Our social:

Latest Post

Thursday, 30 June 2016

bedah buku “SUFI DARI ZAMAN KE ZAMAN”

REVIEW BUKU
“SUFI DARI ZAMAN KE ZAMAN”

Ketentuan umum
Judul Buku                  : Sufi Dari Zaman Ke Zaman
Pengarang/Penulis       : Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani
Penerbit                       : Pustaka
Kota Penerbitan          : Yogyakarta
Tahun Terbit                : 2003
Jumlah Halaman          : 293
Indeks                         : Ada
Biodata Penulis           : Ada
Kata Pengantar           : Ada










Isi Buku Secara Umum
Buku ini menguraikan sejarah kemunculan para sufi pada abad awal-awal berkembangnya Islam. Selain itu juga mengulas sejarah para sufi yang mendirikan tarekat-tarekat tasawuf besar di berbagai penjuru dunia. Adapun objek pembahasan yang lebih detail sebagai berikut.
Pengertian dan Sumber Tasawuf dalam Islam
            Menurut Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Sementara al-Kattani berkata: “Tasawuf adalah moral. Barang siapa yang diantaramu semakin bermoral, tentu, jiwanya pun semakin bening.”
            Apabila al-Qur’an kita kaji secara mendalam, maka di dalamnya pun kita dapatkan berbagai bentuk hukum syar’i, yang secara global dapat kita bagi menjadi tiga bagian utama; bagian yang berkaitan dengan ‘aqidah (keimanan kepada Allah), bagian yang berkaitan dengan masalah-masalah cabang furu’ (ibadah dan mu’amalah), dan bagian yang berkaitan dengan akhlaq (moral).

Sumber Tasawuf
Menurut R. A. Nicholson dalam karyanya, The Mystics of Islam:
a.       Berasal dari Persia.
b.      Berasal dari sumber Kristen.
c.       Ditimba dari sumber India.
d.      Berasal dari sumber Yunani.

Tasawuf pada awal pembentukan disiplinnya adalah moral keagamaan. Jelas sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari al-Qur’an dan as-Sunnah itulah para sufi mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku. Juga latihan-latihan rohaniah mereka, yang mereka susun demi terealisasinya tujuan-tujuankehidupan mistis.





Gerakan Zuhd (Asketisisme) Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah     
Zuhd (Asketisisme) adalah fase yang mendahhului tasawuf. Dalam Islam asketisisme adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Faktor-faktor yang membuat asketisisme berkembang dalam Islam menurut beberapa ahli:
A.    R. A. Nicholson, menganggap asketisisme dalam Isla berkembang secara Islam, sekalipun memang agak terkena dampak Nasrani.
B.     Ignaz Goldziher, berpendapat bahwa tasawuf mempunyai dua aliran, yaitu:
1.      Asketisisme yang mendekati semangat Islam serta Ahlus Sunnah, sekalipun terkena dampak asketisisme Masehi.
2.      Tasawuf yang terkena dampak Neo Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindhu.
C.     Abu al-‘Ala ‘Afifi, ada empat faktor yang mengembanngkan asketisisme dalam Islam, yaitu:
1.      Ajaran Islam itu sendiri.
2.      Revolusi rohaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosio-politik.
3.      Dampak asketisisme Masehi.
4.      Penentangan terhadap fiqh dan kalam.

Aliran-aliran Asketisisme
A.    Aliran Madinah.
Sejak masa Madinah, telah muncul para asketis. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah saw sebagai panutan kezuhudannya. Tokoh mereka diantaranya, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah (18 H), Abu Dzar al-Ghiffari (22 H), Salman al-Farisi (32 H), Sa’id ibn al-Musayyad (91 H), dan Salim ibn ‘Abdullah (106 H).




B.     Aliran Bashrah.
Menurut Massignon, orang-orang Arab yanng tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis, dan tidak percaya pada hal yang riil. Mereka terkenal menyukai hal logis dalam nahwu, hal nyata dalam puisi, dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut alliran Ahlus Sunnah, tapi cenderung pada alliran-aliran Mu’tazillah dan Qodariyyah. Tokoh mereka diantaranya, al-Hasan al-Bashri (110 H), Malik ibn Dinar (131 H), Fadhl al-Raqqasyi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qisyi (195 H), Shallih al-Murri atau ‘Abdul-Wahid ibn Zaid (177 H).
C.     Aliran Kufah.
Menurut Massignon, aliran ini berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal aneh dalam nahwu, hal imagi dalam puisi, dan harfiah dalam hadits. Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Raja’iyyah. Tokoh mereka diantaranya, ar-Rabi’ ibn Khatsim (67 H), Sa’id ibn Jubair (95 H), Thawus ibn Kisan (106 H), Sufyan al-Tsauri (161 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H), dan Abduk (210 H).
D.    Aliran Mesir
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran asketisisme lain, yang dilupakan para orientalis.aliran yang berrcorak shalafi ini adalah aliran Mesir. Sejak penaklukan Islam terhadap Mesir sejumlah sahabat telah memasuki kawasan itu.  Tokoh mereka diantaranya, Salim ibn ‘Atar al-Tajibi (75 H), ‘Abdurrahman ibn Hujairah (83 H), Nafi’ (117 H), al-Laits ibn Sa’ad (175 H), Hayah ibn Syuraih (158 H), dan Abu ‘Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim al-Mishri (197 H).

Karakteristik Asketisisme Islam Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyiah
1.      Asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memellihara diri dari azab neraka. Ide ini berakar dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2.      Asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya.

3.      Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Kemudian Rabi’ah al-Adawiyyah muncul dengan motivasi cinta kepada Allah yang bebas terhadap rasa takut terhadap azabNya maupun rasa harap terhadap pahalaNya.

4.      Asketisisme sebagian asketis yang terakhir, hal ini ditandai dengan kedalaman membuat analisa.


Tasawuf Pada Abad Ketiga sampai Kelima Hijriyah
Aliran Tasawuf
Menurut telaah para pengkaji tasawuf abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf pada masa itu adalah sebagi jalan mengenal Allah (ma’rifat) setelah tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Ketika itu terdapat dua aliran tasawuf. Pertama, aliran para sufi yang pendapatnya moderat (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana, yang tasawufnya berkecerendungan pada metafisis. Karakteristik tasawuf pad abad ini:

A.    Ma’rifat.
B.     Moral dan Jalan Menuju Allah.
C.     Fana.
D.    Ketentraman.
E.     Pemakaian Simbol-simbol dalam Ungkapan.

Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun tokoh pada zaman ini sebagai berikut:
1.      Al-Qusyairi.
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazin, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishapur. Di sini dia bertemu gurunya Abu ‘Ali al-Daqqaq, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan mode pakaian mereka.

2.      Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu Isma’il ‘Abdullah ibn Muhammad al-Anshari, lahir tahun 396 H di Herat, kawasan Khurasan. Ia merupakan seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan.
3.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, lahir tahun 450 H di Thus, kawasan Khurasan. Ia adalah seorang pemikir yanng produktif dalam berkarya serta berwawasan luas, karena Ia belajar pada banyak guru dan mendalami banyak cabang ilmu dan juga filsafat. Setelah mengkaji tasawuf Ia pun sepenuhnya mengarahkan dirinya menempuh jalan para sufi.

Tasawuf Filosofis dan Nama Tarikat
Tasawuf filosofis adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf ini mulai muncul dengan jelas dalam khasanah Islam sejak abad keenam Hijriyah. Ibnu Khaldun menyimpulkan ada empat obyek perhatian para sufi filosof, yaitu:
1.      Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya.
2.      Ilminasi ataupun hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
3.      Peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan dan keluarbiasaan.
4.      Pencptaan ungakapan yang pengertiannya sepintas samar-samar.

Tarikat yang Paling Menonjol
Nama tarikat di dunia Islam begitu bermacam, berselaras denngan perbedaan nama-nama pendirinya. Dalam kenyataannya tarikat-tarikat tersebut mengarah pada tujuan yanng sama, sementara perbedaannya, baik masa lalu ataupun masa sekarang hanyalah dalam aturan-aturan praktisnya semata.
Berikut adalah tarikat paling menonjol pada abad   keenam dam ketujuh Hijriyah:
A.    Tarikat al-Qadiriyyah yang didirikan oleh Syeikh ‘Abdul Qadir Jailani.
B.     Tarikat al-Rifa’iyyah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad al-Rifa’i.
C.     Tarikat al-Suhrawardiyyah yanng didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi dan Syihabuddin Abu Hash ‘Umar al-Suhrawardi al-Baghdadi.
D.    Tarikat al-Syadziliyyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili.
E.     Tarikat al-Ahmadiyyah yang didirikan oleh Syayyid Ahmad al-Badawi.
F.      Tarikat al-Birhamiyyah yang didirikan oleh Syeikh Ibrahim al-Dasuqi al-Qursyi.
G.    Tarikat al-Kubrawiyyah yang didirikan oleh Najmuddin Kubra.
H.    Tarikat al-Naqsyabandiyyah yanng didirikan oleh Bahaq Naqsyaband al-Bukhari.
I.       Tarikat al-Khalawatiyyah dari Persia.
J.       Tarikat Bektasyiyyah yang didirikan oleh Haji Bektasyi.
K.    Tarikat al-Maulawiyyah yang didirikan oleh jalaluddin al-Rumi

Kelebihan Buku
Dalam buku ini dijelaskan perkembangan tasawuf secara rinci dan juga dijelaskan aliran-aliran dan tarikat-tarikat yang ada pada masa perkembengan tasawuf dari zaman ke zaman , sehingga mudah dipahami oleh pembaca, baik mahasiswa maupun masyarakat yang belum sepenuhnya mengetahui atau memahami khususnya ilmu tasawuf itu tersendiri.
Kekurangan Buku
            Dalam buku ini banyak kalimat yang menggunakan kata intelektual sehingga sulit untuk dipahami kaum masyarakat.
Kesimpulan
Tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.
Perkembangan tasawuf dalam islam telah mengalami beberapa fase. Fase yang pertama dan kedua adalah asketisisme. Dalam Islam asketisisme adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.

Kemudian fase ketiga sampai kelima. Tasawuf pada masa itu adalah sebagi jalan mengenal Allah (ma’rifat) setelah tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Ketika itu terdapat dua aliran tasawuf. Pertama, aliran para sufi yang pendapatnya moderat (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana, yang tasawufnya berkecerendungan pada metafisis dan tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan al-Qur’an dan as-Sunnah.


#tasawuf #tarekat#islam#sufiurban#pi2n_art#makalah#buku#sufidarizamankezaman#filsafat#teology

Metode Syeikh Muhammad Syams Al Haq dalam mensyarah Hadis

  1. PENDAHULUAN
Di antara ulama kontemporer yang mengarang syarah Kitab Aunul Ma’bud adalah syeikh muhammad syams al haq abadi. Pada awalnya beliau telah mensyarah kitab ini dengan judul kitab syarah ghayah al maqsud fi hilli sunan abi daud. Di karenakan kitab syarah ini terlalu panjang dan timbul keinginan untuk mengarang kitab syarah hadis yang simple. Yang akhirnya di beri nama Aunul M’abud syarah Abi Daud. Maka dari ini pemakalh akan mengulas tentang kriteria kitab syarah Aunul Ma’bud.
  1. RUMUSAN MASALAH
A.    Kitab Aunul Ma’bud Karya Syeikh Muhammad Syams Al Haq
B.     Rumusan Metode Syeikh Muhammad Syams Al Haq dalam mensyarah Hadis

versi lengkapnya silahkan di download monggo

download disini

 PERHATIAN download hilangkan centang ( ~) pada kata fast download.




[1] Abdul Rahman, “Al harakah al islamiyah wa dauruha fi ihya al sunnah”, (madinah al munawarah: 1980) halm: 45-47
[2] Syarah Al Haq al Azhim abadi, “Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud”, (beirut : Dar Ibn Hazm, 2005), Halm. 7

#makalah #tasawuf #kebudayaan #islam # keluarga #keluarga

ulasan Kitab Aunul Ma’bud Karya Syeikh Muhammad Syams Al Haq

  1. PENDAHULUAN
Di antara ulama kontemporer yang mengarang syarah Kitab Aunul Ma’bud adalah syeikh muhammad syams al haq abadi. Pada awalnya beliau telah mensyarah kitab ini dengan judul kitab syarah ghayah al maqsud fi hilli sunan abi daud. Di karenakan kitab syarah ini terlalu panjang dan timbul keinginan untuk mengarang kitab syarah hadis yang simple. Yang akhirnya di beri nama Aunul M’abud syarah Abi Daud. Maka dari ini pemakalh akan mengulas tentang kriteria kitab syarah Aunul Ma’bud.
  1. RUMUSAN MASALAH
A.    Kitab Aunul Ma’bud Karya Syeikh Muhammad Syams Al Haq
B.     Rumusan Metode Syeikh Muhammad Syams Al Haq dalam mensyarah Hadis

  1. PEMBAHASAN
  1. Kitab Aunul Ma’bud Karya Syeikh Muhammad Syams Al Haq
1.      Biografi Syeikh Muhammad Syams Al Haq
Beliau adalah Al Allamah al Muhaqqiq al Muhaddis al Kabir Abu Thayyib Muhammad Syams al Haq bin Amir Ali bin Maqsud Ali Al Al Shiddiq Al Azhim. Lahir pada tahun 1273 - 1319 H, termasuk diantara ulama Hadis terkemuka India yang memimpin pergerakan Sunnah dan gerakan Salafi, dan salah satu pemikir ulung.[1]
Dia belajar dari para guru yang ada pada masanya di kampung halamannya, di Moradabad dan Delhi. Dia melakukan perjalanan ke Delhi dan belajar dengan Sayyid Nazir Hussain seorang Muhaddis di Delhi, kemudian kembali ke tanah airnya pada 1302 H. Kemudian dia kembali lagi dan belajar selama tiga tahun. Dia membacakan kepadanya Kutubus Sittah, Muwatta, Sunan al Darimi dan Daaraqutni, Tafsir Jalalain, dia juga belajar dari Syeikh Hussein Bin Muhsin al Anshari dan mengambil sanad darinya.
Dia kembali ke kampung halamannya, dan memulai untuk mengajar dan menulis, dia memiliki kemapanan ilmu tentang al Quran dan Sunnah, dan rela menghabiskan banyak uang untuk membantu para penuntut ilmu dan pencari hadis
Sayyid Nazir Hussain Muhaddis Delhi, Hussein bin Muhsen al Ansari, Luthfu Ali Al Bahâri, Nur Ahmad Al Dianawi, Fadhlullah Al Luknawi, Bashir al Din Al Qunuji, Abdul Latif Al Shiddiqqy.
Dia memiliki murid yang banyak yang tersebar di anak benua India, diantara yang terkenal adalah Syeikh Muhammad Abdurrahman
2.      Kitab Aunul Ma’bud
kitab aunul ma’bud adalah kitab syarah hadis yang penyusunannya berdasarkan kitab induknya yaitu sunan abi dawud.
Akan tetapi Ada perbedaan pendapat tentang siapa yang menulis kitab ini, apakah yang menulis ini Abu Thayyib Muhammad Syams al Haq al Azhim Abadi ataukah kitab ini merupakan kitab-kitab karangan adiknya Muhammad Ashraf yang lebih dikenal dengan Syarf al Haq al Azhim Abadi (1326 H).
Berdasarkan ungkapan Syaikh Muhammad Ashraf bahwa dialah yang menulis kitab Syarah ini, adapun saudaranya Muhaddis Syams al Haq al Azhim Abadi hanya sekedar membantunya dalam penulisan ini.[2]
Ada juga yang berpendapat bahwa: Penulis untuk Aunul al Mabûd ada dua orang, bukan satu, yaitu:
a.       Syams al Haq Abu Al Thayyib Al Azhim Abadi, dialah yang menulis namanya sendiri di sampul kitab, yang memiliki peran dalam menulis catatan kaki, penjelasan-penjelaan yang berkaitan dengan hadis dan fiqh.
b.      Syarf al Haq yang terkenal dengan nama Muhammad bin Amir bin Ali Bin Haidar al Shiddiq al „Azhim Âbâdi, yang memiliki peran dalam menjelaskan lafaz-lafaz bahasa (struktur linguistik), dan susunan Nahwiyah (tata bahasa). Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab Aun al Mabûd ini tidak ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis oleh dua ulama bersaudara dari India
  1. Rumusan Metode Syeikh Muhammad Syams Al Haq dalam mensyarah Hadis
1.      Sistematika Kitab Aunul Ma’bud
Kitab ini terdiiri dari empat jilid besar yang mana tiga jilid pertama telah dicetak sewaktu Syaikh Nadzir Husain al-Dihlawi masih hidup, sedang satu jilid terakhir (Jilid empat) sempurna dicetak pada tahun berikutnya setelah beliau wafat tepatnya pada bulan Safar 1322 H. Kitab Syarah ini terdiri dari 35 Bab besar. Dimulai dengan Muqaddimah kemudian Bab طهارة dan diakhiri dengan Bab الأدب.
2.      Pendekatan Pensyarahan Hadis
Memberikan penjelasan terhadap kata-kata yang asing, serta menambahkannya dengan pemahaman hadis (fiqh al hadits) disertai dengan takhrij hadis yang berpedoman kepada Mukhtsahar Sunan Abi Daud karangan al Hafizh al Mundiri. Maka dapat disimpulkan bahwasanya pendekatan yang di gunakan dalam mensyarah hadis yaitu dengan pendekatan kebahasaan (lengustic).
Contoh:
(مسلمة) بفتح الميم وسكون السين (القعني) بفتح القاف وسكون العين وفتح النون.............

3.      Metode Pensyarahan Kitab Aunul M’abud
Metode Kitab syarah Aunul Ma’bud dilihat dari teori metode Syarah Hadis Ustman Al khasyit adalah metode syarah wasith. Sebab di dalam kitab Aunul Ma’bud mencantumkan aspek-aspek sebagai berikut:
a.       Menampilkan sanad dan matan
حدثنا عبدالله بن مسلمة بن قهنب القهنبي حدثنا عبد العزيز يعني ابن محمد عن محمد – يعني ابن عمرو عن ابي سلمة عن المغيرة بن شعبة . قال ص.م (كان اذا دهب المذهب المذهب ابعد)
b.      Menjelaskan informasi mengenai perawi hadis
منسوب الي قعنب جد عبد الله بن مسلمة (ابي سلمة)هو ابن
c.       Memaparkan berbagai pendapat ulama
قال العراقي : هو ........................
d.      Mencantumkan kualitas hadis
وقال حسن صحيح
e.       Mensyarah matan hadis secara umum
(ابعد ) في موضع دهابه او في الذهاب العهود..............
Sedangkan dari teori metode syarah hadis yang dikemukakan al mubarakfuri atau dilihat lebih pada pendekatan teknis penulisan. Kitab Aunul Ma’bud menggunakan syarah Biqaulihi dengan alasan kitab ini memiliki teknis penulisan sebagai berikut:

  1. Menjelaskan matan hadis secara lengka
حدثنا عبدالله بن مسلمة بن قهنب القهنبي حدثنا عبد العزيز يعني ابن محمد عن محمد – يعني ابن عمرو عن ابي سلمة عن المغيرة بن شعبة . قال ص.م (كان اذا دهب المذهب المذهب ابعد)

  1. Menjelaskan atau mensyarahakan maksud dari kalimat-kalimat tertentu.
(ابعد ) في موضع دهابه او في الذهاب العهود
  1. PENUTUP
a.       Simpulan
Kitab ini terdiiri dari empat jilid besar yang mana tiga jilid pertama telah dicetak sewaktu Syaikh Nadzir Husain al-Dihlawi masih hidup, sedang satu jilid terakhir (Jilid empat) sempurna dicetak pada tahun berikutnya setelah beliau wafat tepatnya pada bulan Safar 1322 H. Kitab Syarah ini terdiri dari 35 Bab besar. Dimulai dengan Muqaddimah kemudian Bab طهارة dan diakhiri dengan Bab الأدب.
Memberikan penjelasan terhadap kata-kata yang asing, serta menambahkannya dengan pemahaman hadis (fiqh al hadits) disertai dengan takhrij hadis yang berpedoman kepada Mukhtsahar Sunan Abi Daud karangan al Hafizh al Mundiri.
Metode Kitab syarah Aunul Ma’bud dilihat dari teori metode Syarah Hadis Ustman Al khasyit adalah metode syarah wasith. Sedangkan dari teori metode syarah hadis yang dikemukakan al mubarakfuri atau dilihat lebih pada pendekatan teknis penulisan. Kitab Aunul Ma’bud menggunakan syarah Biqaulihi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman, “Al harakah al islamiyah wa dauruha fi ihya al sunnah”, (madinah al munawarah: 1980)
Syarah Al Haq al Azhim abadi, “Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud”, (beirut : Dar Ibn Hazm, 2005),



[1] Abdul Rahman, “Al harakah al islamiyah wa dauruha fi ihya al sunnah”, (madinah al munawarah: 1980) halm: 45-47
[2] Syarah Al Haq al Azhim abadi, “Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud”, (beirut : Dar Ibn Hazm, 2005), Halm. 7

#study#ulasan Kitab Aunul Ma’bud Karya Syeikh Muhammad Syams Al Haq#makalah#uinwalisongo#pi2n_art#sufiurban

Biografi Al Farabi dan Filsafat Al Farabi

A.    Pendahuluan
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Al Farabi?
2.      Bagaimana Pemikiran Filsafat Al Farabi Tentang :
a.       Emanasi
b.      Politik

C.    Pembahasan
1.      Biografi Al Farabi
Al-Fārābi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.[1]
Sekitar tahun  922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad  untuk lebih mendalami  filsafat. Di sini ia belajar logika dan  filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
 Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.[2]
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.

2.      Pemikiran Filsafat
a.      Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi  adalah  teori emanasi yang didapatnya dari teori Plotinus[3] apabila terdapat satu  zat yang  kedua sesudah zat yang pertama,  maka zat yang  kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang  bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.[4]
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta (Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo).  Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).

b.      Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan  hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
a.       Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[20] Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).[5]
b.       Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

D.    Simpulan
Salah satu filsafat al-Farabi  adalah  teori emanasi yang didapatnya dari teori Plotinus[6] apabila terdapat satu  zat yang  kedua sesudah zat yang pertama,  maka zat yang  kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang  bertolak keluar.
Kemudian disusul filsafat kedua oleh al farabi yaitu filsafat politik. Di dalam makalah filsafat politik atau  kenegaraan filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Lalu al farabi pun mendefinisikan sebuah masyarakata terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya
2.      Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Hasan,  Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976
Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah. Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya, 1990
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993),



[1] Bakar, Hasan,  Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, Cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976, Halm. 57
[2] Uways, Abdul Halim, Dirasat Fi al-Falsafah. Cet II; Kairo: Maktabah al-Ihya, 1990, Halm. 133
[3]. Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalam beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, bahkan karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya juga merupakan jendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras dan Aristoteles yang hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya.
[4].  A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 160
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51

 #makalah #islam#filsafat#farabbi#biografi #pi2n_art#sufiurban