Our social:

Thursday, 30 June 2016

Biografi Al Farabi dan Filsafat Al Farabi

A.    Pendahuluan
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Al Farabi?
2.      Bagaimana Pemikiran Filsafat Al Farabi Tentang :
a.       Emanasi
b.      Politik

C.    Pembahasan
1.      Biografi Al Farabi
Al-Fārābi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.[1]
Sekitar tahun  922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad  untuk lebih mendalami  filsafat. Di sini ia belajar logika dan  filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
 Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.[2]
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.

2.      Pemikiran Filsafat
a.      Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi  adalah  teori emanasi yang didapatnya dari teori Plotinus[3] apabila terdapat satu  zat yang  kedua sesudah zat yang pertama,  maka zat yang  kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang  bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.[4]
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta (Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo).  Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).

b.      Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan  hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
a.       Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[20] Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).[5]
b.       Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

D.    Simpulan
Salah satu filsafat al-Farabi  adalah  teori emanasi yang didapatnya dari teori Plotinus[6] apabila terdapat satu  zat yang  kedua sesudah zat yang pertama,  maka zat yang  kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang  bertolak keluar.
Kemudian disusul filsafat kedua oleh al farabi yaitu filsafat politik. Di dalam makalah filsafat politik atau  kenegaraan filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Lalu al farabi pun mendefinisikan sebuah masyarakata terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya
2.      Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Hasan,  Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976
Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah. Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya, 1990
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993),



[1] Bakar, Hasan,  Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976, Halm. 57
[2] Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah. Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya, 1990, Halm. 133
[3]. Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalam beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, bahkan karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya juga merupakan jendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras dan Aristoteles yang hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya.
[4].  A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 160
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51

 #makalah #islam#filsafat#farabbi#biografi #pi2n_art#sufiurban

0 comments: