa kuno.
e.       Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang paling diutamakan dalam penelitian kualitatif ini selain wawancara yang mendalam tentang tradisi mitung ndino adalah Telaah data pustaka tentangg penelitian sejarah Jawa yang didukung oleh naskah-naskah Jawa kuno. Meskipun begitu wawancara yang mendalam tetaplah menjadi tehnik pengumpulan data yang paling diutamakan disini karena penelitian kualitatif ini bersentuhan langsung dengan gejala yang terjadi dimasyarakat sebagai objek yang diteliti, sehingga hasil wawancara tersebut menjadi data yang paling akurat untuk digunakan dalam penelitian ini.
Selain dari hasil wawancara yang mendalam pengumpulan data ini juga dilakukan dengan cara mencatat hasil observasi serta dokumentasi yang berupa foto atau rekaman audio yang akan menjadi bukti untuk data yang akan dipaparkan dalam hasil penelitian ini baik secara terlampir atau tidak.
f.       Metode Analisis Data
1.      Reduksi Data
Reduksi data akan dilakukan selama penelitian berlangsung. Untuk dapat menganalisis data dengan tepat, reduksi data merupakan hal yang sangat penting yang akan peneliti lakukan secara intens dan cermat. Adapun tahapan-tahapan reduksi data pada penelitian ini diantaranya adalah langkah-langkah editing, pengelompokan dan meringkas data. Selanjutnya peneliti menyusun catatan-catatan mengenai berbagai macam hal termasuk yang berkaitan dengan aktifitas dan proses-proses sehingga peneliti dapat mengelompokan tema-tema atau gagasan-gagasan dari data yang telah terkumpul itu.
2.      Penyajian Data
Penyajian data dalam sebuah penelitian dengan bentuk deskriptif ini akan dilakukan secara sistematis dan rinci dengan cara menjalin kelompok data satu dengan kelompok data yang lain sehingga data-data tersebut dapat menjadi kumpulan data yang terkait satu sama lain secara utuh dan berkesinambungan sehingga akan memudahkan pembaca dalam menelaah dan memahaminya.
3.      Penarikan kesimpulan
Dalam penarikan kesimpulan ini akan dicari komponen-komponen data seperti dasar data, data penjelas, data yang sama dan data yang saling bertolak belakang. Penarikan kesimpulan yang meskipun terkadang dapat dilakukan diawal dalam penelitian ini kesimpulan final akan dilakukan setelah melalui proses reduksi data dan penyajian data agar penarikan kesimpulaan tidak terkesan subjektif.

F.     Sistematika Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat lima bab yang mana satu sama lain dari bab-bab tersebut saling berkaitan secara sistematik.
Bab Pertama  adalah pendahuluan, memuat dasar pemikiran. Bab ini terdiri dari; latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan serta metode penelitian yang dilakukan.
Bab Kedua, peneliti akan membahas tentang masyarakat desa cogeh tlogorejo kec. Karangawen kab. Demak dengan tradisi mitung ndinonya
Pada Bab Ketiga peneliti akan mengkaji tentang pemaknaan dari upacara mitung ndino untuk mendoakan arwah keuarga yang meninggal dunia yang dilakukan didesa tersebut.
Pada Bab Keempat, sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, peneliti akan membahas tentang asal-usul dan sejarah tradisi mitung ndino dengan membenturkanya dengan hasil observasi, wawancara serta teori-teori yang berkembang dikalangan para peneliti dan akademisi.
Bab Kelima merupakan bagian penutup dari penelitian ini. Bab Kelima berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan hasil penilaian peneliti yang menjadi jawaban atas pokok permasalahan yang diajukan.

G.    DAFTAR PUSTAKA
Moller Andre, 2005, Ramadhan Di Jawa Pandangan Dari Luar, N


[1] Andre Moller, Ramadhan Di Jawa Pandangan Dari Luar, (Nalar, Jakarta, 2005), Hal, 195
[2] Ibid, Hal, 196