Biografi Al Farabi dan Filsafat Al Farabi
A.
Pendahuluan
Peradaban Islam
muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam.
Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran
yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat
Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam
adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi
dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional
umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam
Islam.
Al-Farabi
adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,
kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi.
Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang
sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida
studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia
terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya
Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi
pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang
memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Al Farabi?
2.
Bagaimana Pemikiran Filsafat Al Farabi Tentang :
a.
Emanasi
b.
Politik
C.
Pembahasan
1.
Biografi Al Farabi
Al-Fārābi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn
Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab,
propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat
tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai
sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan
Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang
mempunyai kemudahan fasilitas.
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota
yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari
tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu
hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang
digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil
menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia
pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius
dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat
menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan
tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru
yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah
dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh
(prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan
mempelajari ilmu tersebut.[1]
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi
pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan
terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang
sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama
8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi
mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan
diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang
menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh
istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat,
seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
Selanjutnya, ketika situasi politik
di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat
itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir
karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di
mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir,
al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi
undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam
lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan
penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M),
Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M),
al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa,
penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh
pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.[2]
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada
usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil
(al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin
upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal
dari “lingkaran Saif al-Daulah”.
2. Pemikiran Filsafat
a. Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi
adalah teori emanasi yang didapatnya
dari teori Plotinus[3]
apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang
pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang
berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini
ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form
(surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.[4]
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan
bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu,
tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak
berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam
materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi
dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi
karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak
(alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti
materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam,
melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles.
Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta
(Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex
nihilo). Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk
mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis
Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak
Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang
sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali,
materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang
menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah)
Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan
kepada La syai’ (nihil).
b. Filsafat
Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat
karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus
ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama
halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang
baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran
itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih
mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai
kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak
mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan
pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan
hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja
materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di
akhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di
masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat,
yakni:
a.
Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan
di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu
mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia
unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[20]
Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian,
pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk
bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan
bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas
suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara
nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para
penghuni satu kota (negara kota).[5]
b.
Masyarakat Tidak/belum
Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang
kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat
desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan
masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
D.
Simpulan
Salah satu
filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang didapatnya dari teori
Plotinus[6]
apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang
kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang
Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari,
sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk
terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar.
Kemudian
disusul filsafat kedua oleh al farabi yaitu filsafat politik. Di dalam makalah
filsafat politik atau kenegaraan filsafat
al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’,
al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Lalu al farabi pun
mendefinisikan sebuah masyarakata terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan
di antara unsur-unsurnya
2.
Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang
kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat
desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Hasan,
Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar
al-Hurriyyah, 1976
Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah.
Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya, 1990
Mustofa,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V,
(Jakarta: UI Perss, 1993),
[1] Bakar, Hasan, Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah,
Cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976, Halm. 57
[3]. Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalam
beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya
memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat
berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, bahkan karya Aristoteles,
karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya
juga merupakan jendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras dan
Aristoteles yang hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya.
[4]. A. Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 160
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan
pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51
#makalah #islam#filsafat#farabbi#biografi #pi2n_art#sufiurban
0 comments:
Post a Comment